Seandainya Alfred Russel Wallace tak pernah menginjakkan kakinya di Sulawesi Utara, Cagar Alam Tangkoko-Batuangus di Kota Bitung mungkin tak akan mencapai usianya yang ke-100 pada Februari 2019. Jejak dan jasa Wallace menguak harta karun keanekaragaman hayati Tangkoko kini diabadikan di kawasan itu dalam bentuk patung.
Memasuki gapura Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih, Senin (17/6/2019), para pengunjung segera disambut kawanan monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra) yang biasa disebut yaki. Sekitar 300 meter dari situ, tepat di seberang kantor Resor Tangkoko Cagar Alam (CA) Tangkoko-Batuangus, berdiri monumen kepala hingga batas dada Alfred Russel Wallace, naturalis asal Inggris. Monumen itu didirikan untuk merayakan 100 tahun CA Tangkoko-Batuangus di bawah prakarsa Wali Kota Bitung Max Lomban.
”Hutan Tangkoko adalah berkat bagi kita semua. Masa depan kita juga bergantung pada hutan ini,” kata Max dalam perayaan 100 tahun CA Tangkoko-Batuangus kala itu.
CA Tangkoko-Batuangus adalah rumah bagi berbagai satwa endmik Sulawesi. Pada 21 Februari 1919, pemerintah kolonial Belanda menetapkan area Tangkoko-Batuangus sebagai monumen alam, disusul oleh penetapannya sebagai CA pada 1978 oleh Pemerintah Indonesia. Namun, betapa spesialnya keanekaragaman dalam CA ini pertama kali disadari oleh Wallace. Pada 1854, Wallace memulai perjalanannya ke pulau-pulau Nusantara. Ia pun mengumpulkan 125.660 spesimen satwa, mulai dari jenis mamalia, tumbuhan, burung, hingga serangga.
Ia menginjakkan kaki di Manado, Sulawesi Utara, pada 10 Juni 1859. Setelah singgah di pegunungan Minahasa, ia turun ke pesisir Likupang, lalu bergeser 32 kilometer ke arah timur menuju pesisir dekat Pulau Lembeh. Dalam buku Kepulauan Nusantara (1869), Wallace mengatakan, ia sampai di sebuah pantai dengan pasir hitam dari batuan vulkanis kasar akibat letusan Gunung Klabat yang berada di barat.
Di belakang pantai terdapat sebuah hutan dengan tanah datar. “Banyak rotan yang bergelantungan di pohon, menggulung dan membelit di tanah dalam pola yang membingungkan sehingga sulit dipisahkan batang demi batang,” tulis Wallace.
Wallace tidak menyebutkan nama daerah pesisir itu. Namun, deskripsi itu cukup mirip hutan TWA Batuputih. Berbagai pihak menyebut itu area CA Tangkoko-Batuangus saat ini. Selama tinggal di pesisir tersebut, salah satu hewan yang menjadi perhatian Wallace adalah maleo (Macrocephalon maleo). Wallace juga menuliskan kekagumannya pada anoa (Bubalus depressicornis) yang disebutnya ”sapi-utan”.
Meski demikian, tidak semua yang Wallace lakukan dulu bisa dilakukan sekarang oleh warga desa sekitar ataupun pengunjung TWA Batuputih. Untuk mendapatkan spesimen maleo, ia harus menembaknya dulu, baru mengulitinya. Wallace akhirnya bisa mengawetkan kepala anoa setelah 12 warga dan 20 ekor anjing yang mendampinginya menyerang dan membunuh anoa. Hal yang sama dilakukan terhadap anoa dan babirusa (Babyrousa babyrussa).
Mungkin hanya dengan cara itu, ia dapat menyimpulkan hanya ada 14 spesies darat mamalia, seperti yaki, babirusa, dan anoa. Dari 128 spesies burung di seluruh Sulawesi, ada 80 yang endemik. Hal ini cukup wajar, karena pada masa itu, jumlah spesies endemik di Sulawesi sangat berlimpah, termasuk yang ada di area CA Tangkoko-Batuangus.
”Setiap tahun, penduduk datang untuk mendapatkan telur-telur (maleo) ini. Telur maleo lebih bergizi daripada telur ayam dan rasanya lebih enak,” tulis Wallace.
Terlepas dari itu, dari perjalanannya, Wallace menyimpulkan, persebaran flora dan fauna dapat membantu memahami pembentukan daratan dan lautan dalam ilmu geologi. Ada garis yang membedakan fauna Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara dari wilayah lain yang mengapitnya. Garis pemisah imajiner itu kini dikenal sebagai Garis Wallacea. Kini, ia dikenal sebagai bapak biogeografi dunia.
Makin dikenal
Kini, semakin banyak orang memahami penting dan uniknya TWA Batuputih seluas 650 hektar yang menjadi bagian dari CA Tangkoko-Batuangus seluas 8.500 hektar. Wallace pun semakin dikenal, baik oleh masyarakat maupun wisatawan.
Nick Graham (32), wisatawan asal Inggris, mengatakan, Wallace tidak begitu terkenal dalam dunia sains jika dibandingkan dengan Charles Darwin. Padahal, ia juga menjadi pencetus teori evolusi yang ditulis Darwin dalam On the Origin of The Species (1859). Meski begitu, Nick menilai, CA Tangkoko-Batuangus adalah salah satu temuan penting Wallace.
”Sangat penting untuk menjaga hutan (lindung) di sini, terutama dari ancaman produksi massal, seperti minyak kelapa sawit di Kalimantan. Dengan begitu, hewan-hewan yang kita lihat di dalam akan tetap dapat hidup,” katanya setelah melihat aktivitas tarsius pada malam hari.
Nick juga berharap, lebih banyak orang datang ke Tangkoko. ”Melihat dan memotret satwa bisa jadi hobi yang menyenangkan. Kita tinggal datang dan menikmatinya,” sambungnya.
Kepala Resor Tangkoko Jenli Gawina mengatakan, perilaku masyarakat yang dulu mengonsumsi satwa-satwa endemik pun perlahan mulai terkikis. Sejak 1993 hingga sekarang, populasi yaki yang terdiri atas dua kelompok terus meningkat. Kelompok Rambo 1 beranggotakan 121 ekor, sementara Rambo 2 ada 64 ekor. Populasi tarsius (Tarsier spectrum) juga masih dalam kondisi aman.
”Secara kasat mata memang meningkat karena terus ada anakan. Pangan juga tercukupi karena akhir-akhir ini hujan terus turun,” kata Jenli.
Bagi masyarakat desa sekitar, kekayaan alam Tangkoko pun mendatangkan berkah melalui ekowisata sejak 1989. Jenli menyebutkan, pada 2016, pendapatan resornya mencapai Rp 800 juta. ”Dari total 8.000 pengunjung, sekitar 90 persen orang asing. Jumlah pengunjung terus meningkat,” katanya.
Manfaat ini dirasakan Ed (18), warga Kelurahan Batuputih Bawah, yang menjadi pembawa barang sekaligus pemandu wisata. Dalam sebulan, ia bisa mendapatkan Rp 900.000 sampai Rp 2 juta dari jasanya. Penginapan dan restoran pun menjamur di sekitar TWA Batuputih.
Di sisi lain, tantangan menghadang upaya konservasi di CA Tangkoko. ”Selama 29 tahun bekerja di sini, 25 tahun terakhir saya tidak pernah melihat anoa. Sempat terlihat di kamera jebakan, juga ada jejak dan kotoran yang ditemukan. Tapi, masih belum meyakinkan,” kata Jenli.
Jenli mengklaim, perburan maleo, anoa, dan babirusa sudah dapat ditekan selama beberapa tahun terakhir. Namun, ia mengaku kewalahan karena hanya ada dua polisi hutan (polhut) untuk mengawasi hutan seluas 8.500 hektar. Idealnya, seorang polhut mengawasi area seluas 500 hektar sehingga CA Tangkoko-Batuangus membutuhkan 17 polhut.
Untuk sementara, ia harus menggandeng masyarakat mitra polhut beranggotakan tujuh orang, lima laki-laki dan dua perempuan. Masyarakat sipil pun turut membantu, seperti lembaga konservasi kelurahan (LLK), Selamatkan Yaki, serta Forum Masyarakat Konservasi Hutan.
”Maret lalu ada polhut yang pensiun. Saya sendiri pensiun lima tahun lagi. Kami harap ada yang mau menggantikan, entah polhut ataupun PEH (pengendali ekosistem hutan). Setidaknya, PEH paham aspek manajerial,” kata Jenli.
Wallace telah mendedikasikan kehidupannya, salah satunya demi membentuk pengetahuan manusia akan kekayaan dan keindahan alam. Upaya melestarikan Tangkoko-Batuangus pun harus diteruskan agar jasa Wallace tak sia-sia. (OKA/APO/ENG)