KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Lanskap Kota Ambon, Maluku, yang berada di tepi Teluk Ambon, Sabtu (29/9/2018).

Liputan Tifa

Urban: Sang Pemersatu * Ekspedisi Alat Musik Nusantara 2018

·sekitar 6 menit baca

Tifa menjadi unsur penting dalam strategi kebudayaan untuk membangun persatuan pascakonflik di Ambon, Maluku. Tabuhan tifa membawa pikiran orang Maluku pada ingatan kolektif tentang persaudaraan. Selama tifa masih ditabuh, selama itu pula orang Maluku bersaudara secara utuh.

Sebelas pemuda dari Sanggar Seni Wairanang memainkan Salam Sarane di halaman Gereja Protestan Maluku, Soya, Ambon. Tujuh dia antaranya menabuh tifa berbagai ukuran, tiga pemuda menabuh rebana, dan seorang lagi memukul totobuang. Totobuang ini tak lain adalah bonang dalam orkestrasi gamelan. Dalam permainan ini, totobuang berfungsi sebagai melodi diiringi tifa dan rebana.

Penampilan Salam Sarane itu dimaksudkan sebagai penyambutan kepada para tamu gereja yang hendak menggelar peribadatan ulang tahun. Berulang kali terdengar melodi lagu-lagu penyambutan. Dalam beberapa kesempatan lain, Salam Sarane juga melantunkan melodi Salawat Nabi.

Mereka bermain dengan penuh semangat. Sesekali rehat dan diselingi obrolan canda ringan. ”Dia ini yang jago mainnya. Ayo sini gantian main,” kata Jemmi Radjabaycolle (28), komposer sekaligus pemain totobuang, memanggil temannya, Panzier Zawawi (16), yang sejak belia sudah terpapar permainan tifa karena lahir dan tumbuh di tengah keluarga pencinta musik tradisi.

Para pemain Salam Sarane ini campuran antara penganut agama Kristen dan Islam. Mereka tidak pernah bermasalah main di acara orang Kristen ataupun Islam selama tidak menyangkut ritual peribadatan. Musik Salam Sarane itu sendiri merupakan musik rekonsiliasi antarkelompok.

Sebagaimana cerita Abidin Wakano, pemuka agama Islam Ambon, setelah konflik Ambon, segregasi masyarakat demikian kentara. ”Setelah konflik, muncul segregasi wilayah dan mental. In-group dan out-group,” kata Abidin.

Konflik Ambon, Maluku, pecah pada Januari 1999 dan mereda ketika terjadi perjanjian Malino 2002. Akibat konflik itu, sedikitnya 10.000 nyawa melayang sia-sia. Pascakonflik, warga masih dilanda trauma dan antarkelompok belum sepenuhnya saling percaya.

Ketika konflik berkecamuk, oknum kelompok Islam mengidentikkan diri dengan Arab atau Palestina, sementara oknum kelompok Kristen identik dengan Israel. Kota Ambon tak ubahnya lokasi konflik Timur Tengah. Bahkan, musik yang disebut-sebut sebagai bahasa persatuan pun mengalami segregasi. Misalnya, orang Ambon dapat dengan mudah mengenali jenis musik dangdut Islam atau Kristen dari corak musiknya.

Pada 2005, digelar dialog antariman se-Asia Pasifik di Ambon. Abidin lalu berkomunikasi intensif dengan Pendeta Jacky Manuputty dan sepakat untuk berbuat sesuatu agar Ambon kembali damai. Salah satu gagasan yang tercetus saat itu adalah menjadikan tifa sebagai alat pemersatu dengan menggabungkan dua warna musik berbeda, yakni Hadrat atau Sawat dengan Totobuang.

Hadrat atau Sawat ini jenis musik yang identik dengan kelompok Islam. Permainan hadrat menggunakan rebana dan tifa, sementara Sawat biasanya ditambah seruling bambu. Adapun Totobuang identik dengan kelompok Kristen yang memainkannya menggunakan totobuang (bonang) dan tifa.

Abidin dan Jacky menggerakkan anak-anak muda pencinta musik untuk memainkan musik kolaborasi ini dengan sebutan musik Salam Sarane. Nama itu mewakili kelompok Islam dan Kristen (Nasrani). Ternyata banyak anak muda menyukainya. Lambat-laun, sanggar-sanggar pun memainkan lagu itu dengan mengajak kolaborasi.

Ini seperti gayung bersambut karena sebenarnya banyak anak muda dan pengelola sanggar yang sudah lama ingin dapat bermain bersama antaragama, tetapi telanjur terpengaruh oleh segregasi tadi. Dengan munculnya gagasan Salam Sarane, mereka menemukan legitimasi.

”Kami ini sebenarnya sudah biasa bermain dengan kelompok beda agama karena memang kami hidup dengan itu. Syukur sekarang tidak ada halangan lagi,” kata Carolis Rehatta (53), pemilik Sanggar Seni Wairanang.

Di Maluku, tifa terkait erat dengan cerita asal-usul nenek moyang orang Maluku yang kemudian menghasilkan falsafah Siwa Lima, mono-dualistik. Artinya, manusia yang hidup dengan kepribadian masing-masing ini sebenarnya adalah satu kesatuan dari manusia lain.

Antropolog berdarah Maluku, Hatib Abdul Kadir, menjelaskan, ”lima” merujuk pada bagian tubuh manusia, yakni dua kaki, dua tangan, dan satu kepala. Meskipun berjumlah lima, tetapi menjadi satu keutuhan. Adapun ”siwa” (sembilan) bermakna dua orang yang masing-masing memiliki dua tangan, dua kaki, tetapi satu kepala. Ini bermakna, meskipun dua orang itu berbeda laku dan penampilan, tetap ”satu kepala”, mempunyai tujuan yang sama, yakni tujuan kebaikan. Filosofi inilah yang dipegang masyarakat Maluku dalam mengutamakan persatuan.

Pela gandong

Selain Siwa Lima, ikatan persaudaraan dalam kultur masyarakat Maluku berdasar pada falsafah Pela Gandong. Pela serupa jalinan persaudaraan yang tumbuh karena praktik kemanusiaan. Ketika satu desa—di sini disebut negeri—dilanda bencana dan ditolong oleh negeri lain, mereka lalu mengangkat sebagai saudara lewat sebuah ritual. Setelah itu, mereka berjanji akan terus saling tolong.

Adapun istilah gandong merujuk pada persaudaraan berdasarkan aliran darah atau biologis. Di Maluku, banyak sekali saudara sekandung yang berbeda agama. Meskipun demikian, mereka tetap akur dan hidup damai karena persaudaraan lebih utama dari segalanya.

”Pela gandong ini menjadi pegangan kami dalam bermasyarakat,” kata Willem Joseph, guru yang juga panitia pembangunan Gereja Imanuel Galala Hative Kecil (Gatik) Ambon, Maluku.

Gereja ini masih dalam proses pembangunan setelah bangunan lama dibongkar. Siang itu, Thomas Tongkog (45) membantu Agus Salim Tassar menyelesaikan pengerjaan salah satu sisi tembok. Thomas yang menganut Protestan dan Agus yang Muslim tidak terganggu oleh latar belakang agama masing-masing. Begitu juga dengan pekerja lainnya. ”Selama tenaga saya dibutuhkan, saya siap bekerja,” kata Agus.

Gereja ini dibangun kembali dengan bantuan tenaga dan material dari berbagai kalangan, terutama warga Negeri Hitulama, Hitumessing. Tentu saja warga Negeri Galala dan Hative Kecil turut serta di sana.

Negeri Hitulama merupakan pela Negeri Galala, sementara Hitumessing juga pela dari Negeri Hative Kecil. Hitulama dan Hitumessing adalah dua negeri yang warganya beragama Islam, sementara Hative Kecil dan Galala berpenduduk Kristen. Ikatan pela itu menjadikan mereka akur dalam kerja-kerja sosial, seperti pembangunan gereja tadi.

Jika ditarik dalam konteks falsafah tifa, ini sebangun dengan ungkapan Alex Talahatu (49), guru sekolah dasar di Ambon. Menurut dia, suara tifa terdengar sempurna ketika utuh bulatannya.

Tak retak

Tatkala terdapat retak atau pecah pada selongsong tifa, bunyinya sember atau bahkan rusak sama sekali. Begitulah persaudaraan, ketika terjadi keretakan, sungguh mengganggu interaksi sosial. Di situlah pela gandong menjadi penting untuk menjaga harmoni, menjaga hubungan sosial semerdu suara tifa.

Tifa juga mengumpulkan mereka yang tercerai. Metafora ini tergambar jelas dalam ritual Sasi Lompa di Negeri Haruku, Pulau Haruku, Maluku Tengah. Malam itu, Jumat (28/9/2018), seluruh warga negeri berkumpul di sebuah gang seiring tabuhan tifa ditingkahi tahuri (alat musik tiup dari keong raksasa).

Pemimpin Negeri Haruku, Raja, didampingi kewang (pemegang otoritas atas hukum adat) keliling negeri mengumumkan larangan-larangan pada waktu tertentu, seperti penangkapan ikan lompa (Thrissina baelama) di luar sasi.

Keesokan harinya, warga memenuhi sungai menangkap ikan lompa yang sudah hampir setahun tidak disentuh nelayan ataupun pemancing karena pamali. Mereka bersukacita diiringi tetabuhan tifa.

Kewang Negeri Haruku, Eliza Marthen Kissya (70), menjelaskan, tifa berfungsi mengumpulkan warga, menyatukan yang berserak. Tifa juga memberi sugesti bersukaria, merayakan anugerah Tuhan, kali ini berupa ikan lompa yang melimpah.

Semangat tifa menyatukan warga. Dulu, ketika konflik meruncing, para pemuka agama siap menjadi komandan perang tatkala mendengar kabar kerusuhan. Sekarang, mereka saling bertukar kabar dan konfirmasi ketika hal yang sama terjadi. ”Ini karena kami makin paham tidak ada gunanya perang sesama saudara,” kata Abidin mengaitkan kesadaran tersebut dengan falsafah tifa.

Jadi, selama tifa masih ditabuh, masyarakat Maluku akan tetap bersaudara secara utuh.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Jonas Silooy (kanan) tengah mengajari anak didiknya memainkan alat musik tifa di Sanggar Booyratan miliknya di Ambon, Maluku, Sabtu (29/9/2018).

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Anggota Sanggar Seni Wairanang memainkan Salam Sarane di halaman Gereja Protestan Maluku, Soya, Ambon, saat menyambut tamu gereja yang hendak menggelar peribadatan ulang tahun, Kamis (27/9/2018).

Artikel Lainnya