SEPANJANG Selasa, 16 Oktober 2007, itu, empat seismograf yang ditanam di Gunung Kelud terus mengirim sinyal geletar gempa. Suhu air danau kawah di gunung berketinggian 1.731 meter itu terus naik seiring makin banyaknya gelembung gas yang menguar dari dasar. Warna air danau yang semula hijau telah menjelma menjadi putih susu.
Dari kantornya di Bandung, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono gelisah memantau perubahan itu. Dia segera menulis draf peningkatan status Awas untuk Kelud di telepon genggamnya. Awas artinya status tertinggi sebelum gunung api dinyatakan meletus.
”Begitu aktivitas Kelud meningkat, pesan di telepon akan segera saya kirim. Satu detik sangat berharga, saya tidak mau kecolongan,” kisah Surono.
Sejak Kelud menggeliat pada awal Oktober, Surono memboyong sementara kantor sekaligus para ahli gunung api dari Bandung ke Pos Pengamatan Gunung Api Kelud di Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kediri, Jawa Timur. Pos itu terletak sekitar 7 kilometer dari kawah Gunung Kelud.
Mereka memantau pergerakan Kelud nyaris tanpa jeda. Di sela-sela itu, Surono terbang ke Bandung, memantau perkembangan Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda dan Gunung Guntur di Garut, Jawa Barat, yang saat itu juga menggeliat.
”Kelud hanya memiliki dua tipe letusan, besar dan besar sekali, serta dalam sejarahnya pernah menghancurkan Kediri. Itu yang membuat saya khawatir,” kata Surono.
Letusan besar berarti melontarkan air panas dari danau kawah bercampur batuan panas dan kerikil, yang disebut sebagai lahar letusan. Jika selain lahar letusan juga mengeluarkan awan panas, sebutannya letusan besar sekali.
Berbeda dari gunung api lain, letusan Kelud tidak diawali dengan letusan kecil yang semakin lama semakin besar sehingga tak memberi waktu cukup bagi masyarakat untuk menghindar. ”Letusan Kelud biasanya langsung besar dan singkat,” kata Surono.
Saat meletus, Kelud mengeluarkan 100 juta-200 juta meter kubik rempah vulkanik dalam waktu hanya 5 jam. Dibandingkan dengan Gunung Merapi yang membutuhkan waktu satu bulan untuk mengeluarkan material sebanyak 150 juta meter kubik saat meletus tahun 2010, letusan Kelud jauh lebih fenomenal.
Dari ratusan gunung di Indonesia, selain Galunggung di Jawa Barat, Kelud merupakan gunung spesial bagi Surono. Kunjungannya ke Galunggung mengantar seorang profesor dari Amerika Serikat pada tahun 1982 membuatnya tertarik menekuni kegunungapian. Itu di luar tren karena kebanyakan rekannya, lulusan Fisika Institut Teknologi Bandung, memilih bekerja di perusahaan minyak dan pertambangan.
Pada tahun itu pula ia melamar dan diterima bekerja di lingkungan PVMBG (dulu Direktorat Vulkanologi). Ia pernah menjadi Kepala Subdirektorat Mitigasi Bencana Geologi sebelum ditunjuk sebagai Kepala PVMBG pada tahun 2006.
Kelud ibarat kawah candradimuka, yang menggodok kepakaran Surono soal gunung api. Kelud mengantarkan Surono meraih gelar master dan doktor dari Université Joseph Fourier, Grenoble, Perancis, karena penelitiannya tentang instrumen akustik untuk memantau kondisi Kelud saat gunung itu meletus pada tahun 1990.
Tak hanya bagi Surono, Kelud juga memiliki peran penting dalam sejarah pemantauan gunung api di Indonesia. Lembaga pemantauan gunung api di Nusantara untuk pertama kali dibentuk setelah meletusnya Gunung Kelud pada tahun 1919 yang menewaskan lebih dari 5.000 orang. Petaka itu telah menyadarkan Pemerintah Kolonial Belanda untuk membentuk lembaga yang khusus menangani gunung api.
Saat meletus, Kelud mengeluarkan 100 juta-200 juta meter kibik rempah vulkanik dalam waku hanya 5 jam
Pada 16 September 1920, Belanda membentuk Vulkaan Bewakingsdienst (Dinas Penjagaan Gunung Api). Lalu pada tahun 1922 diubah menjadi Volcanologische Onderzoek (VO) dan dikenal sebagai Volcanological Survey pada tahun 1939. Sejak 2001, lembaga itu berubah menjadi PVMBG. ”Kelud adalah titik balik bagi saya, juga bagi PVMBG,” kata Surono.
Awal November 2011, dia kembali ke Gunung Kelud untuk melihat kondisi terakhir gunung api yang telah berubah wujud. Danau kawah telah menghilang, digantikan kubah gunung baru. ”Di pos ini pada saat krisis tahun 2007, kami berhari-hari begadang. Hampir tiga minggu di sini,” kisah Surono.
Di tengah kesibukannya memantau gunung api di Indonesia, Surono dengan ringan hati meluangkan waktu untuk pergi ke Kelud.
”Saya siap membantu memberikan pemahaman kepada masyarakat soal gunung api. Semoga tak ada gunung api lain yang tiba-tiba meletus,” kata Surono saat diajak ke Kelud.
Begitu rampung dari acara konferensi internasional tentang Gunung Merapi di Yogyakarta, dia segera terbang ke Surabaya lalu bermobil sekitar empat jam ke Kelud. Padahal, di sela-sela seminar itu, Surono sempat dirawat dokter. Kondisi kesehatannya menurun akibat kelelahan.
”Letusan 2007 baru permulaan dari drama Kelud,” katanya. ”Saat ini Kelud memasuki babak baru.”
Hujan deras mengguyur saat Surono mengenang detik-detik penuh ketegangan selama krisis Kelud tahun 2007 bersama para petugas pemantauan Gunung Kelud.
Ditengah kesibukannyanya memantau gunung api di Indonesia, Surono dengan ringan hati meluangkan waktu untuk pergi ke Kelud