Gempa berkekuatan 7,2 skala Richter pada tahun 2004 membawa perubahan bagi konstruksi rumah-rumah penduduk Nabire, Papua. Tak ingin tempat hunian mereka kembali rata dengan tanah saat gempa melanda, warga setempat mengandalkan kayu sebagai bahan utama bangunan rumah. Selain ramah lingkungan, juga relatif mudah ditemukan.
KORNELIS KEWA AMA
Masyarakat Nabire mulai sadar akan pentingnya membangun rumah tahan gempa dengan memanfaatkan bahan dari kayu. Kesadaran seperti ini juga ”menjalar” ke wilayah sekitar, termasuk di pedalaman Papua, seperti Kabupaten Dogiyai, Deyai, Paniai, Intan Jaya, Puncak Jaya, Puncak, Pegunungan Bintang, dan Wamena. Maklum, daerah-daerah ini turut merasakan dampak gempa dahsyat Nabire delapan tahun silam.
Sifat kayu yang lentur terhadap guncangan menjadi alasan untuk memilih bahan itu sebagai komponen utama bangunan rumah. Warga tak ingin lagi menggunakan bahan bangunan rumah dari beton. Pasangan batu bata bersifat getas dan mudah patah jika diguncang gempa. Dari sekitar 119.210 bangunan, hanya 20 persen atau 23.842 unit yang menggunakan bahan beton.
Masyarakat yang berdiam di ”leher burung cenderawasih” itu kini hanya menempatkan beton sebagai fondasi bangunan dengan ketinggian 50 – 100 cm. Selanjutnya, bangunan beton disambung kayu yang ditata rapi dengan berbagai gaya arsitek lokal dan modern. Bangunan berlantai dua pun tetap mempertahankan bahan bangunan kayu.
Khusus di Nabire, pada Mei lalu, bangunan dari bahan kayu sudah mulai tampak dari menara Bandara Nabire hingga permukiman penduduk. Menyusuri lokasi transmigrasi, mulai dari Kelurahan Morgomulyo sampai satuan permukiman satu atau Kelurahan Bumi Raya, pun tampak bangunan berbahan kayu.
Di sisi kiri kanan jalan tampak deretan bangunan kekar dengan bahan kayu bersusun. Warga setempat menyebut rumah papan.
Memang sebagian penduduk menggunakan lantai dari bahan keramik dan peluran semen. Namun, sebagian besar di antaranya menggunakan kayu untuk bahan di lantai. Adapun atap rumah umumnya dari baja ringan dengan kuda-kuda rangka baja dipadu bahan kayu.
Wakil Ketua Komisi A DPRD Nabire, Papua, AP You, di rumah kediamannya di Nabire mengatakan, saat dirinya menjadi Bupati Nabire dua periode berturut-turut (1999-2010), ia mewajibkan warganya membangun rumah tahan gempa. Kebijakan itu dikeluarkan pascagempa bumi dahsyat melanda Nabire 2004.
Kebijakan itu tak sekadar pidato, tetapi langsung dikonkretkan dengan contohnya. Rumah yang dibangun You dengan dominan berbahan kayu, tidak rusak saat gempa tahun 2004.
”Saat gempa tiba, saya bersama anak dan istri tenang-tenang saja dalam rumah,” kenang You.
Pascagempa, sebagian warga diundang ke rumah You, melihat kondisi rumah kayu itu.
Alhasil, pada 26 November 2004, gempa dahsyat berkekuatan 6,8 skala Richter kembali mengguncang Nabire. Korban tewas menjadi lebih kecil, yakni 14 orang. Namun bangunan beton yang baru saja selesai dan sedang dikerjakan hancur lagi berantakan.
Bertolak dari pengalaman itu, masyarakat menyadari betapa pentingnya bangunan dari bahan kayu. Tanpa arsitek yang mengajari pun mereka membangun dengan bahan kayu.
Frans Tekege, tokoh masyarakat Nabire mengatakan, masyarakat Nabire mulai sadar memanfaatkan sumber daya alam untuk pembangunan. Puluhan tahun kekayaan alam Papua termasuk kayu dikirim ke luar, sementara warga Papua gandrung rumah beton.
”Semen yang dikirim ke pedalaman seperti Paniai, Puncak Jaya, dan Wamena dengan harga sampai Rp 1,5 juta per zak. Padahal, di daerah itu terdapat banyak kayu, tetapi kayu-kayu yang ada ditebang dan dikirim ke luar Papua,” kata Tekege.
Sejak 2004-2012 gempa masih terus terjadi. Tetapi dengan kondisi rumah yang tidak mudah roboh, penghuni rumah tetap merasa aman. Tidak ada lagi warga yang berhamburan keluar seperti sebelumnya, termasuk ketika terjadi gempa tektonik berkekuatan 6,3 skala Richter pada 26 April 2012. Kala itu, tidak ada lagi kerusakan bangunan atau korban jiwa sama sekali. Warga pun merasa aman.
Yohanes Degey, warga Jalan Pemuda, Nabire, mengungkapkan kelebihan dan kelemahan dari bangunan beton dan kayu. Harga semen di Nabire Rp 100.000 – Rp 110.000 per zak, sementara harga kayu berkisar antara Rp 4 juta – Rp 5 juta per meter kubik.
Namun, besar-kecilnya biaya rumah tahan gempa tergantung dari ukuran, kualitas kayu, dan bentuk bangunan. Jika rumah berukuran 8 x 10 meter dibangun secara sederhana yakni lantai semen, fondasi, dinding papan kelas tiga seperti kayu matoa, kayu jambu air dan sejenisnya, ditambah seng dan paku, maka hanya dibutuhkan biaya sekitar Rp 200 juta.
Jika rumah berukuran 8 x 10 meter itu dibangun dengan papan kelas 1-2, bagian luar disekrap, dan papan berlapis luar-dalam, disusun melebar secara rapi dengan rangka besi di setiap sudut dan persambungan, maka total nilai rumah itu sampai Rp 400 juta.
Harga mahal
Ia menguraikan, pemerintah mewajibkan jenis bangunan tahan gempa yakni dari kayu. Tetapi pemerintah tidak mengatur harga bahan bangunan kayu yang terus melonjak naik.
Sugiyono (43), tukang ojek warga transmigrasi Nabire, masih memiliki rumah beton. Rumah kayu dinilai terlalu mahal. Padahal, Nabire kaya akan kayu dan hutan. ”Di sini aneh. Kayu ada di depan mata, tetapi dijual mahal seperti didatangkan dari Jawa,” katanya.
Udin, salah satu pedagang mebel kayu di Nabire menuturkan, kayu jadi mahal karena harga kayu dari pemilik tanah memang sudah mahal. Satu batang pohon merbau, misalnya, dengan ukuran 1,5 pelukan orang dewasa dihargai Rp 2 juta – Rp 3 juta, sesuai bentuk dan panjang kayu. Harga ini belum termasuk biaya tenaga pikul dari lokasi ke jalan kendaraan, dan ongkos angkut kendaraan truk dari lokasi itu menuju Nabire. Total biaya 1 meter kubik kayu sekitar Rp 3,5 juta.
”Harga kayu Rp 3 juta – Rp 5 juta tidak mahal. Di Papua tidak ada yang murah. Coba tanya harga barang kebutuhan lainnya di kios atau pasar,” kata Udin.
Inilah salah satu kisah ironi di Papua. Harga kayu sulit dijangkau meski potensi itu melimpah.