Kicau burung mengiris sunyi ketika malam makin larut di Danau Habema, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Sorot cahaya bulan memantul di atas permukaan danau yang berada di ketinggian 3.200 meter di atas permukaan laut tersebut.
Ini adalah malam kedua kami di Danau Habema dalam rangkaian Ekspedisi Tanah Papua. Di sebuah bukit di sisi utara danau, kami mendirikan tenda yang menjadi “rumah” dalam dua hari terakhir. Sebuah kesempatan untuk merasakan dan mengenal Taman Nasional Lorentz.
Danau Habema yang terletak di zona Sub-Alpine adalah salah satu daya tarik utama di Taman Nasional Lorentz. Danau seluas 224 hektar ini memegang predikat sebagai danau tertinggi di Indonesia dan terkenal akan cuaca dinginnya.
Jelang tengah malam, Sabtu (13/11/2021), hawa dingin semakin menusuk. Pengukur suhu menunjukkan kisaran 10 derajat celcius, tetapi rasanya lebih dingin dari apa yang tertera. Dua lapis jaket belum mampu menghalau dingin di ketinggian ini.
Api unggun menjadi penghangat kami. Dasilvira (38) polisi hutan Balai Taman Nasional Lorentz memeluk lutut di depan api unggun yang kian redup. Secangkir kopi menjadi teman setia. Saat kopi dingin, gelas aluminium diletakkan ke atas bara api agar kembali hangat.
Baca juga : Realitas Getir Benteng Terakhir
“Beberapa suku di sekitar Jayawijaya menyebut danau ini Yuginopa. Atau danau yang seperti perempuan dan laki-laki,” kata Dasil, panggilannya. “Kalau cuaca tepat, kita bisa melihat gugusan galaksi, dengan latar danau, dan gunung Trikora di belakang. Tapi begitulah di alam, kita tidak bisa prediksi cuaca,” tambahnya sembari menyeruput kopi.
Dasil, bersama dua rekannya sesama pegawai Balai TN Lorentz, Amandus, dan Zakarias, menemani kami untuk menginap di Danau Habema serta melihat langsung kekayaan hayati di danau ini. Bertahun-tahun bertugas, mereka mengenal dekat kawasan ini.
Namun, ketika malam semakin jatuh menuju pagi. Dasil dan rekannya pamit beringsut ke tenda, tak kuasa menahan dingin dan kantuk. Begitu juga kami yang bergegas masuk ke dalam tenda dan meringkuk ke kantung tidur.
Ketika pagi tiba, kabut masih menetap di sekitar Danau Habema yang berbaring anggun di kaki Pegunungan Trikora. Tenda basah oleh embun. Aroma tanah basah dan embusan angin pegunungan mengisi udara.
Seiring hari mulai tinggi, pohon yang hijau dan kecoklatan mulai terlihat jelas di tepi danau. Air yang tenang terlihat serupa cermin raksasa, dengan kabut yang masih tebal di atasnya. Danau Habema menunjukkan semua lekuk keindahannya. Sebuah pemandangan magis yang tidak henti-hentinya membuat takjub.
Sekumpulan Itik Noso (Anas waigiuensis), salah satu hewan endemik di kawasan ini riang bermain di danau. Sesekali mereka terbang sejauh puluhan meter, sebelum kembali mendarat di permukaan danau.
Rawan
Hanya tenda kami yang terlihat di Danau Habema pada hari itu. Banyak yang enggan menginap di Habema karena pertimbangan keamanan. “Padahal di sini sangat indah, menarik. Tapi rawan, jadi masih jarang yang datang. Saya saja yang sudah 10 tahun di Wamena, baru pertama kali menginap di sini,” kata Chaerul Iman (32), supir yang mengantar kami kelilng Wamena.
Meskipun Chaerul telah beberapa kali mengantar tamu ke Danau Habema. Akan tetapi, baru kali ini ia merasakan menginap di tepi danau. Biasanya, ia berangkat pagi dan pulang sebelum gelap. Kondisi keamanan yang belum terjamin, membuatnya khawatir.
Ancaman keamanan di area Pegunungan Tengah Papua ini memang tidak terelakkan. Terlebih, daerah ini termasuk zona “merah”, zona di mana kontak tembak antara militer dan kelompok kriminal bersenjata terjadi. Untuk memutuskan menginap di danau ini perlu mengutamakan kehati-hatian. “Kalau ada orang yang singgah, jangan lupa untuk diberi rokok atau makanan,” kata Amandus mengingatkan.
Untuk mencapai Habema, kami harus terbang dulu dari Bandara Sentani Jayapura menuju Bandara Wamena Jayawijaya. Berbeda dengan daerah lain yang memerlukan tes cepat antigen terkait pandemi Covid-19, kami harus melakukan tes usap nasofaring dan orofaring. Syarat ini ditetapkan Pemerintah Kabupaten Jayawijaya bagi siapapun yang ingin masuk ke wilayah ini melalui perjalanan udara.
Baca juga : Sawit Ditolak, Terbitlah Jagung
Dari Wamena, ibukota Jayawijaya, yang pernah terjadi kerusuhan pada 2019 ini, perjalanan menuju Habema dimulai. Kami harus menyewa kendaraan berpenggerak empat roda meski sebagian besar jalan telah mulus. Jalur Trans-Papua sepanjang 48 kilometer menuju danau ini telah selesai dikerjakan. Namun, jalur yang menanjak dan sebagian jalan masih berupa tanah berbatu membuat kendaraan harus mumpuni di medan ekstrem.
Kekayaan hayati
Danau Habema serupa mutiara raksasa di area pegunungan tengah Papua. Selain itik Noso, di sekitaran danau juga menjadi habitat burung Isap Madu Elok atau Macgregoria pulchra. Spesies burung ini memiliki warna hitam legam serupa gagak. Ia memiliki gelambir di mata berwarna kuning terang, dan bercak kuning yang juga terang di bagian sayap.
Tidak hanya itu, kawasan ini juga habitat Canis lupus dingo. Dingo adalah anjing hutan yang meraung seperti layaknya seekor serigala. Keberadaannya terpantau di sekitar Habema.
Nama danau ini sendiri berasal dari seorang perwira detasemen militer Belanda, Letnan D Habbema. Ia mengawal ekspedisi pimpinan Hendrikus Albertus Lorentz di kawasan tersebut tahun 1909. Ekspedisi itu bertujuan mencapai Puncak Trikora atau yang dulu disebut Puncak Wilhelmina.
Tidak usah jauh-jauh, kedalaman danau Habema ini bahkan belum kita ketahui. Dan ini hanya salah satu bagian dari kekayaan TN Lorentz yang seluas 2,3 juta hektar, dengan ekosistem paling lengkap, dari laut hingga gunung tertinggi di Indonesia
Kepala Balai Taman Nasional Lorentz Acha Anis Sokoy mengatakan, hanya sebagian kecil dari kekayaan hayati Lorentz yang terungkap. Ia bahkan menaksir kekayaan hayati yang telah diketahui di Lorentz hanya maksimal 40 persen.
“Tidak usah jauh-jauh, kedalaman danau Habema ini bahkan belum kita ketahui. Dan ini hanya salah satu bagian dari kekayaan TN Lorentz yang seluas 2,3 juta hektar, dengan ekosistem paling lengkap, dari laut hingga gunung tertinggi di Indonesia,” ujar Acha.