Pagi di hutan belantara dataran tinggi Arfak, Papua Barat, begitu tenang, pada April 2021 silam. Tiba-tiba, kicauan nyaring seekor burung jantan memecah kesunyian. Burung jenis Parotia Arfak tersebut menjejak ke tanah lalu membersihkan dedaunan di tanah tempatnya berpijak.
Bak menampilkan pertunjukan tarian balet, burung dengan nama latin Parotia sefilata itu kemudian mengembangkan sayapnya sembari memutarkan tubuhnya ke kanan kiri. Bagian dalam leher yang berwarna putih mempercantik diri. Aksinya itu untuk menarik perhatian agar sang betina mendekat.
Jika sang betina datang, Parotia Arfak jantan biasanya akan menari dengan memamerkan bulu-bulu yang indah, gerakan kaki yang ritmis, disertai gerakan antena di bagian kepala yang berputar-putar. Namun, pagi itu Parotia betina tak kunjung muncul.
Alhasil, kami tak berkesempatan menyaksikan indahnya tarian sang Parotia Arfak jantan. Sebab, sesudah membersihkan daun-daun di tanah, burung yang masuk kelompok Cenderawasih itu tiba-tiba terbang entah ke mana dan tak kembali lagi.
Di sisi lain hutan, ada burung Namdur Polos (Amblyornis inornata) yang juga memiliki perilaku unik. Burung itu biasa disebut burung pintar karena bisa membangun dan menghias sarangnya dengan memanfaatkan biji-bijian dan sampah.
Untuk menghias sarang, Namdur Polos yang juga dikenal Vogelkop Bowerbird ini biasanya mengumpulkan biji-biji tumbuhan, tutup botol, atau sampah plastik. Namdur Polos jantan menghias sarang juga untuk menarik betina.
Daya tarik
Keberadaan Parotia Arfak dan burung pintar menjadi daya tarik aktivitas ekowisata birdwatching atau pengamatan burung di Kampung Kwau yang berada di Distrik Warmare, Kabupaten Manokwari, Papua Barat. Dari pusat kabupaten Manokwari, dibutuhkan sekitar dua jam dengan mobil gardan ganda menuju kampung ini.
“Program ecotourism (ekowisata) mulai diadakan di Kampung Kwau sejak 2009,” ujar Hans Mandacan (38), pengelola ekowisata di Kampung Kwau.
Baca juga : Realitas Getir Benteng Terakhir
Hutan adat Kampung Kwau berada di kawasan dataran tinggi Arfak yang menjadi habitat berbagai satwa endemik Papua Barat, termasuk beragam burung eksotis.
Thane K Pratt dan Bruce M Beehler dalam buku Birds of New Guinea menuliskan, Parotia Arfak dan Namdur Polos adalah burung endemik Papua Barat yang tersebar di sisi belakang kepala burung Pulau Papua, seperti Manokwari, Pegunungan Arfak, dan Tambrauw.
Selain kedua burung itu, ada sejumlah burung lain yang menjadi daya tarik utama dari ekowisata di Kampung Kwau. seperti Cenderawasih Belah Rotan (Cicinnurus magnificus), Cenderawasih Paruh Sabit Kurikuri (Epimachus fastosus), dan Cenderawasih Kerah atau Superb bird of paradise (Lophorina superba).
Berkat keelokan burung-burung itu, banyak wisatawan, fotografer, videografer, dan peneliti yang datang ke Kampung Kwau. Mereka bukan hanya turis domestik, tetapi juga dari luar negeri, seperti Amerika Serikat, Belanda, Inggris, Italia, Jerman, Jepang, dan China.
Demi memudahkan pengamatan atau pemotretan burung yang bisa berhari-hari, Hans membangun penginapan Papua Lorikeet di Kampung Kwau. Dari penginapan, lokasi pengamatan dapat ditempuh dengan berjalan kaki.
Untuk melihat Parotia Arfak dan Cenderawasih Kerah misalnya, wisatawan tinggal berjalan kaki sekitar 40 menit dari penginapan. Saat tiba di lokasi, terdapat bilik kecil yang terbuat dari seng sebagai tempat pengamatan burung.
Manfaat ganda
Keberadaan aktivitas ekowisata di Kampung Kwau menghadirkan manfaat ganda, yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menjaga kelestarian hutan.
“Setelah ada ecotourism, masyarakat menganggap hutan itu ‘mesin pencetak uang’. Jadi harus dijaga,”
Kesadaran untuk menjaga hutan itu muncul karena ekowisata terbukti memberikan penghasilan tambahan bagi warga selain dari kegiatan berkebun yang menjadi mata pencaharian pokok mereka.
Warga Kampung Kwau biasanya dilibatkan dalam aktivitas ekowisata sebagai porter, pemandu, atau tukang memasak. “Setelah ada ecotourism, masyarakat menganggap hutan itu ‘mesin pencetak uang’. Jadi harus dijaga,” ungkap Hans.
Sebelum ada kegiatan ekowisata, banyak warga Kampung Kwau, termasuk Hans, kerap berburu burung cenderawasih. Burung-burung itu biasanya diambil dagingnya untuk dimakan, sementara bulu-bulunya dijaga tetap utuh untuk dijual.
Adapun saat ini, kata Hans, sudah tak ada lagi warga Kampung Kwau yang berburu burung. Bahkan, masyarakat telah sepakat jika ada orang yang kedapatan berburu burung akan didenda jutaan rupiah.
Warga Kampung Kwau, Hami Mandacan (30), mengakui, dulunya sering berburu burung Parotia Arfak, Cenderawasih Belah Rotan, dan Namdur Polos di hutan. “Dulu tong (kita) buru dengan senapan. Sehari bisa dapat sepuluh burung,” tutur Hami.
Namun, setelah ada ekowisata di Kampung Kwau, Hami memilih berhenti berburu. Dia lalu bekerja sebagai porter atau pemandu sehingga memperoleh penghasilan sekitar Rp 5 juta hingga Rp 6 juta per bulan ketika sedang ramai turis. “Dulu, penghasilan sebulan (dari berburu) hanya Rp 1 juta atau Rp 2 juta,” kata Hami.
Sekretaris Pengelola Ekowisata Kampung Kwau, Zakeus Mandacan (23), menambahkan, warga Kampung Kwau dilibatkan dalam aktivitas ekowisata secara bergiliran. Dengan begitu, seluruh warga memiliki kesempatan untuk memperoleh tambahan penghasilan. (Haris Firdaus/Johanes Galuh Bimantara)