Selama berabad-abad mengalir ke Eropa tanpa diketahui muasalnya, aroma cengkeh, lada, dan pala mengundang Portugis, Spanyol, Ingris, dan Belanda datang ke Nusantara abad ke-16. Perburuan rempah mendorong penjelajahan dunia. Ribuan kapal berlayar lintas benua untuk mencari sumbernya.
Pulau-pulau di kepulauan Maluku dan Maluku Utara, daerah asal pala dan cengkeh, adalah sebagian sasarannya. Namun, kecocokan iklim dan tanah menjadikan Nusantara sebagai penghasil sekaligus pemasok utama lada (Piper nigrum) dunia, lebih dari wilayah asalnya, India. Belanda pun berinvestasi untuk mewujudkan ambisi menguasai perdagangan lada dunia.
Selama bertahun-tahun, baik sebelum maupun sesudah Perang Dunia II, wilayah Nusantara yang lalu jadi Indonesia adalah penyuplai utama rempah yang berjuluk ”king of spices” itu. Produksinya diperkirakan mampu mencukupi 80 persen kebutuhan lada dunia. Sampai akhirnya Vietnam datang belajar ke Indonesia tahun 1986-1987.
Pasril Wahid, peneliti senior yang menekuni lada, ingat ketika tiga peneliti Vietnam yang dipimpin Pam Van Dong datang ke Indonesia tahun 1986 ketika dirinya menjabat Kepala Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Kementerian Pertanian. Para peneliti itu belajar bagaimana membudidayakan dan mengembangkan lada.
Vietnam menerapkan paham budidaya intensif. Dua kunci budidaya yang dipelajari dari Indonesia, yakni pemagaran kebun dan pembuatan selokan, diterapkan selain pemakaian bibit unggul, pemupukan berimbang, dan perawatan yang baik. Sayangnya, dua kunci itu justru jarang ditemui di kebun-kebun lada di Indonesia.
Keseriusan Vietnam segera menggeser posisi Indonesia sebagai penghasil lada terbesar dunia. Data International Pepper Community (IPC), organisasi negara-negara penghasil lada dunia, mencatat produktivitas lada Indonesia hanya 663,79 kilogram (kg) per hektar (ha) pada tahun 2015. Angka ini jauh lebih rendah dari produktivitas lada Vietnam yang mencapai 2.280 kg per ha, Brasil 2.075 kg per ha, Malaysia 1.380 kg per ha, atau Sri Lanka 838 kg per ha.
Luas kebun lada Indonesia, yakni 116.000 ha pada 2015, merupakan yang terbesar kedua setelah India (200.000 ha). Sampai kini pun masih demikian. Namun, produktivitasnya hanya sepertiga dari produktivitas lada Vietnam yang memiliki kebun 57.000 ha, atau separuh kurang dari Malaysia yang memiliki kebun seluas 16.300 ha.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, produktivitas lada Indonesia hanya tumbuh rata-rata 0,03 persen per tahun selama dua decade, hingga tahun 1990. Lalu, meningkat 2,5 persen per tahun pada kurun 2010-2014 menjadi 824 kg per ha. Namun, angka itu masih jauh dari potensi produksi varietas-varietas lada unggul, yakni 1.970-4.480 kg per ha.
Sejumlah peneliti menyebutkan, rendahnya produktivitas lada Indonesia antara lain dipicu oleh serangan busuk pangkal batang (BPB), penyakit yang paling ditakuti petani karena dampaknya. Kehilangan hasil akibat BPB diperkirakan sebesar 20-30 persen.
Dyah Manohara dan Rusli Kasim dalam Monograf Lada menyebutkan, penyakit BPB menyebabkan banyak tanaman lada mati pada 1953-1956 sehingga Indonesia hanya mampu memenuhi 23 kebutuhan dunia. Padahal, sebelum Perang Dunia II, wilayah Nusantara merupakan penghasil lada terbesar yang mampu memenuhi 80 persen kebutuhan dunia.
Di lapangan, seperti di beberapa sentra lada di Lampung dan Bangka Belitung, tak sedikit petani kebingungan mengatasi penyakit BPB. Sementara penyuluhan tak berjalan dengan baik. Mereka tak tahu harus berbuat apa ketika cuaca tiba-tiba berubah atau serangan penyakit merebak. Akibatnya, identifikasi hama penyakit sering kali salah. Penyemprotan obat pun kadang tak sesuai dosis dan jenisnya.
Sejarah perkembangan lada memang tak lepas dari pasang surut harga. Namun, pergeseran posisi ”penguasa” lada dunia, dari India ke Indonesia, lalu ke Vietnam, punya pola yang sama. Siapa lebih serius dan konsisten, dialah pemenangnya. Kelebihan agroklimat semestinya menjadikan Indonesia juara. Semoga. (MUKHAMAD KURNIAWAN/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN)