Sewaktu delapan tahun penjelajahannya di Nusantara, 1854-1862, naturalis asal Inggris, Alfred Russel Wallace, memberi catatan, karang menjadi penghalang bagi aktivitas kapal-kapal yang akan merapat ke pulau. Namun, perkembangan ilmu pengetahuan manusia, terungkap cakrawala baru bahwa terumbu karang bermanfaat bagi kehidupan Bumi.
Bagi manusia dan lingkungan sekitar pesisir, terumbu karang itu memastikan ketersediaan sumber protein, sumber bahan medis, sumber devisa pariwisata, sumber mata pencarian, dan sumber perlindungan wilayah pesisir. Di Indonesia, yang dua pertiga wilayahnya merupakan perairan laut, terumbu karang menempati luasan 2,5 juta hektar dengan berbagai kondisinya tersebar di seluruh Nusantara.
Pendapat Wallace yang menyatakan karang sebagai penghalang kapal-kapal itu muncul pada beberapa halaman dalam catatan sejarah Nusantara, The Malay Archipelago (2015), ketika melayari perairan di Waiego, Raja Ampat, di Papua Barat pada 1860-an. Di antaranya pada halaman 490, ketika ia harus memutar di ujung selatan pulau-pulau atau menjauh ke arah laut karena menjumpai terumbu karang.
Pandangan pengalaman empiris Wallace dari sudut pandang daratan ini lumrah saja saat itu. Bahkan, hingga kini pun masih banyak orang yang beranggapan karang hanyalah bebatuan yang teronggok di tepi pantai.
Tak banyak yang menyadari, karang merupakan hewan yang bertahan hidup sejak zaman purba serta berkoloni dan bertumbuh serta berkembang biak. Keberadaan biota ini menjadi dasar kehidupan bagi ekosistem terumbu karang.
Riset terkini yang dikutip dalam laporan Lembaga Konservasi Dunia atau IUCN (Scott F Heron dkk, 2016) berjudul ”Explaining Ocean Warming: Causes, Scale, Effects, and Consequences” menyebutkan, ekosistem terumbu karang menjadi habitat lebih dari 25 persen spesies ikan di laut. Bahkan, terumbu karang yang hanya menutup 0,1 persen bagian dari area dasar laut merupakan sumber pemenuhan kebutuhan 9,8 miliar dollar AS dari layanan sosial, ekonomi, dan budaya secara global per tahun.
Di Indonesia, ekosistem terumbu karang ini pun menyokong langsung kehidupan jutaan masyarakat yang tinggal di pesisir. Posisi penting ini bukan tanpa ancaman. Catatan Status Terumbu Karang 2017 yang berisi pantauan para peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada tahun 2016, tutupan karang di Indonesia menunjukkan tren penurunan sejak tahun 2013. Tren yang juga dialami negara-negara lain.
Fenomena penghangatan global pada 1997 dan 2015 terbukti menghancurkan ekosistem terumbu karang, juga aktivitas pembangunan yang memaksa untuk bernegosiasi dengan dampak kerusakan pada lingkungan laut, terutama terumbu karang. Perilaku manusia yang menggusur terumbu karang atas nama kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi. Di samping itu, masih ada perilaku primitif, seperti mengebom dan mencongkel karang untuk fondasi karang ataupun mengambil ikan dan karang yang bersembunyi di dalamnya, yang turut memperparah kerusakan itu.
Jelajah terumbu karang
Posisi penting terumbu karang bagi kehidupan manusia ini mendorong Kompas menggelar peliputan khusus Jelajah Terumbu Karang. Sejak akhir Juli 2017 hingga masih berjalan saat ini, Kompas memulai liputan khusus Jelajah Terumbu Karang di bagian timur Indonesia. Selama waktu itu, tim Kompas memotret kondisi bawah laut di lokasi-lokasi penyelaman serta menemui masyarakatnya untuk mengetahui kehidupan mereka.
Seperti di Teluk Jailolo, Kompas menjumpai “mulut” kecil Pulau Halmahera itu memiliki titik-titik ekosistem terumbu karang yang saling terkait. Ada satu sisi sebagai penyuplai larva karang dan bagian lain yang pernah rusak akibat pengeboman mengalami pemulihan dengan tumbuhnya koloni-koloni karang baru.
Keterkaitan Jailolo dengan Ternate dan Tidore serta Bacan, semangat Maluku Kie Raha pada masa kerajaan, dipersatukan oleh laut. Konteks persaudaraan keempat kesultanan itu kini diadaptasi Halmahera Barat menjadi kerja sama segitiga emas yang saling membutuhkan.
Di Teluk Cenderawasih Papua yang menjadi wilayah kerja Taman Nasional di bawah kendali Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terdapat kampung yang berinisiatif merehabilitasi perairan setempat dengan mengumpulkan kima dan transplantasi terumbu karang. Sisi cekungan alam raksasa yang menjadi pundak burung bagi Pulau Papua ini masih penuh misteri dengan keberadaan batu-batu tua pada lapisan Bumi yang baru serta gelembung air panas pada pulau yang tak memiliki catatan vulkanologi ini.
Perairan Komodo, Nusa Tenggara Timur, yang juga dikelola Taman Nasional, telah booming menjadi favorit pariwisata yang menarik minat turis dalam negeri dan luar negeri. Di sisi lain, masyarakat yang tinggal di desa-desa di dalamnya masih hidup kesusahan. Mereka masih sulit memenuhi kebutuhan dasar, seperti air bersih dan listrik, serta melanjutkan pendidikan.
Berpindah ke Selat Lembeh di Kota Bitung, Sulawesi Utara, tim Kompas membuktikan area ini merupakan surga fotografi makro dunia. Biota mikro dengan satuan milimeter serta aneh menjadi target buruan fotografer bawah laut dari berbagai penjuru dunia.
Namun, keunikan dan potensi ini dihadapkan pada dampak pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Bitung. Selain dikhawatirkan mengubah kehidupan ekosistem unik setempat, proyek mercusuar yang didengungkan sejak lama ini pun akan menggusur desa mula-mula di Bitung.
Berpindah ke sisi selatan, masih di sekitar Pulau Sulawesi, Wakatobi yang diklaim merupakan jantung segitiga terumbu karang dunia memiliki kekayaan cerita masyarakat yang berkaitan dengan terumbu karang. Di Pulau Binongko, satu dari empat pulau utama Wakatobi yang berada paling selatan, tinggal masyarakat Desa Wali yang sejak dua tahun terakhir menutup sebagian wilayah perairannya dari aktivitas penangkapan ikan.
Di Raja Ampat, yang sejak 10 tahun terakhir menjadi impian penghobi wisata bahari di seluruh dunia, kini dihadapkan pada peralihan pengelolaan dari pemerintah kabupaten ke pemerintah provinsi. Kompas menyusuri wilayah selatan, yaitu sekitar Pulau Misool, yang relatif tertinggal dibandingkan dengan wilayah utara atau Waigeo dan sekitarnya.
Inisiatif masyarakat untuk melindungi perairannya dari perburuan hiu sejak April 2017 hingga kini mengalami mati suri. Patroli terhenti karena peralihan kewenangan dalam UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Di Selayar, Sulawesi Selatan, Tim Kompas menyambangi Taman Nasional Takabonerate serta melihat dari dekat penangkapan ikan secara tradisional dengan menggunakan sero. Di Bali, Pulau Nusa Penida di Klungkung dan Pulau Menjangan di Buleleng menunjukkan Pulau Dewata tak pernah habis untuk dieksplorasi. Seluruhnya akan diangkat harian Kompas, serta laporan utama dan informasi lainnya bisa diakses setiap Rabu. (ICH/INK)