Asrul dan Muslim bertemu saat mereka menjadi guru. Pada 2014, keduanya sama-sama mengajar di Madrasah Tsanawiyah Pengembangan Kulaba, Kota Ternate, Maluku Utara.
Saat ini, kedua pemuda itu menjadi aktivis pariwisata andalan di tempat tinggal masing-masing. Muslim aktif sebagai Ketua Forum Komunikasi Kelompok Sadar Wisata Halmahera Barat, Maluku Utara. Sementara Asrul sejak 2009 mengawali pembersihan dan pengelolaan obyek wisata Batu Angus, Kota Ternate, Maluku Utara.
Mereka saling menginspirasi. Asrul menganggap Muslim adalah sosok baginya menimba ilmu. Sementara bagi Muslim, Asrul merupakan sosok yang bersemangat dalam mengenalkan jati diri Kota Ternate.
Kini, obyek wisata Batu Angus telah menjadi semacam lokasi yang wajib dikunjungi tatkala seseorang berada di Kota Ternate. Lokasinya yang berada di pinggir jalan dan berjarak sekitar 9 kilometer ke utara pusat kota membuat obyek wisata itu relatif mudah dijangkau.
Adapun Forum Komunikasi Kelompok Sadar Wisata Halmahera Barat yang diketuai Muslim beranggotakan 10 desa di Halmahera Barat dengan kekhasan tersendiri sebagai lokasi kunjungan wisata yang sudah siap dan tengah disiapkan. Ke-10 desa tersebut adalah Guaeria, Tuada, Bobo, Bobanehena, Guaemaadu, Gamtala, Lako Akediri, Ropu Tengah Balu (RTB), Akilamo, dan Gamlamo.
Setiap desa memiliki kekhasan masing-masing untuk dieksplorasi, misalnya keragaman kuliner dan titik-titik penyelaman di Desa Guaeria, matahari tenggelam dan ekosistem mangrove (Tuada), wisata air panas (Bobo), matahari terbit dan wisata gunung (Bobanehena), dan homestay (Guaemaadu). Selain itu, terdapat pula wisata kuliner adat dan ekosistem mangrove serta air panas (Gamtala), wisata pantai dan ombak (Lako Akediri), seni adat dan susur pantai (RTB), wisata rumah adat (Akilamo), dan wisata peninggalan sejarah kerajaan (Gamlamo).
Sebelumnya, saat mereka masih menjadi guru, Asrul bertugas mengajari murid-murid mata pelajaran Sejarah dan Pendidikan Kewarganegaraan. Adapun Muslim mengajari murid-murid setingkat SMP itu bidang studi Matematika.
Muslim hanya setahun mengajar, sementara Asrul berhenti sebagai guru pada 2016.
“Itu pertanyaan sulit, sesulit saya menjawabnya,” kata Asrul tentang alasannya untuk tidak lagi mengajar. Anak tertua dari tiga bersaudara itu juga sempat menghadapi gugatan dari orangtuanya terkait keputusan itu.
Memungut sampah
Dengan nada agak berat, Asrul mengatakan kecintaan terhadap obyek wisata Batu Angus, Kota Ternate, sebagai alasannya. Itu terbukti dengan betapa sigap dan ringan tangan Asrul memunguti sampah di pinggir jalur saat Kompas berbincang dari pintu masuk menuju bagian dalam lokasi tersebut.
Ia juga tak segan menegur sejumlah pengunjung yang tidak mematuhi aturan. Misalnya, Sabtu (29/7) petang itu, terdapat pengunjung yang berfoto sembari menginjak tulisan “Welcome To Batu Angus Kulaba Ternate”.
Asrul terkadang merasa tindakannya itu berlebihan. Hal itu dia utarakan beberapa kali dengan raut keraguan, tetapi sejurus kemudian ketegasan terlihat di wajahnya. “Tapi mungkin (teguran) itu (dilakukan) karena cinta,” sebutnya tentang perhatian khususnya terhadap Batu Angus.
Tulisan dalam obyek wisata Batu Angus yang diapit gagahnya Gunung Gamalama di sisi barat dan lautan di sisi timur itu dibuat dari cangkang kerang yang disusun di salah satu sudut. Kini susunan tulisan itu sudah dipasang permanen di atas adukan semen. Bersama sejumlah pemuda setempat, pada 2011, Asrul membuat tulisan penanda tersebut.
Sejak itulah, lokasi wisata tersebut mulai kerap didatangi. Pengunjung mengunggah hasil kunjungan mereka ke beragam pelantar media sosial. Termasuk sebagian pengelola media massa yang juga turut memublikasikan lokasi tersebut.
Salah satu momen puncak yang membuat lokasi wisata itu kebanjiran pengunjung tatkala gerhana matahari total terjadi pada 9 Maret 2016. Tidak hanya pengunjung lokal, wisatawan mancanegara pun kerap mengunjungi lokasi wisata tersebut.
Akan tetapi, nyaris tidak ada yang menyangka, sebelum bersih dan terkelola seperti saat ini, obyek wisata itu dipenuhi serakan sampah. Asrul yang tinggal sekitar 200 meter dari obyek wisata itu mulai berkunjung ke Batu Angus sejak sekitar 2007.
Pada 2009, saat masa awal kuliah, Asrul mulai membersihkan tempat wisata dari sampah yang berserakan, yang dalam bahasa setempat disebut mari hoku atau batu terbakar. Ia berjalan seorang diri mengelilingi tempat itu dan memunguti sampah plastik serta puntung rokok yang dibuang sekenanya.
“Saya ke dalam (untuk) main dan melihat sampah plastik. Saya berpikir, saya pemuda sini, kenapa tidak saya jaga dan bersihkan karena pasti ke depan akan jadi tempat bagus,” ujar Asrul mengenai alasannya mula-mula membersihkan lokasi tersebut.
Ia membawa ember sebagai tampungan sampah sementara dan berkeliling setiap hari selama sekitar tiga jam. Satu tahun kemudian barulah sejumlah temannya turut bergabung.
Tahun 2008 hingga 2010, sekitar 20 pemuda turut bergabung bersama Asrul untuk membersihkan lokasi wisata itu. Sekarang jumlahnya berkurang menjadi sekitar 11 orang karena sebagian di antara mereka kini menjalani sejumlah profesi untuk hidup.
Kini metode pembersihan dilakukan dengan berjalan bersama-sama menuju satu titik di dalam kawasan itu sembari mengobrol. Topik obrolan berpusar pada isu lingkungan, pengembangan kawasa wisata, dan seterusnya.
Mereka tidak hanya membersihkan, tetapi juga menyusun tempat sampah dari bebatuan vulkanik dan menamam pepohonan. “Berdasarkan data dinas pariwisata, Batu Angus berasal dari (material vulkanik) letusan Gunung Gamalama pada 1673,” ujar Asrul.
Kawasan yang sempat ditambang untuk bahan bangunan hingga akhir 1990-an itu kini dikelola Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Ternate. Tarif pengunjung Rp 2.000 plus asuransi Rp 500, sepeda motor dikenai tarif Rp 3.000, dan mobil Rp 10.000.
Sejak tahun 2014, tiga petugas ditempatkan di lokasi tersebut dengan honor tertentu. Belakangan, Asrul pun turut bergabung. Ia berada di lokasi tersebut hingga sekitar maghrib atau menunggui pengunjung terakhir pulang demi menjamin keselamatan pengunjung.
“Menurut saya, yang penting tempat ini bersih dan saya bisa mendapat ilmu, dan adik-adik saya bisa melanjutkan (pengelolaan),” kata Asrul.
Asrul yang kadang kala masih menyimpan rindu untuk mengajari anak-anak muridnya mengatakan, dirinya juga masih menyimpan harapan agar perilaku buang sampah sembarangan oleh sebagian pengunjung dihentikan. Selain itu, juga kepatuhan pada aturan keselamatan dan ketertiban dalam lokasi wisata Batu Angus.
Merancang wisata
Adapun Muslim mulai memimpin Forum Komunikasi Kelompok Sadar Wisata Halmahera Barat sepulang dari program studi banding di Desa Wisata Kembangarum, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, pada 2015 yang diinisiasi Dinas Pariwisata Kabupaten Halmahera Barat. “Waktu itu ada dua calon, tetapi lalu semua orang pilih saya, termasuk calon lain itu juga memilih saya. Ya, saya dipilih karena banyak mengajukan pertanyaan,” ujarnya.
Namun, Muslim merendah karena beberapa tahun sebelumnya ia sudah mulai merintis sejumlah kegiatan wisata di Desa Bobanehena yang menjadi asalnya. Pada 2013, misalnya, bersama seorang tokoh muda lainnya di desa itu, Sofyan Labuha, ia merancang sejumlah titik wisata di desa tersebut.
Paket wisata berupa jelajah hutan atau perkebunan cengkeh dan pala itu dilengkapi sensasi kuliner berupa atraksi memasak dengan bambu. Sejumlah cottage dan beberapa aktivitas warga juga tengah dipersiapkan untuk bisa dijual pada 2018.
Bahkan, saking kerapnya kawasan itu dilanda gempa bumi, Muslim pernah memiliki ide untuk menawarkan semacam paket wisata gempa. “Jadi, ngopi-ngopi sambil menunggu (guncangan) gempa. Nanti, begitu ada gempa, lari, terus setelah gempa berhenti, ngopi lagi,” selorohnya. Namun, ide tersebut ditentang sebagian warga.
Akan tetapi, tidak semua ide program pariwisata yang meledak-ledak dalam kepalanya ditolak. Misalnya saja persiapan Desa Bobanehena sebagai lokasi kunjungan wisata syariah. Salah satu bentuknya bisa saja berupa shalat berjemaah yang dilakukan pengunjung bersama penduduk setempat.
Bersama Sofyan, Muslim mulai berhasil mengubah pola pikir warga di desa tersebut untuk bisa menerima aktivitas pariwisata yang diselaraskan dengan cara hidup masyarakat. “Bukan rupiah yang menjadi target kami. Namun, sasarannya adalah pemuda karena kultur budaya (kita) sudah mau punah dan karena ingin mengenalkan wilayah juga,” tutur Muslim tentang motivasinya sebagai aktivis pariwisata. (ICHWAN SUSANTO/FRANSISKUS PATI HERIN/INGKI RINALDI)
Asrul Syarif
- Lahir: Ternate, 2 Oktober 1989
- Pendidikan:
- SD Inpres Kulaba, Kota Ternate (lulus 2000)
- SMP Negeri 5 Kota Ternate (lulus 2003)
- SMA Negeri 4 Kota Ternate (lulus 2006)
- Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Kie Raha Kota Ternate (lulus 2012)
Muslim Arsad
- Lahir: Bobanehena, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara, 5 Januari 1984
- Pendidikan:
- SDN 1 Bobanehena, Kecamatan Jailolo (lulus 1991)
- SMP Islam Jailolo tahun 1998 (lulus 2001)
- SMA Islam Jailolo, hanya bersekolah selama dua minggu. Ini menyusul pengaruh konflik horizontal yang terjadi tahun 2000, yang membuat sekolah tersebut kekurangan guru. Saat itu, semua guru mengungsi di Kota Ternate. Ini membuat Muslim tidak bisa melanjutkan pendidikan. Pada 2009, Muslim masuk kelompok belajar Cengkeh dan tahun 2010 selesai dengan ijazah Paket C.
- Institut Agama Islam Negeri Ternate, Fakultas Tarbiyah Bidang Studi Matematika (lulus 2014).