Bisa lihat komodo? Tanya seorang kawan lewat aplikasi percakapan saat diberitahukan kepadanya ihwal operator wisata yang melayani pelesiran ke sejumlah pulau dalam kawasan Taman Nasional Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Pertanyaan itu, bisa dijawab ”iya” pada waktu-waktu tertentu, dan ”tidak” pada masa lainnya. Musim kawin komodo (Varanus komodoensis), dengan puncaknya pada Juli-Agustus adalah sebabnya.
Pada saat itu, komodo akan cenderung menghilang dari peredaran untuk kawin. Selain itu, fakta bahwa komodo hidup di alam liar juga menambah ketidakpastian.
Namun, tetap saja, banyak wisatawan berdatangan untuk menjumpai satwa purba tersebut karena berdekatan dengan masa liburan sekolah. Biasanya pula, ada saja individu satwa purba tersebut ditemukan. Seperti saat kami mampir ke Pulau Komodo yang ditumbuhi pepohonan asam, lontar, bidara, dan gebang persis di pengujung musim kawin pada Kamis (31/8) lalu.
Satu individu kami temukan tak jauh dari gerbang Loh Liang sebagai pintu masuk Taman Nasional Komodo. Tiga individu lain kami temukan di sekitar kawasan penginapan untuk keperluan riset yang dinaungi sejumlah jenis pepohonan.
Di antara temuan itu, sejumlah jejak kotoran komodo berupa feses berwarna putih dengan bulu- bulu hitam mencuat teronggok di beberapa sisi jalur pendakian. Warna putih diduga berasal dari tulang satwa yang dimangsa, mengingat komodo melumat utuh setiap makanannnya, dan bulu-bulu hitam diduga jejak keberadaan unggas atau burung yang dilahapnya.
Empat individu komodo itu diperkirakan berusia di atas 30 tahun. Perilaku mereka yang seakan tidak peduli pada pengunjung, hanya berbaring leyeh-leyeh, dan tidak turut hiruk-pikuk musim kawin diduga karena masing-masing merasa tak lagi sanggup bersaing.
Rafael Foan Aryzona Putra yang akrab disapa Aryz, petugas Taman Nasional Komodo yang menemani kami mengambil rute trekking jalur pendek, mengatakan, pada umur segitu, hasrat komodo untuk kawin mungkin kalah oleh individu lebih muda. Masa hidup komodo antara 40 tahun dan 50 tahun. Populasi jantan dan betina dalam perbandingan 4 : 1 menambah kepelikan itu. Aryz menyebutkan, terdapat 1.337 komodo di Pulau Komodo, 1.473 ekor di Pulau Rinca, 4 ekor di Pulau Padar, 90 ekor di Pulau Gilimotang, dan 80 ekor di Pulau Nusakode.
Padahal, kawasan yang ditetapkan sebagai taman nasional sejak 1980 dan pada 1986 sebagai World Heritage Site and a Man and Biosphere Reserve oleh UNESCO pada 1986 itu tidak hanya menyimpan eksotisme komodo. Kakaktua kecil jambul kuning (Cacatua sulphurea parvula), yang empat ekor di antaranya juga kami temukan tengah bertengger di atas pohon gebang (Corypha utan) adalah spesies yang populasinya juga diawasi ketat.
Melayari Komodo
Berlayar menuju sejumlah pulau, dan tentu saja titik-titik penyelaman, dalam kawasan tersebut adalah keputusan terbaik yang bisa diambil untuk bersenang-senang di daratan dan lautan Komodo. Kami memutuskan menumpang dua jenis kapal berbeda dan beraktivitas selama 24 jam (liveaboard), masing-masing selama 3 hari 2 malam, di kedua kapal tersebut.
Pertama Kapal Layar Motor (KLM) Adishree berjenis pinisi pada 28-30 Agustus, dan KLM Kalaki yang termasuk pelayaran rakyat pada 31 Agustus-2 September. Tarif resmi KLM Adishree untuk program 3 hari 2 malam adalah 6.500 dollar AS, sedangkan durasi sama untuk KLM Kalaki adalah Rp 15 juta.
Kapten Adishree Nasrul Nasir (35) menyebut, sejauh ini jadwal pelayaran kapal itu selalu penuh. Sejak beroperasi Mei 2016, Adishree hanya menjalani satu kali docking selama sepekan pada Februari lalu.
Itu pun bukan masa libur bagi Nasrul. Ia tetap bekerja dengan mengawasi perbaikan minor itu sembari turut menggosok badan kapal, memperbarui cat, dan sebagainya.
”Penuh terus. Belum pernah libur,” ujar Nasir. Ia seolah hendak menunjukkan geliat pariwisata di kawasan itu yang tengah berkembang.
Para tamu didominasi wisatawan dalam negeri. Adapun tamu asing berasal dari Amerika, Jepang, dan Korea. Tamu-tamu dilayani sejumlah anak buah kapal, seperti Bernadinus Egal (22), Vinsensius Afrianus Berno (19), Muhammad Natsir (45), Arman Maulana (27), Irenius G Phili (23), Asdar (39), dan Benyamin Nidua (40) di bawah kepemimpinan Nasrul.
Pengalaman menjadi kapten kapal wisata sejak tahun 2000, untuk kapal surfing dan diving, membawa Nasrul ke sejumlah lokasi eksotis di Nusantara. Ia menyebut perairan di Kepulauan Mentawai, Nias, Sumba, dan Rote sebagai lokasi-lokasi terbaik untuk melakukan aktivitas surfing.
”Tapi kalau untuk diving hanya di Komodo,” ujarnya mantap. Nasrul berargumen, sembari sesekali mengatakan perairan Komodo sebagai ”paling istimewa,” hal itu menyusul kondisi terumbu karang yang relatif lebih sehat.
Keadaan arus, yang oleh sebagian orang dilihat sebagai kendala dan oleh sebagian lagi dianggap sebagai daya tarik, menurut Nasrul, tetap bisa dihadapi. Waktu jeda antarkondisi arus di sejumlah titik, dan sikap tidak meremehkan keadaan alam, menurut Nasrul, adalah dua kunci untuk menghadapi keliaran alam tersebut.
Maka, Adishree yang dibangun di Bira, Bulukumba, Sulawesi Selatan, pada 2015 langsung membawa kami ke titik penyelaman pertama di Sebayur Kecil pada Senin (28/8) siang. Dua dive master bernama Ardus Egitadeus (29) yang akrab dipanggil Egi dan Rudyansah (45) memandu kami menjalani check dive untuk memastikan segala aspek teknis penyelaman, termasuk kondisi fisik dan psikis, memenuhi syarat untuk melanjutkan kesenangan.
Egi yang berasal dari dataran tinggi Ruteng, Manggarai, NTT, dan sebelumnya menjalani aktivitas berkebun kopi di kawasan kaki pegunungan sebelum jatuh cinta pada laut berulang kali mengingatkan tentang aspek keselamatan. Dilengkapi gambar mengenai topografi dan arus bawah laut lokasi penyelaman yang direka Rudy, Egi yang berambul gimbal memberikan taklimat dengan gaya menghibur tanpa kehilangan esensi.
”Kita tahu Komodo banyak arus, kadang-kadang penyelam profesional mau coba. Ngapain kita menantang alam. Tolong ikuti rule,” kata Egi diiringi senyum. Maka itu juga yang kami jalankan selama menyelami empat titik selanjutnya. Masing-masing Shotgun dan Castle Rock pada Selasa (29/8) serta Batu Bolong dan Taka Makassar pada Rabu (30/8).
Banyak arus dan relatif kuat. Itulah yang kami rasakan dalam penyelaman di Komodo. Konsekuensinya adalah pengaturan waktu, menyusul momen dinanti tatkala arus bisa dijinakkan, dan tuntutan kekuatan fisik serta penggunaan udara yang relatif lebih boros.
Akan tetapi, tantangan itu terbayar dengan kekayaan dan keragaman biota laut yang dijumpai. Batu Bolong, yang juga disebut sebagai Aquarium Komodo oleh pemandu selam menjanjikan perjumpaan dengan berbagai jenis ikan berukuran besar yang cenderung diam saat dipotret.
Sebut saja misalnya ikan napoleon (Cheilinus undulatus) dengan ukuran sekitar 1 meter yang berenang tenang dan cenderung menanti untuk didekati dan diabadikan. Atau moral eel yang bersembunyi di balik karang dengan mulut bergigi yang membuka dan mengatup, serta meninggalkan kesan angker.
Juga ikan pari berduri bluespotted ribbontail ray (Taeniura lymma) yang menanti di dasar samudra. Tentu saja, beratus spesies terumbu karang turut menemani petualangan di dalam samudra.
Sesi penyelaman hari pertama dan kedua ditutup dengan trekking ke dua sisi berbeda perbukitan Pulau Gililawa Darat. Privilese untuk menikmati matahari terbenam dari dataran tinggi itu juga menjadi tujuan sejumlah pengunjung, sekalipun tumpukan dan ceceran sampah plastik terlihat di salah satu titik pulau dan di sebagian sisi pantai.
Tidak hanya wisatawan Indonesia, tetapi pengunjung dari sejumlah negara Eropa dan China turut mendaki perbukitan terjal, berbatu, serta penuh debu sebelum tiba di puncak. Sebagian langsung mengambil posisi duduk dan menyendiri menanti terbenamnya mentari, sebagian lagi berkelompok dan merayakan dengan sesi pemotretan, minuman, dan canda tawa.
”Kerja di laut ini harus lucu karena kalau tidak, akan bosan,” kata Egi. Bapak dua anak itu berkali-kali menitip pesan kepada kami agar orang-orang menjaga kelestarian terumbu karang di perairan Komodo sebagai jaminan keberlangsungan hidup industri pariwisata dan kehidupan orang-orang di kawasan tersebut.
Sementara dalam pelayaran dengan KLM Kalaki bersama Erwin (44) sebagai kapten kapal dan Basri (31) serta Anas (21) sebagai anak buah kapal yang sebagian tugasnya sebagai juru mudi dan juru masak, kami menuju mendarat di Pulau Komodo, Pulau Papagarang, dan Pulau Rinca. Ribuan kelelawar di sekitar perairan Pulau Kalong dan padatnya permukiman di Pulau Mesa yang dikelilingi mooring buoy penambat kapal.
Kami juga mampir sebentar ke perairan Pink Beach yang ramai dipenuhi wisatawan melakukan aktivitas snorkeling. Dinamai ”Pink Beach” karena warna merah muda di sebagian pasir pantainya.
Warna yang berasal dari cangkang mikroorganisme foraminifera mati yang terbawa ke pantai dan bercampur bersama pasir dan patahan karang itu memesona orang-orang, untuk berjemur atau sekadar berfoto.
Jadi, apakah bisa liat komodo? Kemungkinan besar bisa, serta ditambah banyak yang lain.