Minggu (13/8) siang, matahari bersinar terik. Brigadir Kepala Martinus Awi berdiri di atas sampan bermesin tempel yang diawaki Olofone Seba (34), Matius Ayore (25), dan Oscar Akuan (40). Di antara alun gelombang dan semilir angin di perairan jernih sekitar pantai Pulau Rouw, Distrik Roon, Martinus melempar cerita perburuannya terhadap pelaku pengeboman ikan.
”Saya kasih tembak pelakunya, kena tangannya, tapi lalu mereka kabur,” ujar Martinus.
Peristiwa itu terjadi di sekitar perairan Pulau Marasabadi, Distrik Roon, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat. Jaraknya sekitar 15 kilometer dari perairan sekitar Pulau Rouw yang merupakan zona pemanfaatan terbatas dan perlindungan bahari.
Sejumlah awak kapal cepat yang Kompas tumpangi ini menyarankan agar perburuan pelaku pengeboman itu dilanjutkan dengan menyisir sejumlah rumah sakit. Namun, Martinus tidak memberikan tanggapan. Ia memilih melanjutkan kisahnya.
Kata Martinus, pelakunya berjumlah enam orang. Sebelum ditembak peluru karet dengan senapan jenis V2 buatan Pindad yang biasa digunakan satuan Samapta Bhayangkara (Sabhara) Polri, para pelaku melawan dengan melemparkan bom kepada Martinus, Olofone, Matius, dan Oscar.
Kontak senjata itu terjadi petang hari sebelumnya. Sebelumnya, Martinus bersama tiga ”anggotanya”, yang adalah warga setempat, melakukan pengintaian. Mereka mengendap-endap dan sempat menginap di pulau terdekat sebelum benar-benar menyergap.
Mereka berpura-pura sebagai nelayan pemancing ikan. ”Selama di perahu, saya suruh mereka (Olofone, Matius, dan Oscar) untuk tiduran karena mungkin diteropong para pengebom ikan dari jauh,” ujar Martinus.
Martinus bertugas di Pos Polisi Distrik Duairi, Kabupaten Teluk Wondama. Sebelum bergabung sebagai anggota Polair pada 2009, Martinus merupakan anggota Brimob yang bermarkas di Jayapura, Papua.
Pengalamannya telibat dalam sejumlah operasi ke nyaris seluruh wilayah Papua dan Ambon memberinya bekal yang cukup dalam melakukan operasi pengintaian dan upaya penangkapan pelaku pengeboman ikan itu. ”Surat perintah bertugas di Distrik Duairi, tetapi back up juga wilayah Distrik Roon karena belum ada pos polisi,” kata Martinus.
Jadilah ia bergerak melayari wilayah perairan di dua distrik tersebut. Tapi Martinus tidak bisa sering-sering bergerak. Anggaran yang relatif terbatas, jika tidak bisa disebut nihil, membuatnya mesti memutar otak.
Seperti operasi penyergapan selama dua hari itu, yang dibiayai Olofone, Matius, dan Oscar. ”Masalah patroli, (kebutuhan) bahan bakar minyak. Itu urusan saya,” kata Olofone yang juga seorang kader jagawana atau penjaga hutan itu.
Ketiadaan kapal patroli, biaya bahan bakar, dan logistik membuat Martinus mengandalkan laporan dan bantuan masyarakat guna melakukan operasi. Itu membuat operasi hanya bisa dilakukan sekali dalam sebulan.
Padahal, Martinus sangat bernafsu untuk menangkap seluruh pelaku pengeboman. Ia berulang kali mengatakan, dirinya bersedia melakukan patroli keliling wilayah perairan itu kapan saja dengan dukungan memadai.
Atau sekurang-kurangnya, surat perintah resmi sebagai keterangan untuk menggunakan sumber daya masyarakat setempat dalam melakukan patroli. Berulang kali pula ia mengatakan pentingnya seluruh pihak menjaga sumber daya kelautan untuk keberlanjutan hidup masyarakat pesisir. (ICHWAN SUSANTO/MOHAMMAD HILMI FAIQ/INGKI RINALDI)