KOMPAS/ARIS PRASETYO

Rumah adat bandayo poboide (dewan kerajaan di era kejaraan Gorontalo) yang terletak di depan kantor Bupati Gorontalo, Provinsi Gorontalo. Di rumah adat inilah dilakukan sidang untuk memilih dan menobatkan seorang olongia (raja) di Gorontalo. Foto ini diambil pada 25 September 2011.

Sulawesi Utara

Pesan Kearifan dari Rumah Adat Gorontalo

·sekitar 5 menit baca

Kota Gorontalo unik dengan tata kota kolonial yang masih kental. Di berbagai bilangan kota, terutama di Kelurahan Tenda, Kecamatan Hulonthalangi, rumah-rumah bergaya kolonial sangat mudah ditemui. Namun, rumah adat Gorontalo adalah keunikan yang lain lagi.

Terbuat dari bilah-bilah kayu tebal nan kokoh, rumah adat berdiri di atas cagak-cagak kayu atau beton sehingga menjadi rumah panggung. Dengan bentuk persegi panjang, luas rumah dapat mencapai ratusan meter persegi.

Atap rumah adat Gorontalo berbentuk prisma segitiga. Di atasnya ada atap lapis kedua. Prisma tersebut beralaskan atap lain berbentuk persegi panjang. Lebar dan panjangnya melebihi permukaan prisma. Dilihat dari muka rumah, empat pilar kayu tertanam di tanah untuk menopang atap. Ada dua tangga di sisi kiri dan kanan untuk naik ke beranda rumah. Dari situ, pintu masuk terletak beberapa langkah. Hanya ada satu pintu masuk dengan dua daun pintu yang tinggi.

Informasi dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada empat rumah adat di Gorontalo. Tiga di antaranya adalah rumah adat Dulohupa di Kota Selatan, Kota Gorontalo; Banthayo Pobo’ide di Limboto, Kabupaten Gorontalo; dan Gobel di Tapa, Kabupaten Bone Bolango.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Rumah adat Gorontalo atau biasa disebut Dulohupa di Kota Gorontalo, Senin (24/6/2019).

Dulohupa merupakan rumah adat yang difungsikan untuk musyawarah. Interior Dulohupa berupa aula lebar tanpa kamar ataupun ruang-ruang yang disekat tembok kayu. Ada kursi singgasana di atas panggung dengan hiasan kain-kain merah, kuning, dan hijau. Semuanya berkilau karena corak keemasan.

Di aula yang dinamakan dulodehu itu, raja Gorontalo menerima tamunya. Ada dari kalangan menteri, ulama, hingga bangsawan negara lain. Raja duduk di kursi singgasana, sementara para tamunya bersila melingkar di lantai.

”Ruang ini dinamakan dulodehu yang secara harfiah berarti ’mari saling menjatuhkan’. Namun, arti lengkapnya adalah ’mari saling membantah untuk mencari kesepakatan’. Pembicaraan saat itu seputar politik, ekonomi, pangan, dan agama,” kata Lihu.

Pada masa kerajaan, para tamu naik ke rumah dari tangga di satu sisi, lalu turun dengan tangga sisi lainnya. ”Itu artinya pembicaraan dengan raja mencapai kesepakatan. Kalau turun dari tempat yang sama, artinya perundingan berujung buntu,” ujar Lihu.

Lain halnya dengan rumah adat Banthayo Poboide di Limboto. Bentuknya tak jauh berbeda dari Dulohupa. Ada juga ruang dulodehu, tetapi ukurannya lebih kecil sebab Banthayo Poboide merupakan rumah kayu yang berfungsi sebagai istana tempat tinggal keluarga Kerajaan Limutu saat itu.

Interior Banthayo Poboide dibagi menjadi enam ruang utama dari pintu masuk hingga pintu belakang. Ruang pertama adalah ruang menyambut tamu, sedangkan dulodehu terletak di ruang kedua.

Lihu menambahkan, istana Banthayo Poboide itu memiliki 10 ruang, termasuk enam ruang utama. Ada ruang tidur raja dan permaisuri, ruang tidur anak-anak, ruang rias, dan ruang menunggu tamu. Ada pula ruang makan dan dapur di bagian belakang, meski tidak ada meja makan maupun alat masak.

KOMPAS/ARIS PRASETYO

Para tokoh adat di Gorontalo sedang menghadiri deklarasi duango adati lo Hulunthalo atau Dewan Adat Gorontalo, Rabu (4/7/2012), di Rumah Adat Dulohupa, Kota Gorontalo. Deklarasi itu dilakukan oleh 11 anggota Dewan Adat dan dihadiri para tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan perwakilan Pemerintah Provinsi Gorontalo, serta kepala daerah se-Gorontalo.

Replika

Gorontalo pernah memiliki lima kerajaan, yaitu Kerajaan Hulonthalo (Gorontalo), Limutu (Limboto), Suwawa, Bone Bolango, dan Atinggola. Meskipun mengikuti langgam bangunan istana saat itu, rumah adat kini hanyalah replika. Banthayo Poboide dibangun pada 1985 atas prakarsa Bupati Gorontalo Martin Liputo, sementara Dulohupa dibangun pengusaha dan politisi Rachmad Gobel pada awal dasawarsa 2000.

Menurut Lihu, istana seharusnya memiliki 12 jenis ruang. Di depan rumah, seharusnya ada rumah penjaga, sedangkan di belakang ada gudang penyimpanan makanan. Dua ruang ini tidak ada di Banthayo Poboide.

”Saat itu, pemerintah membangun terburu-buru di luar Jawa untuk membuktikan kinerja Orde Baru sehingga banyak detail yang terlewat,” ujar Lihu.

Pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Gorontalo, Joni Apriyanto, mengatakan, rumah-rumah adat Gorontalo hanyalah duplikasi bangunan masa lalu. Kerajaan-kerajaan di Gorontalo tidak meninggalkan artefak kebendaan sama sekali. Istana yang berkonstruksi kayu tidak bisa bertahan 50-100 tahun layaknya bangunan dari batu.

”Robertus Padtbrugge (Gubernur VOC di Maluku) pada 1670-an telah mencatat tentang kerajaan Hulonthalo dan Limutu. Namun, sebelum VOC masuk, dua kerajaan ini sudah mengalami kemunduran. Pada 1677, catatannya menyebutkan kedua kerajaan itu telah melemah,” kata Joni.

Kerajaan-kerajaan di Gorontalo efektif kehilangan kedaulatan pada 1856 dengan dikeluarkannya Staatsblad Nomor 9 tentang pemerintahan kolonial Belanda. Istana yang terbuat dari kayu pun hilang bersama zaman.

Meski begitu, kata Joni, lima kerajaan tersebut masih meninggalkan jejak dari budaya tutur yang berkembang sebelum ada tulisan Padtbrugge. ”Contohnya masih terlihat dalam pemilihan kayu untuk membuat rumah adat, juga desain bangunannya,” kata Joni.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Rumah adat Gorontalo atau biasa disebut Dulohupa di Kota Gorontalo, Senin (24/6/2019).

Pembelajaran

Kini, rumah adat Gorontalo menjadi situs perawatan akar budaya masyarakat. Anak tangga rumah adat yang berjumlah lima sampai tujuh melambangkan lima rukun silam dan filosofi hidup Gorontalo. Kelima filosofi itu adalah menjaga keturunan (bangusa talalo), mengabdikan diri untuk membela negeri (lipu poduluwalo), serta mempertaruhkan nyawa untuk mewakafkan dan mengorbankan harta (batanga pomaya, upango potombulu, nyawa podungalo).

Adapun pilar-pilar rumah adat juga bermakna enam sifat utama penduduk lima kerajaan di Gorontalo. Sifat-sifat tersebut adalah tenggang rasa (tinepo), hormat (tombulao), bakti kepada penguasa (tombulu), sesuai dengan kewajaran (wuudu), patuh pada peraturan (aadati), dan taat pada putusan hakim (buto’o).

Di samping itu, rumah adat juga dapat menjadi cerminan masa lalu untuk menatap masa depan. Misalnya, dahulu rakyat Gorontalo sangat miskin, hidup di gubuk-gubuk. Hasil bumi mereka langsung diserahkan kepada kerajaan sehingga kaya atau miskinnya rakyat bergantung pada kebijaksanaan raja.

”Berkaca dari sini, pemerintah dapat lebih memperhatikan kebijakan-kebijakan untuk menjaga kesejahteraan rakyat. Rumah adat perlu tetap dipertahankan karena itu adalah cerminan masa silam masyarakat Gorontalo, baik yang kelam maupun yang baik,” kata Lihu.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Suasana di dalam rumah adat Gorontalo atau biasa disebut Dulohupa di Kota Gorontalo, Senin (24/6/2019).

Saat ini, rumah adat terus difungsikan, di antaranya sebagai pusat rapat-rapat adat dan acara gelaran seni tradisional Gorontalo. Rumah adat juga menyimpan berbagai foto kegiatan adat, replika baju adat, hingga alat-alat musik Gorontalo.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Gorontalo Lilian Rahman mengatakan, pemprov telah menyiapkan dana Rp 70 miliar dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) untuk pelestarian budaya. Salah satu programnya adalah pembangunan Taman Budaya Limboto serta rumah adat, tempat Banthayo Poboide berdiri. (OKA/APO/ENG)

Artikel Lainnya