Pasir dan batu telah mengusir kehidupan dari Dusun Gempol, Desa Jumoyo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Rumah-rumah terisi pasir hingga atap. Pohon-pohon kelapa yang tersisa seperti memendek, hampir separuh batangnya tenggelam dalam pasir. Udara terasa gerah.
Sepenggal jalanan telah ditemukan kembali dengan menggali pasir sedalam 3 meter. Jalan itu membentuk lorong, diapit pasir, batu, dan dinding rumah yang sebagian jebol. Di ujung jalan, suara linggis dan cangkul yang beradu dengan batu terdengar bagai jerit, berulang-ulang. Orang-orang terus menggali pasir untuk mencari bekas rumah mereka.
Salah satunya adalah Muropi (43). Lelaki berperawakan kecil itu sepanjang hidupnya menambang pasir dari Sungai Putih yang berada di utara dusun. Namun, kali ini dia harus menggali pasir dari dalam rumahnya. Kali Putih, yang berada di utara Jalan Raya Semarang-Yogyakarta, telah mengirim banjir lahar dari Merapi hingga menenggelamkan dusun.
Saat banjir besar melanda malam itu, Senin, 3 Januari 2011, Muropi baru saja pulang ke rumah setelah seharian menambang pasir di Kali Putih. Dia menyeduh kopi dan memasak mi instan. Sendirian. ”Anak-anak dan istri tinggal di pengungsian,” kisahnya.
Suara gemuruh mendatangi dirinya dengan cepat. Dia berlari ke arah selatan, menembus genangan air sebatas lutut. Di belakangnya, aliran batu dan pasir mengejar. Beberapa kali terjatuh, Muropi kembali bangkit berlari. ”Banjir malam itu besar sekali. Paling besar yang pernah saya alami,” katanya.
Sejak letusan Merapi pada 26 Oktober 2010, dusun yang berada di pinggir Jalan Raya Semarang-Yogyakarta itu berkali-kali dilanda banjir lahar. Hingga 26 Januari 2011, luberan lahar dari Kali Putih sudah menghanyutkan 104 rumah dan merusak 247 rumah. Banjir lahar itu memaksa 4.993 warga menempati 14 lokasi pengungsian.
Gunung api punya banyak cara mengirim petaka.
Gunung api punya banyak cara mengirim petaka, mulai aliran dan jatuhan awan panas, embusan gas beracun, hingga longsoran akibat jebolnya lereng gunung karena desakan magma. Namun, bagi Merapi, banjir lahar merupakan daya rusak utama dengan jangkauan terluas.
Aliran lahar ini berasal dari material letusan berupa abu, pasir, kerikil, kerakal, hingga bongkah-bongkah batu sebesar sapi yang mengendap di lembah-lembah sungai kemudian terangkut oleh air. Lavigne dan kawan-kawan dalam Lahars at Merapi Volcano, 2000, menjelaskan, untuk menjadi aliran lahar, dibutuhkan hujan lebat, sekitar 40 mm dalam dua jam.
Hujan selebat itu biasa mengguyur wilayah Merapi saat musim hujan pada November hingga April. Lahar meluncur melalui lembah-lembah sungai yang berhulu di Merapi dengan kecepatan 5-7 meter per detik, sama dengan laju sepeda motor berkecepatan 18-25 kilometer (km) per jam.
Banjir lahar terus mengancam hingga bertahun-tahun setelah letusan terjadi. Material pasir dan bebatuan yang menerjang Gempol pada 3 Januari 2011 merupakan produk letusan Merapi pada 1994. Material hasil letusan 2010 masih tertahan di atas dan belum mencapai dusun yang berada sekitar 17 km dari puncak Merapi itu.
Banjir lahar Merapi ini juga melibas Dusun Sidoarjo, Kelurahan Taman Agung, yang berjarak 5 km dari Gempol ke arah Magelang. Aliran pasir dan batu awalnya menabrak tebing Sungai Pabelan di seberang kampung. Aliran lahar kemudian berbelok ke arah bengkel kerja para perajin arca dan menjebol dinding. Rumah-rumah pun hanya menyisakan kerangka beton.
Di dusun yang berada di bantaran Sungai Pabelan itu, arca-arca bergelimpangan, berselimut pasir tebal dan batu-batu sebesar lembu. Sebagian arca masih belum selesai dipahat saat banjir lahar mengempas Sidoarjo.
Warga Sidoarjo sejak dulu menjadi pembuat arca. Mereka mewarisi kemampuan sebagai pemahat batu dan dimanjakan alam dengan kemudahan mengakses bahan baku. Namun, batu-batu yang dikirim pada malam itu tak tertampung lagi. Banjir lahar Gunung Merapi menjadikan Sidoarjo artefak sejarah.
Banjir lahar Gunung Merapi menjadikan Sidoarjo artefak sejarah.
”Tiba-tiba saja semuanya musnah,” kisah Jumali (52), yang tak pernah menduga banjir lahar mencapai dusunnya. ”Sejak zaman kakek-nenek dulu tidak pernah kejadian seperti ini.”
Namun, ingatan manusia memang terlalu pendek dibandingkan dengan perilaku alam. Jejak material Merapi pada masa lalu pernah menjangkau setiap jengkal ruang di Sidoarjo. ”Dusun ini dibangun di atas banjir lahar Merapi,” kata Sri Sumartini, Kepala Seksi Gunung Merapi, BPPTK Yogyakarta. Berada persis di tepi Kali Pabelan, Sidoarjo dibangun di tapak bencana.
Sri juga mengisahkan, Kali Putih yang kini membawa petaka banjir lahar ke Gempol dahulu mengalir membelah dusun. Namun, pada 1940-an, Belanda membelokkan aliran sungai dan menyatukannya ke Kali Druju yang mengalir di sisi sebelah barat Gempol. Banjir yang melanda Gempol hanyalah upaya dari Kali Putih untuk menagih kembali jalannya yang telah ditimbun menjadi hunian dan pasar.