Flores adalah salah satu pulau di Nusa Tenggara yang mendapat perhatian Alfred Russel Wallace. Bukan hanya satwanya yang endemik, jejak Homo floresiensis di pulau itu meninggalkan misteri yang belum terungkap.
Siang itu di sebuah mulut goa raksasa, Sabtu (3/8/2019), puluhan orang yang kebanyakan laki-laki tengah sibuk mengamati butiran-butiran tanah seukuran kelereng dari hasil galian. Beberapa lagi tampak mencatat dengan teliti. Yang lain sibuk di dalam lubang galian.
Semua bekerja dalam kehati-hatian dan penuh konsentrasi. Pada salah satu bagian dalam goa, terdapat sebuah meja kayu yang di atasnya terletak tengkorak manusia dan beberapa ruas tulang. Itu adalah replika fosil Homo floresiensis yang ditemukan di Liang Bua, sebuah situs goa raksasa di Desa Liang Bua, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
”Volume otaknya (Homo floresiensis) sangat kecil, seperti simpanse. Semua manusia yang hidup 3 juta sampai 2 juta tahun yang lalu seperti itu dan dinyatakan sudah punah,” ujar Matt Tocheri, paleontropolog dari Universitas Lakehead, Kanada, saat ditemui Tim Ekspedisi Wallacea Harian Kompas di situs Liang Bua. Namun, lanjutnya, temuan terbaru membuktikan bahwa mereka hidup 60.000 tahun sampai 40.000 tahun yang lalu.
Ciri lain dari fosil Homo floresiensis adalah ukuran tinggi sekitar 100 sentimeter dengan tulang kaki dan tangan cukup kekar. Tulang kening agak menonjol dengan dahi miring ke belakang. Bagian wajah menjorok ke depan dengan rahang yang kuat dan nyaris tidak memiliki dagu.
Thomas Sutikna, arkeolog Universitas Wollongong, Australia, yang memimpin ekskavasi di Liang Bua, mengatakan, hingga sekarang belum jelas dari mana asal-usul Homo floresiensis dan bagaimana mereka bisa sampai di Flores. Begitu pula penyebab punahnya spesies tersebut belum terungkap jelas. Di situs Liang Bua juga ditemukan endapan material vulkanik.
”Pada 50.000 tahun yang lalu, ada letusan gunung api yang sangat hebat. Tetapi, kami tidak menyebut letusan itu yang memicu kepunahan Homo floresiensis bersama binatang endemik lain, yaitu gajah purba (Stegodon floresiensis), bangau (marabou stork), dan komodo (Varanus komodoensis), di Flores,” ucap Thomas.
Tikus raksasa
Selain fosil Homo floresiensis, ekskavasi di Liang Bua juga menemukan ratusan ribu fragmen tulang tikus pada lapisan tanah yang sama di mana Homo floresiensis ditemukan. Peneliti berasumsi, temuan tulang tikus tersebut menjadi petunjuk bahwa di masa lalu, tikus menjadi sumber kalori Homo floresiensis. Ukuran terbesar tikus yang ditemukan di situs tersebut seberat 1.200 gram.
”Melalui bukti-bukti yang ada, jumlah tikus yang melimpah dan ukuran yang lebih kecil (dari Homo floresiensis), tetapi mengandung sumber protein hewani yang cukup untuk konsumsi manusia, adalah dugaan kenapa tikus menjadi buruan,” ujar Ni Luh Gde Dyah Mega Hafsari, peneliti pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, yang meneliti keberadaan tikus-tikus di Liang Bua pada 2016.
Dari hasil penelitian, lanjut Mega, jenis tikus terbesar adalah Papagomys armandvillei (1.000-1.200 gram) hingga tikus terkecil berukuran 50 gram dari jenis Rattus hainaldi dan Rattus exulans. Diperkirakan daging tikus raksasa di Liang Bua dikonsumsi dengan cara dimakan dalam kondisi mentah atau dibakar.
Catatan Wallace
Alfred Russel Wallace, naturalis asal Inggris yang menjelajah Nusantara pada 1854-1862, memang tak menginjakkan kakinya ke Flores, tetapi dia mengirim asistennya ke pulau itu. Meski mencurahkan banyak perhatian pada satwa endemik Nusantara, Wallace juga menaruh perhatian besar pada ras-ras manusia Nusantara yang ia bagi menjadi dua, yaitu ras Melayu dan ras Papua.
Dalam bukunya berjudul The Malay Archipelago yang terbit pada 1869, Wallace menulis dengan rinci ciri fisik sampai tabiat manusia-manusia Nusantara yang ia jumpai. Analisis lebih jauh Wallace tentang ras tersebut menyeretnya pada teori biogeografi.
Penelitian tentang Homo floresiensis memang belum tuntas. Upaya mengungkap peradaban masa lalu di Liang Bua menjadi tantangan bagi peneliti tentang bagaimana asal-usul persebarannya dan dari mana asal muasalnya. Yang jelas, berbagai penelitian dan temuan menunjukkan bahwa manusia Nusantara datang dari berbagai ragam bauran genetika.
Kesadaran mengenai hal itu seharusnya membawa pada kesadaran yang lebih jauh lagi, yaitu tak relevan lagi mendebatkan siapa manusia pribumi dan siapa pendatang. (APO/FRN/LUK)