Pesawat kami meninggalkan Bandara Sentani, Jayapura, menuju Wamena di Kabupaten Jayawijaya, Papua, November 2021. Perjalanan yang harusnya mudah itu harus kami lakoni dengan sedikit kesukaran.
Satu hari menjelang keberangkatan, kami baru tahu bahwa diperlukan tes PCR, bukan antigen untuk menuju ke Wamena. Karena menunggu hasil tes, perjalanan kami harus mundur satu hari dari rencana semula.
Beberapa saat sebelum mendarat, dari jendela pesawat berbaling-baling yang kami tumpangi, saya terkesima dengan keagungan Pegunungan Jayawijaya yang seolah mengurung Wamena, Ibu Kota Kabupaten Jayawijaya. ”Ini akan jadi petualangan yang sempurna,” bisik saya dalam hati.
Perjalanan kami dalam Ekspedisi Tanah Papua segmen Jayawijaya-Lorentz ini memang berbeda dari yang lain. Selain urusan penyakit malaria yang menjadi endemi di hampir seluruh wilayah Papua, faktor keamanan di sini juga sangat ditekankan.
There is a boy in a man, pikir saya. Mereka seperti anak-anak yang begitu riang saat mandi hujan-hujanan.
”Pokoknya jangan ada yang unggah foto di media sosial. Nanti kalau ada yang tanya, bilang kita wisatawan,” ujar ketua tim ekspedisi, Harry Susilo. ”Jangan sembarangan memotret,” tambahnya memberi pesan khusus kepada saya.
Saya teringat bagaimana akhirnya bisa ikut ekspedisi di segmen ini. Akibat isu keamanan, pemilihan anggota tim lebih sulit. Hingga menjelang hari keberangkatan, tak kunjung ada fotografer ditunjuk. Akhirnya, segmen ini ditawarkan kepada saya yang baru saja menyelesaikan tugas untuk segmen Nabire-Biak pada Mei 2021.
Ya ikut saja, kapan lagi, pikir saya dalam hati. Sepanjang berkarier, risiko celaka sudah menjadi bagian dari pekerjaan sehari-hari.
Kesadaran itu tentu tanpa mengabaikan faktor keamanan. Keputusan saya didasari pemikiran matang dan dukungan dari keluarga.
”Ya kita nanti lihat kondisi di sana. Kita tidak akan memaksa jika kondisi memang membahayakan,” jelas Harry Susilo, menenangkan saya yang sedikit gelisah saat bertanya tentang risiko keamanan beberapa saat sebelum menerima penugasan.
Beberapa kasus penyerangan bersenjata yang berujung kematian di sekitar daerah yang akan kami datangi memang menjadi momok menakutkan. Selain saya dan Harry Susilo, anggota tim di segmen kali ini ialah wartawan Ichwan Susanto, Saiful Rijal Yunus, Stevanus Ato, serta videografer Rian Septiandi.
Tiba di Wamena, kami langsung mengurus segala perizinan dan membeli keperluan logistik. Baru pada malam harinya kami masuk hotel. Keesokan pagi, perjalanan diteruskan menuju Danau Habema, salah satu tujuan liputan kami.
Kabut tipis yang memeluk barisan rapat pepohonan, dingin menusuk tulang, serta deretan pegunungan tinggi yang menjulang, menemani perjalanan menuju Danau Habema yang berjarak 41 kilometer dari Wamena. Perjalanan terus menanjak hingga ketinggian 3.200 meter di atas permukaan laut.
Setelah berjuang keras melewati lembah dengan tanah gambutnya, kami tiba di pinggir danau tempat kami mendirikan tiga tenda. Untuk mengantisipasi hujan yang kerap turun, satu terpal besar dipasang di atas tenda.
Sambil berusaha mengumpulkan kekuatan yang terkuras habis, kami memandang hamparan danau dan padang savana yang membentang. Keindahannya membuat kami terlupa ada tugas untuk meliput kekayaan keanekaragaman flora dan fauna yang ada di sana.
Untungnya, tugas itu masih dapat menunggu hingga besok hari. Mengisi sisa siang dan malam, kami habiskan dengan bercengkerama menikmati pemandangan.
Kedinginan
Berada di ketinggian 3.000 meter di atas permukaan laut bukanlah perkara mudah. Jaket tebal isi bulu angsa kali ini ”kalah”. Dinginnya udara malam di tepi Danau Habema masih bisa menembus tulang. Dari jam yang dikenakan Rijal Yunus, suhu udara waktu itu menunjukkan angka 8 derajat celsius. Padahal, malam itu, selain jaket, saya sudah mengenakan satu kaus, dua baselayer, dan celana tebal.
Dalam situasi itu, rasa lelah akibat berjalan menuju lokasi menghadirkan rasa kantuk. Kami pun segera tertidur dengan pulas.
Esok harinya, dengan dibantu petugas Taman Nasional Lorentz, kami memulai tugas peliputan. Kami mencatat, memotret, juga memvideokan apa saja yang menarik yang kami temukan.
Kami berangkat sangat pagi, menyusuri pinggiran danau dengan rute yang menanjak terjal dan menurun tajam. Jalur yang licin membuat kami sering terpeleset, masuk ke lumpur yang membenamkan hingga mata kaki kami.
Mata pun dipaksa awas menangkap gerakan burung yang sibuk bermain di dahan pohon yang rendah. Sayangnya, kami ternyata kesiangan. Satwa yang kami incar, yaitu sejenis burung pengisap madu elok yang menjadi burung endemik di tempat itu, sudah telanjur terbang mencari makan.
Seandainya ini bukan penugasan, pastinya kami hanya merebahkan badan di bagian tanah kering untuk menikmati suguhan alam yang tidak mungkin kami dapati di lokasi kami tinggal di Pulau Jawa.
Seusai liputan, kami kembali ke tenda. Siang itu awan menutup matahari, angin dari puncak pegunungan berembus turun ke lembah, membawa udara dingin yang menusuk tulang.
Untuk mengusir dingin, kami menyalakan api unggun. Makanan ala Danau Habema yang diracik oleh Harry Susilo menjadi santapan utama untuk menghangatkan perut. Masakan tanpa nama itu terbuat dari semua bahan yang dijadikan satu. Soal rasa, itulah makanan terenak di Danau Habema.
Sorenya, Harry Susilo, Stefanus Ato, dan Rijal Yunus mengajak berenang di danau. ”Enggak berenang aja udah dingin,” kata saya menolak ajakan mereka.
Dari ketinggian saya melihat teman-teman begitu riang. There is a boy in a man, pikir saya. Mereka seperti anak-anak yang begitu riang saat mandi hujan-hujanan.
Total, hanya tiga hari dua malam kami di tepi Danau Habema. Namun, kenangannya tak mudah terlupa.
Periksa sudut-sudut kamar
Setelah jatah waktu di Habema berakhir, kami harus kembali ke Wamena. Kami menginap di hotel yang sama saat tiba pertama kali di Wamena. Hanya saja, kami mendapat kamar yang berbeda.
Masuk ke dalamnya, saya langsung memeriksa seluruh kamar. Pada saat kedatangan pertama, kami tidak melakukan pemeriksaan karena kamar hotel tidak memiliki jendela.
Berasa seperti dalam film detektif, saya dan Ichwan Susanto memeriksa hingga ke sudut-sudut kamar. Barangkali ada yang mencurigakan hingga akhirnya kami memeriksa jendela.
Betapa terkejutnya karena saya menemukan lubang bekas peluru! Tidak hanya satu, tetapi dua. Ichwan pun menemukan satu lubang bekas peluru lainnya. Kami lantas melaporkan temuan ini kepada rekan-rekan lainnya.
Tiba-tiba gambaran tentang Wamena dan kawasan pegunungan Papua lainnya sebagai kawasan rawan muncul kembali di kepala. Pada 2019, daerah itu dilanda kerusuhan. Ah, mungkin lubang peluru tersebut merupakan sisa kelam kejadian tersebut. Kami pun berusaha menenangkan diri dan fokus dengan tujuan kami datang ke tempat itu.
Masih ada beberapa tempat yang harus kami datangi, yaitu melihat perkebunan ubi dan kopi. Semua warga yang kami datangi menyambut dengan tangan terbuka, penuh rasa persaudaraan.
Keramahan warga terasa sepanjang liputan. Semoga keindahan ini tidak rusak oleh ulah sekelompok orang.
Saya bersyukur bisa menjadi bagian dari liputan ini yang akan tercatat dalam sejarah perjalanan jurnalistik harian Kompas. (Bahana Patria Gupta)