Kedaulatan Petani
Para petani teh di Kabupaten Solok, Sumatera Barat, membentuk koperasi dan menanam teh organik untuk mencoba keluar dari jeratan tengkulak. Setidaknya kini mereka mempunyai lahan seluas 144 hektar yang sudah bersertifikat organik serta produk teh siap seduh. Ini kabar baik dari Sumatera Barat.
Tak kurang dari 23 petani teh berkumpul di sebuah bangunan pinjaman di Nagari Batang Barus, Kecamatan Gunung Talang, Kabupateh Solok, Sumatera Barat, awal Juli tahun lalu. Mereka sedang membahas upaya mendapatkan sertifikat dari Lembaga Sertifikasi Organik (LSO) Provinsi Sumatera Barat.
Sertifikat ini menjadi amat penting untuk meningkatkan harga jual pucuk segar daun teh. Para petani ini mulai sadar bahwa teh organik dapat menjadi jalan keluar dari jeratan tengkulak yang selama ini lebih banyak menyengsarakan daripada menolong mereka.
”Kalau sertifikat sudah kami kantongi, saya yakin kehidupan kami sebagai petani akan lebih baik. Harga jual akan naik sehingga kami punya pemasukan lebih besar,” kata Prihayati (60), petani teh yang memiliki lahan sekitar 2 hektar.
Para petani, yang terhimpun dalam Koperasi Produsen Teh Organik Sebelas Jurai Saiyo (KPTO-SJS), ini tinggal menunggu karena semua persyaratan untuk mendapatkan sertifikat organik sudah mereka lalui. Kala itu ada 55 hektar lahan yang mereka usulkan sebagai lahan pertanian organik.
Pada awal Desember 2019, LSO Provinsi Sumatera Barat menyerahkan sertifikat organik untuk 49,5 hektar lahan milik KPTO-SJS di Nagari Aie Batumbuak, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok. Sisanya belum mendapat sertifikat karena harus menunggu 2,5 tahun masa transisi.
Ilham Yudha Putra selaku Manager Marketing dan Promosi KPTO-SJS menjelaskan, total lahan yang dimiliki petani di koperasi mencapai 144 hektar. Lahan ini semula ditanami teh, tetapi non-organik. Artinya, tetap menggunakan pupuk dan pembasmi hama kimia. Butuh waktu 2,5 tahun masa transisi untuk membersihkan kandungan-kandungan residu kimia di dalam tanah.
Setelah melewati masa itu, daun teh akan diperiksa lagi untuk memastikan tidak ada lagi kandungan zat kimia berbahaya sisa dari pupuk ataupun pembasmi hama kimia. ”Uji laboratoriumnya di Jerman,” kata Yudha.
Jeratan tengkulak
Yudha merupakan salah satu dari tiga pemuda Solok yang mengajak petani beralih ke teh organik. Dia ditemani Wahyu Nusa Lubis dan Ronald. Setidaknya, sejak 2008, dibantu organisasi nonpemerintah dari Belanda, SHGW Bio Tea Indonesia, mereka mengajari petani menanam teh organik serta cara memetik daun teh dengan benar.
Yudha dan rekan-rekannya membimbing petani agar hanya memetik pucuk halus. Itu artinya hanya pucuk daun plus tiga daun di bawahnya.
Ketiganya mendatangi satu per satu petani. Namun, ternyata hal itu tidak maksimal karena banyak petani terjerat utang dengan tengkulak. Para tengkulak ini rajin menawari pinjaman uang untuk kebutuhan anak sekolah, pupuk, sampai konsumsi keseharian petani dan bisa dibayar saat panen daun teh nanti. Banyak petani tergiur dana segar tersebut, apalagi pada saat kenaikan kelas anak sekolah, atau pada saat musim pemupukan kebun teh.
Akan tetapi, itu hanya umpan manis. Sebab, saat sudah berutang kepada tengkulak, para petani harus menjual hasil panen pucuk segarnya kepada mereka. Sayangnya, para tengkulak ini sering tidak mengikuti harga pasar. Misalnya ketika harga pucuk segar di pasar Rp 2.500 per kilogram, tengkulak hanya membeli Rp 1.400 per kilogram. Hingga lima tahun lalu, setidaknya ada 96 petani yang terjerat tengkulak.
Yudha dan rekan-rekannya tak patah arang. Mereka membentuk koperasi pada 2015 sebagai wadah untuk menyadarkan petani pentingnya berserikat dan berdaulat agar keluar dari jeratan tengkulak. Jumlah anggota koperasi ini terus bertambah dan kini mencapai 39 orang. Hal ini juga berkat bantuan pemerintah dalam bentuk bibit atau pupuk gratis yang meningkatkan daya tarik berkoperasi.
Untuk distribusi daun pucuk segar, koperasi membantu menyalurkannya ke PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI di kawanan Danau Kembar dan ke PT Mitra Kerinci. Yang terakhir ini adalah perusahaan yang berada di bawah holding PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). PT Mitra Kerinci sedang membalik keadaan dari merugi menjadi untung antara lain karena kualitas daun teh yang bagus dari para petani tadi.
Selain ke PTPN VI dan PT Mitra Kerinci, petani menyalurkan tehnya juga ke pengelola-pengelola tingkat rumah tangga, seperti Lugus dan Leguta. Kedua merek ini amat tenar di Sumatera Barat sebagai produsen teh organik.
Anton (30), petani teh dengan lahan 2 hektar, mengatakan, dulu ketika masih harus menjual ke tengkulak, dia hanya bisa memanen 150 kilogram pucuk daun segar per bulan per dua patok atau 0,2 hektar. Panen itu dia jual ke tengkulak Rp 1.600 per kilogram. Putaran panen harus menunggu sebulan karena yang dipetik adalah pucuk kasar, yakni daun teratas plus lima daun di bawahnya, sehingga butuh waktu lama untuk tumbuh pucuk baru.
Sejak masuk koperasi, dia diajarkan petik pucuk halus dengan siklus 10 hari sekali. Hasilnya memang tak lebih dari 75 kilogram per 10 hari. Itu setara dengan 225 kilogram per bulan. Harganya bisa sampai Rp 4.000 per kilogram karena yang dia petik pucuk halus. Dengan demikian, keuangannya membaik karena pemasukan bisa sampai tiga kali lipat.
Selain mampu mengelola tanaman teh dengan baik, petani mulai mandiri memproduksi teh. Lugus dan Leguta adalah contohnya. Pemilik dua merek ini kerap ikut lokakarya dan pelatihan cara memproduksi teh.
Produksi mandiri
Suatu siang di rumah Wai Nijor (54), pemilik merek Leguta di Aie Batumbuak, aroma daun segar menyeruak dari bangunan semipermanen di depan rumahnya. Rupanya, dia tengah memproduksi bubuk teh hijau. Dia enggan menyebutnya sebagai macha meskipun bentuknya sama, karena kualitasnya belum sesempurna macha dari Jepang.
Di ruangan itu, dia menggiling dengan batu granit. Cara mengeringkan tehnya pun masih menggunakan panci dan mesin steam yang dia rancang sendiri. Masih semimanual dan sederhana untuk ukuran produksi teh kualitas bagus. Akan tetapi, kualitas teh hijau, macha, ataupun teh putih dari Leguta ini tak kalah dengan teh-teh pabrikan modern.
”Produksi kami masih kecil, baru 5 kilogram untuk teh hijau. Untuk bubuk teh hijau, malah kurang dari itu. Namun, keuangannya jauh lebih bagus daripada sebelumnya,” kata Nijor yang menjual bubuk teh hijau Rp 100.000 per kilogram itu.
Semangat organik dan koperasi menjadi titik berangkat petani di Solok untuk berdaulat. Mereka tengah belajar menghargai diri sendiri dan meningkatkan harga diri. Inilah kabar baik dari Sumatera Barat.
(Mohammad Hilmi Faiq)