KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Aktivis lingkungan Eliza Kissya.

Maluku

Eliza Kissya, Setia Menjaga Alam Haruku

·sekitar 4 menit baca

Banyak pelestari lingkungan jatuh di hadapan materi dan godaan pragmatis yang menggiurkan. Eliza Kissya termasuk salah satu yang bertahan. Sepanjang usianya yang kini mencapai 70 tahun, ia teguh berdiri menjaga alam di Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Ia berjanji akan tetap setia menjaga alam, hingga pemilik semesta ini memanggilnya kembali.

Dari halaman rumahnya di Negeri (Desa) Haruku, Pulau Haruku, pada Kamis (1/2/2019), Eliza melantunkan beberapa buah pantun diiringi petikan ukulele. Pantun yang sudah dia bukukan itu kebanyakan bertema tentang alam dan hidupnya sendiri yang melakonkan peran sebagai penjaga alam atau kewang dalam bahasa setempat. Selama 40 tahun terakhir, Eliza menjadi kepala kewang melanjutkan warisan keluarganya.

Salah satu pantun dimaksud berbunyi begini, ”Buat kebun di tepi jurang, mari tanam buah naga. Biar hidup deng kurang-kurang, warisan leluhur harus dijaga”. Eliza merupakan generasi keenam yang memegang tampuk sebagai kepala kewang. Sesuai adat setempat, kepala kewang hanya boleh dipegang oleh anak laki-laki dari keluarga tersebut.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Eliza Kissya, kepala kewang di Pulau Haruku, Ambon, saat merawat telur-telur burung gosong di penangkaran yang ia kelola di pekarangan rumahnya di Haruku. Foto ini diambil pada 1 Mei 2019.

Kewang bertugas untuk menjaga ekosistem laut, darat, udara, dan juga nilai adat di dalam masyarakat. Perairan di depan Desa Haruku itu kini kaya ikan. Pengebom ikan ditangkap. Bagan dilarang beroperasi. Penangkapan ikan seperti memancing di pesisir, muara, dan sungai pun dilarang selama kurun waktu tertentu. Larangan itu dalam istilah lokal disebut sasi.

Setiap satu kali dalam setahun, larangan penangkapan ikan dicabut. Warga boleh memanennya. Sebelum dipanen, para kewang menggelar upacara adat untuk menggiring ikan-ikan itu bergerak dari laut ke sungai. Ribuan orang dari luar Pulau Haruku juga diperbolehkan datang memanen. Momentum yang berlangsung setiap bulan September atau Oktober itu masuk dalam kegiatan wisata.

Selain sasi ikan, Eliza juga menjaga telur penyu di pesisir itu, kemudian melepasliarkannya. Akhir April 2019, ia melepasliarkan puluhan penyu. Wilayah pesisir Desa Haruku dengan panjang sekitar 1 kilometer dan lebar ke arah laut sekitar 200 meter masuk dalam kawasan yang bebas dari aktivitas penangkapan sehingga telur penyu tidak diganggu.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Aktivis lingkungan Eliza Kissya.

Untuk menjaga hutan, kewang mengatur tentang penebangan pohon sagu. Sagu yang berada di hutan menjadi milik bersama masyarakat di desa itu. Sagu merupakan makanan lokal di Maluku. Begitu pula buah-buah pun tidak boleh dipetik sebelum benar-benar masak. Penebangan pohon dilarang.

Untuk satwa burung, Eliza memiliki penangkaran burung gosong (Eulipoa wallacei). Banyak burung bertelur di pekarangan rumahnya. Telur yang terpendam di dalam pasir itu dijaga selama 40 hari hingga 70 hari. Setelah menetas dan keluar, ia memelihara bayi burung hingga melepasnya ke alam. Jika ada warga yang menemukan telur burung gosong di tempat lain, ia akan membelinya, kemudian memendamkannya ke dalam pasir hingga menetas. Kini harga telur itu Rp 5.000 per butir.

Kegigihan dalam menjaga lingkungan berbuah apresiasi. Tahun 1985, kewang di Haruku diberi penghargaan Kalpataru untuk kategori penyelamat lingkungan, Satyalencana Pembangunan tahun 1999, Siwalima Award untuk kategori penjaga lingkungan dari Pemerintah Provinsi Maluku tahun 2018, dan banyak lagi penghargaan di bidang lingkungan yang diterima Eliza.

Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, Eliza berupaya untuk terus memperkenalkan bahasa daerah yang mulai hilang. Hal itu dilakukan lewat perlombaan, cerita dongeng, dan pantun dalam bahasa daerah. Halaman rumahnya menjadi tempat berkumpul anak-anak. Perhatian pada bidang budaya dan bahasa itu mendorong Kantor Bahasa Provinsi Maluku memberikan penghargaan sebagai pegiat sastra di Maluku pada 2017.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Burung gosong (Eulipoa wallacei) berada di tempat penangkaran yang dikelola Eliza Kissya di Negeri Haruku, Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Rabu (1/5/2019). Burung gosong tersebut selalu datang ke pantai di pulau tersebut untuk bertelur.

Masih pada tahun yang sama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga memberikan anugerah dan penghargaan kepada Eliza sebagai maestro seni tradisi. ”Saya bekerja bukan untuk meraih penghargaan. Penghargaan yang saya dapat membuat saya harus terus konsisten bekerja,” katanya.

Tantangan

Sebagai pelestari lingkungan di daerah yang kaya sumber daya bukan perkara mudah. Godaan materi dan kepentingan pragmatis silih berganti datang. Bahkan, hingga berupa ancaman. Penolakan rencana penambangan emas di Haruku merupakan pengalaman paling diingat Eliza. Tahun 1995, perusahaan emas menancapkan pengaruhnya di Haruku, pulau yang luasnya hanya 150 kilometer persegi.

Eliza memimpin gerakan menolak tambang. Perjuangan kala itu tidak mudah sebab perusahaan disokong oleh pemerintah dengan dukungan aparat. Akses informasi terbatas. Berbeda dengan gerakan sekarang yang dapat dibangun dari dunia maya. Berkat dukungan sejumlah pihak, gerakan itu berhasil dua tahun kemudian. Perusahaan akhirnya angkat kaki.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Aktivis lingkungan Eliza Kissya.

”Sekarang ini, tantangan menjadi pelestari lingkungan semakin besar. Banyak sekali godaan. Kadang, orang dengan mudah jatuh setelah diberi minuman alkohol satu botol atau diajak menginap di hotel mewah. Semua bisa hilang dalam sekejap,” tuturnya.

Pada usianya yang kian senja, Eliza sedang melirik satu dari ketiga putranya yang akan menggantikan posisinya pada saat ia sudah tiada. Jabatan kepala kewang berakhir bilamana ia meninggal. ”Saya belum bisa tentukan sekarang. Nanti ada saatnya. Biar waktu yang menentukan,” ujarnya.

Kecintaan akan tanah kelahiran serta kesetiaan menjaga alam dan budaya mengalir di dalam darah Eliza. Ia sepertinya belajar pada jalan hidup burung gosong. Burung gosong biasanya akan kembali pada tempat ia ditetaskan. Burung gosong juga setia kepada pasangannya. Apabila salah satunya mati, pasangannya tidak akan kawin lagi. ”Sepertinya burung gosong lebih setia daripada manusia,” ucapnya. (FRANS PATI HERIN)

 

Nama: Eliza Kissya

Lahir: Haruku, 12 Maret 1949

Pendidikan: Sekolah Rakyat (tidak tamat)

Penghargaan: Kalpataru (1985), Satyalencana Pembangunan (1999), Siwalima Award untuk kategori Penjaga Lingkungan dari Pemerintah Provinsi Maluku (2018), Pegiat Sastra di Maluku dari Kantor Bahasa Provinsi Maluku (2017), dan Maestro Seni Tradisi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2017)

Artikel Lainnya