KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Salah satu tarian yang ditampilkan dalam Parade Gong Kebyar yang digelar di Panggung Terbuka Ardha Candra, Pesta Kesenian Bali 2018 Taman budaya Bali, Denpasar, Jumat (6/7/2018).

Liputan Gamelan Bali

Demokrasi dalam Gamelan * Ekspedisi Alat Musik Nusantara 2018

·sekitar 7 menit baca

Gamelan tak hanya ekspresi tentang keindahan. Bagi masyarakat Bali, gamelan adalah cerminan kehidupan komunal. Di dalam kelompok gamelan, orang Bali menjalin interaksi sosial secara setara. Ketika bermain gamelan, derajat dan kasta lebur dalam tatanan egaliter dan demokratis. Sekat-sekat sosial-ekonomi pun lebur dalam orkestrasi permainan yang dinamik dan memesona.

Denting gamelan bertalu saat puluhan penabuh memukulkan panggul pertama di Sanggar Paripurna, Desa Bona, Gianyar. Gamelan Bali, terutama jenis gong kebyar, selalu terdiri dari instrumen bernama jegog, ugal, calung, kantilan, penyacah, reyong, terompong, dan gong.

Dalam posisi duduk, yang berpusat pada seorang patus (pemain melodi) di bagian tengah, para penabuh duduk secara beraturan dan tampak santun. Mereka secara kompak mengikuti setiap aba-aba dari pemain kendang, yang diperankan oleh pendiri Sanggar Paripurna I Made Sidia.

Kadang irama tetabuhannya melangkah cepat, lalu pelan-pelan melambat sesuai komando pemain kendang. Terkadang pula hanya beberapa instrumen yang dimainkan, sementara yang lain berhenti, atau hanya menambahkan suara pada ketukan-ketukan tertentu. Begitu pula gong yang hanya dipukul sesekali pada akhir permainan sebuah frasa tetabuhan.

Minggu (8/7/2018), hari menjelang gelap. Matahari berada di titik akhir dari perjalanan hari. Sisa cahaya merah hanya tersisa di atap-atap bangunan sanggar yang berlokasi di pelosok pedusunan itu. Namun, para penabuh gamelan masih terus bermain. Mereka mengiringi para penari yang berlatih menghafal gerakan tari yang baru saja diajarkan para pelatih mereka.

Permainan gamelan tak hanya mengandalkan isyarat lewat keras lembut pukulan, tetapi interaksi juga dilakukan lewat isyarat tangan, gerakan bibir, dan bahkan mata. Itulah yang terjadi di Sanggar Paripurna, secara kompak dan patuh para penabuh mengikuti isyarat tangan dan pukulan dari Made Sidia. Interaksi dan komunikasi ini berlangsung secara intens dan subtil sehingga menciptakan sinergi irama musik yang utuh dan harmoni.

”Ketika gamelan dimainkan, satu sama lainnya saling mengisi sehingga menjadi komposisi yang harmoni,” tutur Made Sidia seusai latihan.

Dalam permainan gamelan yang lebih kompleks, komunikasi dan interaksi itu terlihat dalam penampilan kelompok-kelompok gong kebyar yang tampil di Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-40 di Taman Budaya Denpasar. Pada Jumat (6/7) malam, misalnya, tampil kelompok gong kebyar Asti Langa, Banjar Gede Subagan, Karangasem dan kelompok gong kebyar Dwija Cita Langu, Karang Taruna Persada, Sukawati, Gianyar. Kemudian ada kelompok gong kebyar dari Sanggar Seni Manik Uttara, Singaraja, Buleleng dan kelompok Gong Dharma Laksana, Banjar Peken, Desa Adat Bualu, Kuta Selatan, Badung, yang tampil pada Selasa (10/7) malam.

Dalam penampilan selama lebih dari 3 jam, setiap kelompok tak hanya menampilkan irama gamelan instrumentalia, tetapi juga mengiringi tarian serta drama tari. Antusiasme penonton terhadap penampilan mereka yang luar biasa menunjukkan popularitas gong kebyar yang kini disebut sebagai bentuk gamelan paling mutakhir di Bali. Tentu saja, di luar gamelan kontemporer yang terus dikembangkan komposer-komposer muda seperti Dewa Alit dan I Wayan Sudirana.

Dalam kategorisasi gamelan di Bali, gong kebyar merupakan kategori gamelan baru yang berkembang pada awal sampai akhir abad XX. Jumlah penabuhnya rata-rata sudah lebih dari 25 orang, bahkan ada yang mencapai 40 orang. Ensambel kekebyaran diperkirakan lahir tahun 1915 di Singaraja, lalu berkembang ke Tabanan ketika I Mario menciptakan tari Kebyar Duduk dan Kebyar Terompong tahun 1925.

Dengan jumlah pemain yang demikian banyak, kita bisa membayangkan bagaimana rumitnya pola komunikasi dan pembagian peran antarpemain gamelan. Harmonisasi dan kerumitan irama yang dihasilkan, menjadi penanda selain penguasaan teknik yang semakin tinggi, juga mengacu pada tingkatan interaksi para pemain yang jumlahnya sangat banyak. Semakin harmonis komposisi musiknya, berarti semakin baik pula komunikasi dan interaksi para pemain. Tahapan itulah yang menjadi salah satu catatan penting bagi para pengamat gamelan yang memberi penilaian dalam gong kebyar mebarung (bertarung) selama PKB.

Berinteraksi

Pola interaksi yang dilakukan para pemain gamelan, sejatinya merupakan refleksi dari interaksi sosial masyarakat Bali. Sebagaimana diungkapkan budayawan dan etnomusikolog Prof Dr I Wayan Dibia, selain menjadi media untuk bermain musik, saat bermain gamelan, masyarakat Bali sebenarnya berinteraksi dalam pengertian sesungguhnya. Di dalamnya tecermin ekspresi kehidupan sosial masyarakat Bali sebagaimana terjadi sehari-hari.

”Gong itu melambangkan kehadiran orangtua, bicaranya jarang, tetapi menentukan. Gong bukan cuma satu, tetapi dua, gong lanang gong wadon, berarti kan orangtua itu selalu berpasangan, orangtua laki-laki dan perempuan,” ungkap Dibia.

Itulah mengapa peran gong, begitu pula kedua orangtua, sangat menentukan dalam membimbing pola-pola irama. Pada tiap akhir suatu permainan nada, gong selalu terdengar sebagai penanda ”pengesahan” untuk memasuki tahapan frasa irama berikutnya.

Dalam struktur colotomik, selain gong, ada juga kenong, kempul dan kajar. Kajar adalah instrumen yang menentukan hitungan dalam satu frase musik yang dimainkan, kempul dan kenong menandakan tengah frasa, sementara di akhir frasa ditandai dengan jatuhnya gong.

”Ini berbeda dengan musik Barat. Kalau musik Barat, aksen terkuat dalam hitungan satu. Kita justru hitungan terakhir karena ada akumulasi dari berbagai jenis suara, dan hitungan terakhir itu selalu ditandai dengan suara gong,” kata Dibia.

Ada juga struktur melodik yang dimainkan oleh tiga instrumen yaitu juklak, jegog, dan penyacah, dengan pemangku irama atau pengatur dinamikanya adalah kendang. Juklak, jegog dan penyacah tersebut, diibaratkan seperti perangkat desa yang mengatur kehidupan masyarakat desa, yang menegakkan awig-awig atau aturan-aturan adat yang ada.

”Nah, gong itu jatuhnya berdasarkan pukulan juklak. Jadi orangtua itu memberikan legitimasi terhadap awig-awig yang diterapkan,” kata Dibia.

Sementara kendang sebagai pemangku irama atau pengatur dinamika, bertugas memberi kode kapan harus berlari, kapan harus memperlambat tempo, kapan harus berhenti dan seterusnya. Ibarat pemimpin desa, semua orang mendengarkan pemain kendang.

”Meskipun begitu, pemain kendang tidak bisa lepas dari suara gong, juklak, jegog dan penyacah karena merekalah yang menjadi pemegang aturan,” tambah Dibia, yang juga bertahun-tahun menjadi salah satu kurator PKB.

Selebihnya, seperti reyong dan gangsa, sifatnya hanya meramaikan, lebih berupa ekspresi anak muda. Namun, mereka hanya bisa bergerak apabila sudah ditentukan melodinya, temponya, dan gongnya jatuh pada bagian tertentu. Mereka tidak bisa bermain sendiri-sendiri dan harus tetap mengikuti aturan-aturan yang terdapat dalam suatu permainan gamelan.

Strata sosial

Orkestrasi gamelan Bali, tidak lagi ”mengakui” strata sosial apalagi kelas. Seluruh sekat-sekat kasta, yang masih ”hidup” pada sebagian masyarakat, dihancurkan dalam satu sistem kehidupan yang mengedepankan nilai-nilai demokrasi. Jika seseorang berasal dari golongan rakyat jelata, tetapi karena perannya memainkan kendang, maka dia memiliki peran seorang Ksatria di dalam permainan gamelan.

”Jadi, dalam bermain gamelan, demokrasi menjadi sangat penting. Bukan saja status sosialnya dilebur, melainkan satu sama lain harus mendengar, harus merespons pada apa yang dilakukan orang lain. Tak bisa jalan sendiri-sendiri,” kata Dibia. Inti demokrasi, yakni bersedia mendengarkan pihak lain, sekali pun minoritas, dipraktikkan secara baik dalam permainan gamelan.

Dengan begitu, sesungguhnya menurut Dibia, bila kita ingin belajar demokrasi, ada baiknya belajar dari gamelan. Karena bermain gamelan tanpa mendengar apa yang dilakukan orang lain, tidak akan bisa masuk ke dalam sistem permainan tersebut.

”Bermain gamelan tanpa merespons apa yang dilakukan orang lain tidak akan bisa. Seperti konsep kotekan atau interlocking yang ada di gamelan Bali, setiap orang harus menunjukkan posisinya apakah dia bermain down beat, atau up beat. Dalam gamelan, memang ada sistem yang begitu unik, kompleks, harus diindahkan semua pemain,” kata Dibia.

Prof Dr I Made Bandem, dalam bukunya Gamelan Bali di Atas Panggung Sejarah, juga menuliskan, gamelan Bali memiliki nilai kebersamaan atau rasa komunalitas yang tinggi. Terdapat hubungan permainan satu instrumen dengan instrumen lainnya dalam satu ansambel.

Hubungan itu, menurut Bandem, terletak pada berbagai isyarat yang harus diteruskan oleh seorang pemain kepada pemain lainnya. Dalam membuat kadensi-kadensi dalam permainan, dibutuhkan koordinasi intim dan memahami isyarat-isyarat itu.

Misalnya, seorang juru kendang harus cekatan menerima isyarat dari seorang penari dan kemudian dengan cepat dia teruskan isyarat itu kepada pemain gamelan lain. Tanpa adanya koordinasi dan toleransi yang baik akan sukar memperoleh kesempurnaan dalam permainan.

Dalam kesempatan terpisah, Rektor Institut Seni Indonesia Denpasar, I Gede Arya Sugiartha juga mengungkapkan hal serupa. Menurut dia, organisasi gamelan Bali ibarat organisasi sosial yang ada di banjar.

”Pembagian tugasnya rata sehingga semua elemen atau unsurnya berfungsi untuk mendukung kesatuan organisasi tersebut. Satu saja tidak ada, akan merusak musiknya. Secara kesatuan, dia menjadi kurang utuh,” ujarnya.

Dari situ, manusia sejatinya bisa mengambil pelajaran. ”Kita harus berkaca tidak hanya pada manusia, tetapi pada produk manusia juga. Dalam organisasi gamelan, meskipun kita pintar, tetapi kalau menonjol sendiri tidak akan menghasilkan suara sesuai yang diinginkan,” kata Arya Sugiartha.

Selain filosofi tersebut, gamelan menurut Arya, juga mengandung unsur-unsur penting lainnya yang dapat menjadi cermin dan landasan dalam melakoni kehidupan, antara lain lewat teknik permainan gamelan Bali atau yang dikenal dengan istilah gegebuk.

”Mulai dari sikap duduk ada tata caranya. Kita juga sangat dilarang untuk menginjak atau menduduki gamelan karena gamelan sangat dihormati,” kata Arya.

Hal ini juga tidak lepas dari kaitan nada yang disebutkan oleh Dibia, tidak sekadar jejeran bunyi. Nada-nada pada gamelan berkaitan dengan simbol-simbol Tuhan. Dengan demikian, saat memainkan gamelan artinya memainkan nada-nada untuk menarik kekuatan Ilahi agar masuk ke dalam upacara yang digelar.

Harapannya, kekuatan itu akan memberikan rahmat dan berkah kepada masyarakat sehingga menghadirkan ketenteraman, kedamaian, dan pada akhirnya kebahagiaan sejati.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Tarian Kebyar Duduk yang ditampilkan dalam Parade Gong Kebyar yang digelar di Panggung Terbuka Ardha Candra, Pesta Kesenian Bali 2018 Taman budaya Bali, Denpasar, Jumat (6/7/2018).

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Ribuan warga dan wisatawan menunggu Penampilan salah satu grup Gong Kebyar dalam Pesta Kesenian Bali 2018 di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman budaya Bali, Denpasar, Selasa (10/7/2018).

Artikel Lainnya