Kepulauan Banda secara administratif hanyalah sebuah kecamatan. Meski demikian, kawasan ini menjadi ”surga” bagi penyelam dan destinasi wisata rempah yang sangat berpotensi.
Kepulauan Banda terdiri atas 11 pulau dengan luas daratan mencapai 5.530 hektar. Dari 11 pulau tersebut, tujuh di antaranya dihuni dan empat lainnya tak dihuni. Jumlah penduduk di kepulauan ini mencapai sekitar 21.000 orang.
Tujuh pulau yang dihuni meliputi Pulau Naira, Banda Besar, Gunung Api, Ai, Run, Hatta, dan Sjahrir. Adapun empat pulau yang tak dihuni yaitu Pulau Manukang, Karaka, Nailaka, dan Batu Kapal.
Sebagai daerah kepulauan, sekitar 80 persen wilayah Banda terdiri atas lautan dan sisanya daratan. Dengan wilayah perairan yang sangat luas, Banda memiliki setidaknya 34 titik penyelaman yang lokasinya tersebar. Karena kekayaan bawah air inilah, kepulauan ini memiliki sebutan taman wisata perairan.
Hampir seluruh pantai di Banda bagus untuk diselami. Di sekitar dermaga Naira yang paling ramai sekalipun, banyak wisatawan asing yang menyelam dan snorkeling untuk bertemu langsung dengan ikan langka Napoleon.
Selain Pulau Naira, titik penyelaman favorit lainnya adalah kawasan guguran lava Pulau Gunung Api, pesisir Pulau Run dan Nailaka, serta pantai Pulau Hatta. Perairan Pulau Hatta merupakan titik penyelaman paling menantang karena penyelam bisa langsung menyaksikan palung dalam yang jaraknya hanya sekitar 20 meter dari bibir pantai.
Sianna (40), wisatawan asal Cirebon, Jawa Barat, bersama dua rekannya dari Jakarta dan Bandung sengaja menyempatkan diri berlibur untuk bisa snorkeling di perairan Banda. ”Banda sudah lama jadi incaran kami untuk ber-snorkeling. Lautnya jernih sekali. Kami bisa melihat ikan dan karang dengan begitu jelas,” ujarnya.
Tur rempah
Selain selam dan snorkeling, Banda juga menawarkan sajian wisata sejarah rempah. Di kepulauan ini banyak sekali gedung dan bangunan sisa peninggalan Portugis dan Belanda.
Pulau Naira merupakan pulau terpadat yang memiliki tinggalan-tinggalan gedung bersejarah. Pada abad ke-16 hingga ke-19, pulau ini menjadi pusat tata niaga pala.
Di Pulau Naira terdapat dua benteng, yaitu Benteng Nassau dan Belgica. Rute tur rempah biasanya dimulai dari pulau ini. Wisatawan diajak berkeliling benteng kemudian Istana Mini, bekas rumah perkenier (pemilik kebun pala), gereja tua, penjara, gedung Societet Harmonie, tempat pembantaian 44 orang kaya Banda, hingga rumah tempat pengasingan Sutan Sjahrir dan Bung Hatta.
Dari Naira, wisatawan biasanya diajak menyeberang sekitar 10 menit ke Pulau Banda Besar yang merupakan areal perkebunan pala terbesar di Banda. Di Banda Besar, wisatawan bisa menyaksikan satu-satunya perk atau perkebunan pala zaman VOC milik Pongky van den Broeke. Total luas perkebunan pala di seluruh Kepulauan Banda mencapai 3.970 hektar.
Pala memang menjadi komoditas primadona Banda sejak berabad-abad silam hingga sekarang. Karena pala pulalah, negara-negara Barat berdatangan ke Banda. Sebagian di antaranya bahkan sampai mendirikan benteng-benteng yang bangunan-bangunannya masih bertahan sampai sekarang, seperti Benteng Nassau, Belgica, Hollandia, dan Concordia.
Rizal Bahalwan, warga setempat yang melayani wisata rempah sekaligus mengelola hotel, sering kali mengajak tamu-tamunya menyusuri kebun-kebun pala tua dengan pohon-pohon kenari raksasa yang menjadi peneduhnya.
Untuk paket singkat tur rempah, Rizal biasanya menawarkan tarif Rp 150.000 per orang untuk waktu perjalanan sekitar dua jam dengan jumlah minimal tiga wisatawan satu kali jalan. Rute paket singkat ini dari Pulau Naira ke Pulau Banda Besar dengan tujuan kebun pala, tempat pengasapan pala, kuburan belanda, sumur, dan kembali ke Naira.
Sementara itu, untuk paket panjang Rizal menawarkan harga Rp 1,5 juta dengan jumlah wisatawan minimal tiga orang. ”Rute perjalanan paket panjang meliputi Pulau Naira, Pulau Run, Pulau Nailaka, Pulau Ai, lalu kembali ke Pulau Naira. Di setiap pulau, wisatawan bisa mampir menyelam dan snorkeling minimal tiga kali,” ujarnya.
Berkembang pesat
Wisata tur sejarah rempah di Kepulauan Banda mulai menggeliat sejak almarhum Des Alwi mengangkat nama Banda ke panggung nasional ataupun internasional. Hampir seluruh wisatawan mancanegara meminta paket wisata ini selain menyelam dan snorkeling.
Kerusuhan Ambon pada 1999-2000 sempat membuat wisata di Ambon sepi. Meski demikian, sedikit demi sedikit kepulauan ini kembali dikunjungi wisatawan.
”Baru sekitar empat hingga lima tahun terakhir wisata di Banda mulai menggeliat. Hotel dan penginapan bertumbuhan. Di Pulau Naira ada 16 hotel dan penginapan. Di Pulau Hatta yang baru berkembang mulai 2012 bahkan sudah muncul 15 penginapan,” kata Camat Banda Kadir Sarilan.
Seiring dengan meningkatnya kunjungan wisatawan, masalah transportasi masih menjadi kendala utama di Banda. Penerbangan pesawat ke Banda hanya berlangsung seminggu sekali sehingga akses utama ke kepulauan ini tertumpu pada jalur laut. Layanan moda transportasi laut yang datang rutin ke Banda, yaitu kapal Pelni dua minggu sekali, kapal perintis sekali sebulan, dan kapal cepat seminggu dua kali.
Pada saat musim ombak besar meliputi angin barat (Desember-Februari) dan angin timur (Juli-Agustus), praktis hanya kapal Pelni berukuran besar yang bisa berlayar dari dan ke Banda. Sementara itu, kapal-kapal cepat berukuran kecil tak bisa beroperasi karena sulit menembus tingginya ombak. (ALOYSIUS B KURNIAWAN/MOHAMAD FINAL DAENG/FRANSISKUS PATI HERIN)