Hampir saban hari Simforosa S Kaket (35) mendatangi Kantor Bupati Boven Digoel, Papua. Bersama warga Boven Digoel lainnya, ia menunggu jawaban proposal permintaan biaya atas nama pribadi ataupun kelompok.
Erwin EDHI P dan Nasrullah Nara
Orang-orang yang mengajukan proposal itu menyesaki ruang lobi kantor bupati yang terletak di Tanah Merah. Mereka duduk berjejer memenuhi bangku. Yang tidak kebagian tempat duduk mondar-mandir menenteng map. Mata setiap tamu menatap awas: kalau-kalau penjabat bupati Yesaya Merasi keluar ruangan dan bisa ditemui langsung untuk meminta pencairan dana proposal.
Seperti masyarakat Papua umumnya, warga Boven Digoel memaknai otonomi khusus sebagai ”bagi-bagi uang”. Salah satu cara mendapatkannya adalah dengan mengajukan proposal kepada pemerintah. Jadilah kantor bupati setiap hari riuh didatangi warga untuk meminta bantuan.
Fenomena ini kontras dengan situasi Boven Digoel 77 tahun silam. Sejumlah tokoh pergerakan nasional, seperti Mohammad Hatta dan Sjahrir yang diasingkan di Boven Digoel tahun 1935, memilih hidup mandiri tanpa harus bergantung pada pemberian jatah hidup dari pemerintah Belanda. Dalam situasi pahit sekalipun, Hatta memilih menghidupi diri sendiri dengan kegiatan menulis artikel (lihat Memoir Satu Abad Bung Hatta, Yayasan Hatta 2002).
Sekretaris Daerah Boven Digoel John Edward mengaku kewalahan atas mengalirnya proposal yang masuk. Tahun 2011- 2012 tak kurang dari 1.300 proposal menumpuk, tetapi hanya separuh yang dapat ditanggapi.
Simforosa sendiri sudah tiga kali mengajukan proposal. Dua di antaranya bersifat pribadi, yakni untuk biaya pengobatan ibunya ke Makassar senilai Rp 75 juta. Yang satunya lagi biaya pendidikan untuk adiknya yang kuliah di akademi penerbangan senilai Rp 500 juta. Kedua proposal itu ditolak.
Terakhir, warga Kampung Persatuan, Distrik Mandobo, yang aktif di sebuah LSM itu mengajukan permohonan dana pelatihan tata boga bagi ibu-ibu rumah tangga. Nilai yang dia ajukan Rp 75 juta. Namun, yang cair hanya Rp 2,5 juta.
Sepuluh tahun lepas dari Kabupaten Merauke dan berdiri sendiri sebagai daerah otonom, Boven Digoel memang giat berbenah. Namun, upaya memandirikan warga dan proses pemberdayaan yang diusung dari awal belum tampak signifikan.
Bagaikan sinterklas membagikan hadiah natal, Pemkab Boven Digoel bagi-bagi bantuan langsung tunai dari proposal yang diajukan warga. Pemkab menganggarkan dana untuk pos bantuan sosial. Dalam APBD Boven Digoel 2012, belanja bantuan sosial dianggarkan mencapai Rp 31,5 miliar dari alokasi total belanja Rp 848,3 miliar.
Linus Anden, Ketua Lembaga Masyarakat Adat Muyu, mengkritik keras cara Pemkab memberikan bantuan dengan bagi-bagi uang. Cara itu tidak memberdayakan, bahkan merusak mental masyarakat.
Menurut Linus, masyarakat Papua bukanlah pemalas. Karena itu, mereka seharusnya diberikan kail, bukan ikan. Pemkab seharusnya lebih memberdayakan masyarakat melalui pendidikan, pelatihan usaha, dan keterampilan kerja. Selama ini, warga asli Boven Digoel—suku Kombay, Wambon, Koroway, Mandobo, Muyu, dan Auyu—lebih banyak menjadi penonton pembangunan karena kemampuan sumber daya manusianya masih lemah.
Sejak mekar dari Merauke tahun 2002, perubahan fisik memang cukup menonjol terlihat di Boven Digoel. Jalan-jalan raya di Tanah Merah, ibu kota Boven Digoel, diperbaiki. Lampu-lampu penerangan jalan dipasang. RSUD Boven Digoel yang menjadi proyek bergengsi Pemkab Boven Digoel telah mulai dioperasikan setahun lalu.
Ekonomi menggeliat
Perekonomian berdetak. Pengusaha dari luar daerah, seperti Makassar, Surabaya, dan Manado, menanamkan modalnya. Mereka membuka toko kelontong sampai hotel sederhana. Pasar kecil di sudut kota di pinggiran Sungai Digoel selalu ramai setiap hari.
Sepeda motor dan mobil berseliweran meskipun umumnya berpelat merah. Angkutan kota beroperasi hingga malam hari. ”Tanah Merah sekarang lebih ramai dari beberapa tahun yang lalu,” ungkap Otis Sokoy (34), tukang ojek di Tanah Merah.
Untuk mengikuti ritme sekarang, warga asli memang perlu belajar untuk menyesuaikan diri. Toko, kios, warung makan, warung internet, swalayan, dan penginapan umumnya masih milik pendatang. Masyarakat asli Papua umumnya hanya berjualan kecil-kecilan di lapak pasar. Komoditasnya berupa hasil kebun maupun ikan hasil tangkapan di sungai. Namun, di birokrasi pemerintahan, masyarakat asli telah dominan, di samping orang Toraja dan Manado.
Boven Digoel yang terhampar seluas 27.836 kilometer persegi dihuni 54.790 jiwa. Tanah Merah bisa diakses menggunakan transportasi udara, darat, dan air. Penerbangan rutin rute Tanah Merah-Merauke dan Tanah Merah-Jayapura dilayani maskapai Merpati menggunakan pesawat jenis Twinotter. Namun, jadwal penerbangan kerap berubah karena cuaca ekstrem.
Jalan darat sudah menghubungkan daerah ini dengan Merauke melintasi jalan Trans-Papua (sekitar 500 kilometer). Namun, sebagian jalan rusak berat dan berlumpur.
Transportasi air menjadi alternatif. Bahan pokok dan bahan bangunan dikapalkan dari Merauke maupun langsung dari Makassar dan Surabaya melalui Sungai Digoel.
Boven Digoel memang berbenah, tetapi bagaikan gamang di persimpangan jalan. Birokrasi pemerintahan diwarnai intrik politik lokal. Otonomi khusus tidak berjalan mulus.
Otonomi khusus dimaknai sebatas ada dana melimpah untuk daerah. Tidak heran jika masyarakat ramai-ramai mengajukan proposal permohonan bantuan kepada pemerintah kabupaten. Isi proposal bisa beraneka macam, mulai permohonan bantuan biaya kesehatan, pendidikan, modal usaha, bantuan sepeda motor, sampai urusan kontrakan rumah.
Jika disertai rekomendasi tim sukses bupati, biasanya proposal cepat cair. Repotnya, di tengah mengalirnya proposal itu, Bupati Yusak Yaluwo kini berstatus nonaktif karena kasus korupsi.
Masyarakat berharap Wakil Bupati Yesaya Merasi yang menjadi penjabat bupati mampu mengatasi hal ini….