SELASA 16 Oktober 2007 itu, keputusan akhirnya dibuat. Gunung Kelud dinyatakan Awas sejak pukul 17.25 seiring pesan singkat yang dikirim Surono kepada Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan kepada anak buahnya di lapangan. Sore itu juga dia berangkat ke Surabaya, untuk kemudian bermobil ke Kelud.
Peningkatan status itu berdampak luas karena artinya harus mengungsikan 38.170 penduduk yang tinggal di area 10 kilometer dari kawah. ”Keputusan menaikkan status gunung api menjadi Awas tak pernah gampang,” kata Surono dengan mimik serius. Suaranya pelan dan bicaranya perlahan. ”Konsekuensinya besar karena harus mengungsikan ribuan orang.”
Naiknya status Kelud menjadi Awas pada 2007 juga menunda pemilihan kepala desa yang sedianya dilakukan di 25 desa. Belum lagi banyaknya acara pernikahan pada bulan itu. ”Bisa dibayangkan tekanannya. Bagaimana kalau saya keliru?” kata Surono.
Namun, Surono yakin dengan keputusannya saat itu. Energi kegempaan Kelud pada tahun 2007 sudah lebih besar dibandingkan dengan sebelum gunung ini meletus tahun 1990. Suhu air danau kawah memang hanya naik sekitar 0,2 derajat celsius. ”Namun, jika dikalikan 3,5 juta meter kubik volume air danau, tentu energi yang memanaskan air ini sangat besar,” kata Surono. ”Saya tidak ingin kejadian tahun 1990 berulang, Kelud dinyatakan Awas hanya dua jam sebelum meletus.”
Khoirul Huda (46) masih ingat kekacauan situasi saat itu. Sabtu, 10 Februari 1990, pagi, Khoirul yang sehari-hari bertugas di pos pemantauan Gunung Kelud bermaksud naik ke kawah untuk mengukur suhu air. Saat itu dia sudah memakai sepatu, tinggal menunggu sarapan, ketika tiba-tiba geletar gempa tremor berkali-kali mengguncang.
Indonesia memiliki sekitar 30 persen jumlah gunung api di dunia dengan alat-alat pemantauan yang sangat tertinggal
Sekitar pukul 11.41, Gunung Kelud meletus. Mula-mula berupa letusan kecil, diikuti letusan besar berkali-kali hingga pukul 12.45. Suaranya menggelegar. Langit di atas kawah tiba-tiba gelap. Petir menyambar seiring hujan air panas, bercampur bebatuan dan kerikil panas.
”Batu pijarnya sampai di pekarangan pos. Kami lari kocar-kacir. Tak cukup waktu untuk mengungsikan warga,” kata Khoirul. ”Jam segitu, orang lagi kerja di kebun kopi. Angka resminya 50 orang meninggal, tetapi sepertinya lebih banyak.”
Pada hari meletusnya Gunung Kelud pada Februari 1990 itu, media massa justru memberitakan kondisi gunung api di Kediri itu stabil, bahkan aktivitasnya cenderung turun. Misalnya, Kompas pada edisi 10 Februari 1990 di halaman IX memuat berita berjudul ”Gunung Kelud Tenang, Merapi Terus Dipantau”.
Berita itu memuat wawancara dengan Direktur Vulkanologi Subroto Modjo dua hari sebelumnya, yang menyebutkan, aktivitas Kelud menurun, antara lain tecermin dari menurunnya jumlah gempa yang terekam. Selain itu, warna air danau juga disebutkan sudah lebih hijau dari sebelumnya yang sudah berwarna putih. Walau terjadi peningkatan suhu, disebutkan Subroto, ”Dengan berbagai data ini kami menyimpulkan kegiatan Gunung Kelud masih tetap ada, tetapi sudah berangsur tenang.”
Kemampuan untuk memitigasi gunung api sebelum meletus memang relatif baru di negeri ini. Sebelumnya, letusan gunung api terjadi tanpa peringatan terlebih dahulu kepada masyarakat.
Tarminah (71) telah empat kali mengalami letusan Kelud, pada 1951, 1966, 1990, dan 2007. Hanya pada 2007, dia dan keluarganya mendapat peringatan dari jauh-jauh hari.
Perempuan ini tinggal di perkebunan kopi Mangli di Desa Puncu, Kediri, saat Kelud meletus pada pagi hari pada bulan Agustus 1951. Warga desa sedang bersiap pergi ke kebun ketika tiba-tiba Kelud mengeluarkan suara menggelegar. ”Kami ketakutan. Saya dan adik diminta sembunyi di kolong ranjang oleh Simbok,” katanya.
Sesaat sebelum hujan batu, mereka berlari turun menembus kebun menyelamatkan diri. Sehari setelah letusan itu, ia kembali ke dusun dan menemukan rumah-rumah yang roboh tertimpa batu, kerikil, serta debu tebal. Atap depan rumah Tarminah pun ikut ambrol. ”Seandainya saya bertahan di kolong, mungkin saya juga tak berumur panjang,” katanya.
Letusan tahun itu menewaskan tujuh orang, tiga orang di antaranya dari Urusan Vulkanologi, yang sedang bertugas di dekat terowongan danau Gunung Kelud. Hadikusumo dalam Kelud Volcano and It’s Problems (1973) mencatat, letusan pada tahun 1951 itu melepaskan 200 juta meter kubik material padat dan 1,8 juta meter kubik air. Bom gunung api terlempar hingga perkebunan Sumbergeladah, sekitar 4 kilometer sebelah utara Blitar dan Wlingi, sedangkan hujan abu hingga Bandung. Daerah di radius 6,5 kilometer dari kawah danau terbakar. Lahar hujan melanda semua sungai yang berhulu di Gunung Kelud.
Letusan Kelud berikutnya pada tahun 1966 juga terjadi tanpa peringatan kepada warga. Tarminah mengungsi setelah gunung itu mulai meletus. Letusan kali ini menewaskan 210 orang, 86 orang luka-luka, dan 74 orang hilang. Letusan itu melepaskan 90 juta meter kubik material padat dan 21,6 juta meter kubik air. Lahar letusan mengalir melalui Sungai Badak, Putih, Ngobo, Konto, dan Semut.
”Dulu bisa saja gunung meletus dan petugas vulkanologi tidak mengetahuinya. Sekarang hal itu tak boleh terjadi lagi,” tekad Surono. Alat pemantauan gunung api Indonesia memang terus ditambah walaupun masih jauh dari memadai.
Menurut Surono, alat pemantau gunung api di Indonesia masih sangat kurang, misalnya untuk Kelud hanya dipasang 5 seismometer (untuk mengukur getaran) dan 2 tiltmeter (untuk mengukur perubahan bentuk gunung). Bahkan, dari 127 gunung api, baru separuhnya yang dipantau intensif. Surono mengibaratkan proses pemantauan gunung api di Indonesia seperti menaruh anak kecil di pinggir kolam. ”Kalau kita lengah, pasti masuk kolam. Kalau selamat, bisa dibilang karena kebetulan,” kata Surono.
Indonesia memiliki sekitar 30 persen jumlah gunung api di dunia dengan alat-alat pemantauan yang sangat tertinggal. Suatu ketika, Surono terbang di atas Gunung St Helen di Amerika Serikat. Dia terperanjat saat mendapat informasi dari rekannya, peneliti dari United States Geological Survey, bahwa di gunung itu ditanam lebih dari 50 seismometer dan lebih dari 20 tiltmeter.
”Saya mimpi kita bisa seperti itu, tetapi mau bagaimana lagi. Kenyataannya masih jauh. Sebagai gantinya, para petugas gunung api harus bekerja lebih keras,” kata Surono. ”Tugas kami ’mencuri’ golden time (waktu terbaik). Sebelum kondisi krisis terjadi, masyarakat di zona bahaya harus dievakuasi agar tak ada korban jiwa jatuh.”
Idealnya, menurut dia, keputusan untuk mengungsikan warga di zona bahaya dibuat dua hari sebelum gunung meletus. ”Namun, kita tak akan pernah bisa benar-benar mencapai angka ideal itu. Gunung api tak pernah benar-benar bisa diramalkan. Pencurian golden time itu mengasyikkan, mendebarkan, sangat ilmiah, meski kami juga bisa salah.”
Kelud memberikan ujian nyata bagi Surono soal penentuan golden time itu. Setelah dinyatakan Awas, gunung api itu ternyata tak kunjung meletus. Jam demi jam berlalu dalam hening. Frekuensi gempa justru turun. Sejak pukul 00.00, Rabu, hingga pukul 18.00 tercatat gempa vulkanik dangkal hanya 137 kali, jauh lebih rendah daripada sehari sebelumnya yang mencapai 472 kali gempa.
Masyarakat yang mengungsi mulai kembali ke rumah masing-masing setelah semalam tidur di pengungsian. Mereka membandingkan dengan letusan tahun 1990. Saat itu Kelud meletus hanya beberapa jam setelah statusnya dinaikkan menjadi Awas.
Di tengah situasi itu, Surono juga harus berhadapan dengan sesepuh Desa Sugihwaras, Parjito Ronggolawe, yang lebih sering dipanggil Mbah Ronggo, yang ngotot bertahan di desa. Dia meramalkan sampai sebulan ke depan tidak akan terjadi letusan.
Tak hanya Mbah Ronggo, pada saat-saat krisis dan penuh ketegangan itu 20 paranormal datang silih berganti ke pos pemantauan Kelud. ”Banyak yang datang dari luar kota, seperti Yogyakarta dan Solo. Pernyataan mereka, Kelud tak akan meletus, dasarnya mistik dan pengalaman letusan Kelud pada masa lalu. Saya tidak bisa mengikutinya,” kisah Surono.
Gunung Kelud, sebagaimana gunung api lain di Indonesia, juga berada di ranah kepercayaan mistis, yang menjerat jutaan pengikut dan memengaruhi cara pandang mereka. Jika Surono dan PVMBG mewakili ilmu pengetahuan modern dalam pemantauan gunung api, Mbah Ronggo menggambarkan sisi manusia Indonesia masa lalu yang selama ratusan tahun berhadapan dengan gunung api.
”Indonesia memiliki sekitar 30 persen jumlah gunung api di dunia dengan alat-alat pemantauan yang sangat tertinggal.”