KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Pembuatan gamelan di sentra kerajinan gamelan Desa Wirun, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin (5/2).

Liputan Gamelan

Gamelan: Menempa Kebaikan Hidup * Ekspedisi Alat Musik Nusantara 2018

·sekitar 6 menit baca

Para pembuat gamelan hidup dalam tatanan nilai gotong royong dan toleransi. Kebersamaan memunculkan perasaan senasib dan ikatan batin. Terbiasa menempa tembaga hina menjadi gamelan istimewa, mereka paham pentingnya keluhuran budi.

Lagu ”Bojo Galak” yang dinyanyikan Nella Kharisma terdengar dari radio kompo bersuara sember di pojok ruangan seluas 48 meter persegi, tempat pembuatan gamelan milik Saroyo (63) di Desa Wirun, Kecamatan Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah. Radio yang nyaris seluruhnya tertutup abu dan jelaga itu kadang suaranya hilang tertelan denting palu beradu dengan logam saat pekerja bergantian menempanya.

Ruangan itu sumpek. Suhu udara bisa sampai 45 derajat celsius. Empat kipas angin tanpa kerangkeng tak mampu menangkal panas udara. Asap dan jelaga beterbangan dari bara berbahan arang untuk melunakkan tembaga. Sri Setyono (38) membolak-balik perunggu berbahan campuran timah dan tembaga yang sebagian merupakan limbah bahan elektronik. Perunggu itu akan dijadikan kenong. Dia dibantu Mardianto yang mengatur pompa angin untuk menjaga agar bara tetap memerah. Sesekali mata Setyono memicing menahan panas dan jelaga.

Sekitar 1 meter di sisi kanannya, enam pekerja lain menunggu. Begitu tembaga memerah, mereka mengangkat dan memukulinya bergantian menimbulkan bebunyian ritmis. Mereka harus cekatan karena logam tadi hanya lentur selama setengah menit. Lalu logam itu harus dibakar dan dipukuli lagi. Begitu seterusnya hingga bentuknya sesuai keinginan.

Mereka cekatan dan ekstra hati-hati. Teledor sedikit saja bisa jadi tangan atau kaki melepuh terkena bara logam yang membara. Meski bekerja di tengah udara panas dan sumpek, mereka tetap bersenda gurau dan saling ejek.

”Wah, kowe wedi bojomu, to. Ra wani metu. Ga bisa diajak jalan-jalan keluar rumah dia, Mas,” kata Setyono kepada rekannya, Suwardi (47). Yang diledek hanya bisa mesem.

Guyonan ringan menjadi hiburan sekaligus bumbu perekat kebersamaan. ”Wes koyo dulur kabeh, Mas. Biasa guyon,ga ada yang tersinggung,” kata Suwardi.

Dia mengibaratkan pergaulan itu seperti membuat gong. Ada yang bagian membakar, menempa, memutar, dan memegangi. Ada yang bagian menahan panas, beban, dan gerak. Soal ledekan tadi, tidak mengapa berkorban sedikit perasaan asal demi kebahagiaan yang lain.

Guyonan itu memudahkan mereka untuk saling memahami karena bekerja sama membuat gamelan bukan sekadar bergerak bersama, melainkan butuh konsentrasi penuh, misalnya untuk menentukan waktu yang pas mengangkat tembaga dari bara dan menempanya.

Mereka percaya, hati yang tidak tenang dapat merusak pekerjaan, guyonan bisa memperbaiki suasana hati. Biasanya yang menjadi korban guyonan hanya mesem. ”Ini calon gong yang gagal, tidak pas membakar dan menempanya,” kata Setyono sembari menunjukkan dua lempeng tembaga seukuran ban mobil yang penuh retakan dan lubang.

Adakalanya pembuat gamelan meminum ciu biar hati tenang. Konon, minuman beralkohol hasil fermentasi itu membantu menenangkan pikiran. ”Minumnya paling setengah gelas kecil. Kalau berlebihan malah ngelu, pusing,” katanya. Sekarang mereka jarang minum ciu, paling sebulan sekali.

Toleransi

Suasana guyub terlihat pada setiap tempat pembuatan gamelan sebagaimana di tempat Budiyono (37), UD Laras Jowo Aji, sekitar 300 meter dari tempat Saroyo. Saat itu, Ruswanto (35) sibuk bersama rekannya, Sardi (44), mengecor tembaga di tempat pembuatan gamelan. Tiba-tiba datang seorang bocah sambil menangis, Alifah (5), diantar perempuan paruh baya. ”Untune lara,” kata perempuan itu menjelaskan bahwa Alifah sakit gigi.

Budiyono mempersilakan Ruswanto pulang mengurus anaknya. Selang sekitar 20 menit, Ruswanto balik ke tempat Budiyono. ”Sudah baikan. Sekarang tidur setelah minum parasetamol,” katanya sambil melanjutkan membantu Sardi.

Ilustrasi tadi menggambarkan hubungan antara majikan dan buruh dalam pembuatan gamelan dibangun secara luwes. Budiyono tidak mempermasalahkan Ruswanto meninggalkan pekerjaannya untuk sementara mengurus anaknya. ”Kalau dipaksa tetap bekerja, hatinya tidak tenang, sementara anaknya tidak terurus. Sama-sama kasihan,” begitu Budiyono beralasan.

Dia mengungkapkan, berbisnis gamelan, yang harganya Rp 400 juta-Rp 1 miliar per set itu, tidak bisa semata-mata menggunakan perhitungan matematis. Terdapat sisi-sisi transendental yang harus diterjemahkan dalam perilaku keseharian. Susunan beragam alat musik gamelan, seperti saron, peking, demung, bonang, gambang, rebab, sitar, dan gong, pada akhirnya disebut karawitan.

Dalam bahasa Budiyono, karawitan itu merujuk pada keruwetan, keruwetan hidup. Alat musik tadi akhirnya dilaras, lalu ditata dan dibunyikan sedemikian rupa sehingga menghasilkan harmoni. ”Harmoni suara gamelan bisa dinikmati karena rasa, kehalusan perasaan. Ini yang menuntun saya untuk bersikap sensitif terhadap sesama orang.”

Sebelumnya, Budiyono adalah pekerja gamelan selama sepuluh tahun dan akhirnya membuka pabrik gamelan sejak sembilan tahun lalu. Dia paham betul beban menjadi pekerja. Makanya, dia toleran dan perhatian kepada pekerjanya. Baginya itu bagian dari penyelarasan hidup.

Sikap yang sama ditunjukkan Saroyo, pemilik pabrik gamelan, Palu Gongso. Hari Senin (5/2), dua pekerjanya absen lantaran ada acara keluarga. ”Boleh saja libur, yang penting ada penjelasan,” ujarnya.

Padahal, jika jumlah pekerjanya berkurang, produksi bisa tersendat. Seperti hari itu, mereka mestinya mengerjakan pembuatan gong berdiameter 80 meter yang membutuhkan 10 pekerja. Namun, karena delapan pekerja yang masuk, mereka hanya menyelesaikan dua demung dan pengecoran perunggu.

Para pekerja juga tidak mempermasalahkan hal itu meskipun menggunakan bayaran sistem borongan. Artinya, uang hasil bekerja akan dibagi rata, termasuk yang absen sehari tadi.

Mereka selalu libur kerja ketika ada tetangga meninggal. Juga membuka sumbangan untuk diberikan kepada pekerja lain yang sakit. Para pekerja ini tak memiliki kartu BPJS atau jaminan kesehatan lain sehingga saat sakit semua biaya ditanggung sendiri. Hanya saja jika terjadi kecelakaan kerja, semua biayanya ditanggung pemilik pabrik. Bagi pekerja, sikap saling menolong lahir lantaran terbiasa saling bantu secara sukarela.

Pada dasarnya, para pembuat gamelan di Desa Wirun ini masih terhubung pertalian darah. Banyak di antara mereka yang ternyata keponakan dan paman, sepupuan, atau bahkan besan. Pergaulan di tempat kerja membuat tali persaudaraan semakin erat sehingga tak jarang membuat mereka malas pindah kerja meskipun mendapat bayaran lebih.

Mulyadi, misalnya, sudah sekitar 10 tahun bekerja di Palu Gongso. Sekitar tiga tahun lalu, keponakannya membuka pembuatan gamelan di bawah bendera UD Laras Jowo Aji. ”Sudah telanjur banyak saudara di sini. Tidak enak kalau harus pindah. Rasanya seperti mengkhianati teman sendiri,” kata Mulyadi sembari mengelap-ngelap tangannya yang nyaris seluruh permukaannya kapalan.

Pekerjaan sampingan

Tak diketahui sejak kapan Wirun dikenal sebagai sentra gamelan. Di kalangan warga beredar cerita, dulu ada empu dari Majapahit lari ke Wirun menjelang kerajaan itu runtuh. Konon, orang sakti inilah yang menurunkan keterampilan membuat gamelan. Namun, berdasarkan penelitian Warto, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta, pembuatan gamelan dipelopori oleh Reso Wiguno pada 1950-an.

Meskipun bekerja sebagai pembuat gamelan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, banyak dari mereka mempunyai kerja sampingan sebagai petani. Biasanya, istri mereka mengurus sawah sehari penuh, sementara pembuat gamelan hanya sesekali ke sawah pada sore hari sepulang kerja.

Lahan Mulyadi sekitar tiga per empat hektar menghasilkan sampai 5 ton beras setiap kali panen. Namun, tak jarang hanya setengahnya karena cuaca tidak menentu atau serangan hama. Ketika hasilnya bagus, mereka bisa menabung lebih. Jika tidak bagus, masih ada uang dari kerja membuat gamelan. Jadi tak perlu khawatir.

Mulyadi malah berencana membuka kolam lele, mencoba peruntungan lain. Beberapa hari ini, setiap sore dia ke sawah. ”Biasanya Pa’e ke sawah sore begini. Tetapi hari ini tidak pergi, mungkin kelelahan,” kata Andika (21), anak Mulyadi, di rumahnya.

Andika hanya bersekolah hingga SMP dan kini bekerja di sebuah pabrik. Para pembuat gamelan juga demikian, sekolah hanya sampai SD atau SMP. Semula mereka bekerja di pabrik. Baru ketika berumah tangga, mereka beralih jadi pembuat gamelan.

Andika tidak menampik jika kelak dia mengikuti jejak ayahnya. Andika kelak akan belajar menempa tembaga untuk menempa kebaikan hidup.

Artikel Lainnya