Berkat hamparan mangrove yang total luasnya 257.468 hektar, perairan Teluk Bintuni jadi rumah bagi udang dan kepiting. Namun, jangan harap dapat dengan mudah menemukan restoran atau tempat makan “sea food” di sana. Tak terlihat pula keberadaan toko oleh-oleh khas kabupaten “mutiara hijau” itu di sisi jalan raya, terutama yang menawarkan camilan berbahan udang dan kepiting.
Ida Padwa (41) menjadi salah satu pelopor yang membuat kudapan berbahan baku hasil laut Teluk Bintuni. Namun, menemukan dia pun tidak mudah, sebab ia belum memiliki toko tempat berjualan atau pun akun media sosial untuk menjajakan produknya.
Ida bersama keluarganya tinggal di kawasan SP 5 Kampung Argosigemerai, Distrik Bintuni Timur. Produk olahan udang dan kepiting yang dibuat Ida diproduksi di sebuah bangunan bercat kuning, beratap limas, dan berukuran sekitar 3 meter x 5 meter. Rumah mereka dan dapur itu dipisahkan oleh satu tanah lapang.
Tidak ada etalase toko karena ia hanya berproduksi saat menerima pesanan. Untuk memproduksi kudapan udang dan kepiting, Ida dibantu seorang putranya. Kudapan berbentuk sistik dan tortilla itu dimasak dengan kompor berbahan bakar minyak. Tidak ada pengawet buatan dalam adonan tersebut.
Ida mematok harga Rp 10.000 per kemasan kepada tetangga dan warga di Teluk Bintuni, dengan ukuran 85 gram per porsi. Untuk pelanggan di luar Teluk Bintuni, termasuk yang dibawanya ke berbagai pameran, ia menjual seharga Rp 15.000-Rp 25.000 per kemasan ukuran 100 gram. Tidak ada perbedaan harga untuk sistik dan tortila, baik yang berbahan udang maupun kepiting.
Karena produksi masih berdasarkan pesanan, tidak pernah ada sisa setiap Ida membuat sistik dan tortila. Ia mampu menghasilkan 200 bungkus camilan dalam dua hari. Omzet per bulan rata-rata lebih dari Rp 5 juta.
Sfandoya dari bahasa Biak, artinya dari sesuatu yang kecil dibuat menjadi hal yang sangat berarti
Namun, keuntungan Ida per bulan baru sekitar Rp 500.000. Ia juga baru berani menjangkau pelanggan di Pulau Papua, antara lain ke Manokwari, Tambrauw, dan Sorong di Papua Barat, serta ke Biak dan Jayapura di Papua.
Kendati demikian, Ida yakin usaha camilan berbahan udang dan kepiting khas Teluk Bintuni masih bisa lebih maju. Sesuai dengan kata Sfandoya yang dijadikan jenama produknya. “Sfandoya dari bahasa Biak, artinya dari sesuatu yang kecil dibuat menjadi hal yang sangat berarti,” ujar Ida Padwa, saat ditemui di rumahnya, April 2021 silam. Keluarga Ida dan suaminya berasal dari Biak.
Awal perjalanan
Perjalanan Sfandoya bermula dari keprihatinan Ida terhadap minimnya pemanfaatan udang dan kepiting di Teluk Bintuni. Tentang susahnya Kompas menemukan tempat makan yang menawarkan menu udang dan kepiting, Ida menuturkan, warga enggan menjual masakan udang karena harga di pasar amat mahal, sekitar Rp 110.000-Rp 120.000 per kilogram.
Kesempatan menaikkan kelas udang dan kepiting terbuka saat Ida jadi peserta pelatihan pembuatan makanan ringan yang dihelat Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni pada 2015. Itu jadi bekal Ida untuk mengubah wujud udang dan kepiting menjadi sistik dan tortila. Bisnisnya terus maju sehingga dari dinas pemberdayaan masyarakat setempat tak segan membantu pengadaan alat-alat dapur.
Bank Indonesia Perwakilan Papua Barat turut melirik geliat usaha Ida. Lembaga itu beberapa kali memesan camilan Sfandoya serta ikut membantu membelikan peralatan produksi, salah satunya mesin penggiling dan pencetak adonan.
Ida beberapa kali diminta Pemkab Teluk Bintuni menjadi pendamping peserta pelatihan usaha mikro, kecil, dan menengah. Ida juga didapuk mewakili pelaku UMKM Teluk Bintuni mengikuti beragam pameran di luar Papua Barat kurun 2016-2019. Ia pernah ke Lombok Nusa Tenggara Barat, Padang Sumatera Barat, Aceh, dan Bengkulu. “Semua tempat itu saya baru pertama kali ke sana,” ujar dia.
Sebagai wujud syukur, Ida beberapa kali membantu penggalangan dana untuk kebutuhan gereja melalui penjualan sistik dan tortila. Ia kerap tidak mengambil untung jika untuk rumah ibadah. Selama 2017 hingga awal 2021, ia terhitung sudah berkontribusi Rp 5 jutaan dengan cara demikian.
Mewariskan ilmu
Ida bercita-cita makin banyak perempuan di Teluk Bintuni yang berbisnis kudapan semacam dirinya, sehingga kesejahteraan dari udang dan kepiting makin besar bagi masyarakat. Apalagi, ia belum tentu seterusnya tinggal di kabupaten itu mengingat suaminya bisa sewaktu-waktu dipindahtugaskan ke wilayah pelayanan lain.
Ia sudah mewariskan ilmu pembuatan sistik dan tortila dengan cara mengajak ibu-ibu di sekitarnya membantunya saat berproduksi. “Ada beberapa ibu Muslim yang juga tertarik dilatih,” kata Ketua Persekutuan Wanita GKI Ebenhaezer Sigerau ini.
Sejak mulai berusaha tahun 2015, Ida sudah menyebarkan keterampilannya pada sekitar 50 ibu-ibu. Namun, hingga kini penerusnya belum kunjung muncul. Sfandoya masih pemain tunggal untuk pembuatan camilan berbahan udang dan kepiting di Teluk Bintuni.
Menurut Ida, tembok penghalang bagi kelompok-kelompok itu adalah pemasaran. Mereka bingung ke mana dan pada siapa mesti menjual. Mengandalkan masyarakat Teluk Bintuni saja sebagai target pasar jelas tidak cukup. Ida memaklumi karena Teluk Bintuni tergolong masih sulit dijangkau dari daerah lain sehingga biaya transportasi—yang bakal berpengaruh pada biaya pengiriman camilan ke luar daerah—lumayan tinggi.
Namun, Ida pantang menyerah untuk melanjutkan misinya menyebarkan semangat sfandoya pada perempuan-perempuan Teluk Bintuni lainnya. Para pembuat kebijakan di Teluk Bintuni punya pekerjaan rumah agar warga yang sudah punya semangat serupa tidak lantas melempem karena kesulitan mencari pasar. (JOG)
Biodata
Ida Padwa
Lahir: Manokwari, 7 Oktober 1980
Suami : Pdt Fredrik Mofu (47)
Anak:
1. Neil Mofu (20)
2. Meki Mofu (17)
3. Heni Mofu (10)
4. Greace Mofu (4)
Pendidikan terakhir :
SMA Oikumene Manokwari (1998)