KOMPAS/ LASTI KURNIA

Koloni terumbu karang di lereng Gunung Anak Krakatau (GAK) pada sisi timur antara GAK dan Pulau Sertung, Perairan Selat Sunda, Lampung, Selasa (16/8/2011).

Krakatau Menyingkap Rahasia Kehidupan

Keindahan Krakatau yang Berbahaya

·sekitar 6 menit baca

CEMARA LAUT (Casuarina Sp) dan barisan pohon keben (Barringtonia Sp) yang hijau meneduhkan pedalaman Pulau Rakata. Di tepian pantai, hamparan kangkung laut (Ipomoea pes-caprae) menutupi pasir. Tiba-tiba terdengar suara gemerisik, seekor biawak cepat-cepat menyelusup ke balik semak-semak. Kehidupan sedemikian semarak di pulau itu.

Tidak terbayangkan, 128 tahun lalu, pulau hijau itu merupakan tanah kosong tanpa kehidupan. Di balik pesonanya, pulau terpencil di Selat Sunda itu menyimpan sejarah kelam. Pada 27 Agustus 1883, Krakatau meletus hebat, menyisakan hanya sepertiga tubuhnya yang kemudian dikenal sebagai Pulau Rakata. Tebaran abu, batu apung, dan material lainnya menyelimuti pulau itu dan memusnahkan kehidupan di atasnya.

Namun, justru letusan dan sejarah Krakatau itulah yang menarik orang dari berbagai penjuru dunia untuk datang. Sejak lama letusan Krakatau ibarat magnet yang menyedot pelancong. Bahkan di bulan Mei 1883, saat Krakatau pertama kali meletus, serombongan turis yang penasaran datang ke sana dengan kapal pesiar.

Perusahaan Netherland-Indies Steamship Company yang menawarkan ”paket wisata” berlayar ke Krakatau dengan kapal uap Governor General Loudon langsung diserbu calon penumpang. Sebanyak 86 penumpang kapal itu dibawa mengelilingi Krakatau, hanya seminggu setelah Krakatau untuk pertama kalinya meletus pada Mei 1883.

KOMPAS/ LASTI KURNIA

Wisatawan di Pantai Pasir Putih Sirih, Cinangka, Serang, Banten, Minggu (6/11/2011). Tampak di kejauhan kompleks Gunung Anak Krakatau yang berjarak sekitar 42 kilometer dari garis pantai Anyer-Carita terlihat saat cuaca cerah.

Bahkan, kapten kapal GG Loudon, TH Lindeman, menyediakan sebuah perahu kecil agar para peserta dapat menjejakkan kaki di Pulau Krakatau yang tengah menggelegak.

”Pemandangan pulau itu fantastis: pulau itu telanjang dan kering, hutan tropisnya yang kaya telah lenyap, dan asap naik dari pulau seperti keluar dari oven,” tulis AL Schuurman, yang turut dalam kapal GG Loudon.

Pemandangan asap yang keluar dari puncak di Krakatau dan hutan lebat yang terbakar akibat letusan memesona kalangan kaya Belanda di Jakarta. Kapal GG Loudon pun rutin membawa penumpang melintas di sekitar Krakatau. Bahkan saat Krakatau akhirnya meletus hebat dan mengirim tsunami pada 27 Agustus 1883, GG Loudon tengah berada di perairan Selat Sunda membawa 111 penumpang. Kapal ini selamat karena nasib baik.

GG Loudon selamat karena bernasib baik.

Pesona letusan

Sebagaimana riwayat pendahulunya, asap dan batu pijar yang dilontarkan Anak Krakatau saat ini juga menjadi atraksi utama wisata. Sejak muncul pada tahun 1927, Anak Krakatau menjadi primadona di kompleks kepulauan Krakatau. Bahkan, pariwisata di kawasan pantai Anyer-Carita hingga Lampung, tak akan bergairah tanpa daya dukung Anak Krakatau dan aktivitasnya.

KOMPAS/ LASTI KURNIA

Aktivitas wisata di Pantai Pasir Putih Sirih, Cinangka, Serang, Banten, Minggu (6/11/2011).

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Provinsi Banten Achmad Sari Alam mengatakan, pada saat gelombang Selat Sunda tidak tinggi dan cuaca cerah, wisatawan dapat diajak melihat panorama Anak Krakatau lengkap dengan lelehan lava pijar maupun letupan seperti kembang api di malam hari ketika gunung api tersebut sedang beraktivitas.

Samuel (30) dari Italia datang ke pesisir Pasauran, Banten, bersama tiga temannya, termasuk yang tertarik dengan aktivitas Krakatau. Mereka pernah mendengar tentang sejarah kedahsyatan letusan Krakatau dan menghabiskan sekitar dua hari berkeliling di kawasan itu.

”Kami bisa membayangkan kedahsyatan letusan Krakatau. Apalagi, di Italia kami juga punya gunung-gunung api dengan letusan besar seperti Etna dan Vesuvius yang mengubur Kota Pompeii. Di dunia, nama Krakatau tak kalah terkenal,” ujarnya.

Di dunia, nama Krakatau tak kalah terkenal.

Tak hanya di Indonesia, keindahan, sejarah, dan fenomena letusannya membuat gunung-gunung api potensial menjadi tujuan wisata di dunia sejak dulu kala. Haraldur Sigurdsson dari Universitas of Rhode Islands dan Rosaly Lopes-Gautier dari Fet Propulsion Laboratory dalam tulisannya ”Volcanoes and Tourism” menyebutkan, pada abad ke-17 dan ke-18, para aristokrat mengunjungi Vesuvius dan Etna sebagai paket tur besar.

KOMPAS/ LASTI KURNIA

Pantai di kawasan Pasauran, Carita, Banten, Jumat (23/9/2011). Sejumlah pantai baik yang dikelola swasta maupun pemda meramaikan kawasan wisata di sepanjang Labuan hingga Carita.

Di Eropa, Thomas Cook membuka jalur kereta api khusus ke Puncak Vesuvius pada tahun 1880 yang banyak mengangkut kaum aristokrat. Jalur tersebut hancur sebanyak tiga kali karena aliran lava dan tidak dibangun lagi setelah letusan tahun 1944. Cook juga menghadapi ancaman dari orang-orang lokal Italia yang selama ini mendapatkan penghasilan dari mengangkut turis ke puncak gunung dengan kursi tandu.

Pelancong mengunjungi gunung berapi dengan beragam alasan, salah satunya ialah menyaksikan dari dekat kekuatan alam. Ketegangan menyaksikan dari dekat gunung api yang sedang meletus menarik jutaan orang tiap tahun untuk mengunjungi gunung-gunung aktif meletus, seperti Kilauea (Hawai), Stromboli (Italia), dan Arenal (Kosta Rika).

Berbahaya

Namun, dibalik pesonanya, berwisata ke Anak Krakatau tetaplah berbahaya. Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono mengatakan, pada tahun 1980-an, ada pengajar di Institut Teknologi Bandung (ITB) dari Amerika Serikat (AS) tewas saat menyaksikan letusan Anak Krakatau.

Karena itu, Ketua Pos Pemantauan Gunung Anak Krakatau, Anton S Tripambudi, mengingatkan agar wisatawan dan nelayan tetap mematuhi imbauan agar tidak mendekati Anak Krakatau dalam radius 2 kilometer. Batasan jarak ini merujuk pada pengalaman saat Anak Krakatau terakhir meletus bisa melontarkan batu sejauh 1,5 kilometer, yakni sudah mencapai perairan di sekeliling pulau ini. Wisatawan dilarang mendarat ke Pulau Anak Krakatau.

”Untuk kasus Gunung Anak Krakatau boleh didarati, kalau statusnya aktif normal atau di Level I. Namun, begitu masuk Level II (Waspada), gunung api tidak boleh didekati,” kata Anton.

KOMPAS/ LASTI KURNIA

Koloni terumbu karang di lereng Gunung Anak Krakatau (GAK) pada sisi timur antara GAK dan Pulau Sertung, Perairan Selat Sunda, Lampung, Selasa (16/8/2011).

Meski demikian, batas 2 km itu kerap tidak digubris. ”Informasi dari orang-orang kapal, kadang dijumpai ada wisatawan, terutama orang asing, yang mendarat di GAK,” kata Anton.

Pada penghujung Agustus 2011 lalu pun terlihat beberapa wisatawan asing yang mendarat dan berkemah di Anak Krakatau, meskipun larangan mendekati pulau gunung api itu di radius 2 km masih diberlakukan. Tak hanya itu, beberapa wisatawan lain terlihat berenang di air laut yang hangat.

Tak hanya itu, beberapa wisatawan lain terlihat berenang di air laut yang hangat.

Bahkan, saat status gunung ini dinaikkan menjadi Siaga (Level III) pada 30 September 2011, pengunjung yang hendak ke Krakatau tak juga berkurang. Aktivitas vulkanik di dalam dapur magma yang sangat tinggi beberapa pekan terakhir, juga tak menimbulkan jeri pelancong.

Hayun, pengelola penginapan di Pulau Sebesi, Lampung Selatan, mengatakan, mayoritas wisatawan, utamanya wisatawan asing, yang berkunjung ke tempatnya mengaku tertantang melihat Anak Krakatau saat aktif dari dekat. Mereka tak cukup melihat semburan lava pijar dari kawah Anak Krakatau di malam hari yang bisa dilihat dari Pulau Sebesi atau kompleks Kepulauan Krakatau.

KOMPAS/ HERU SRI KUMORO

Aktivitas pagi di Dermaga Desa Tejang, Pulau Sebesi, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, Senin (26/7/2010). Dermaga ini menjadi pintu utama keluar dan masuknya berbagai barang kebutuhan masyarakat maupun wisatawan yang akan menikmati pesona pulau yang terletak di sekitar Kepualaun Krakatau ini.

Padahal, Krakatau sebenarnya bukan hanya keindahan letusan maupun riwayatnya yang seram. Di Krakatau, pelancong tidak hanya bisa bertualang dan berkesempatan menyaksikan letusan di saat-saat Krakatau memuntahkan isi perutnya, namun juga dapat menikmati flora dan fauna yang hidup di kepulauan itu.

Terlebih lagi, gugusan Kepulauan Krakatau yang luasnya 13.605 hektar ini masuk ke dalam kawasan cagar alam dan telah ditetapkan UNESCO sebagai warisan dunia (1991) dan merupakan laboratorium alam bagi teori suksesi.

Di Krakatau, pelancong bisa belajar bagaimana kehidupan tumbuh berkembang di daratan yang pernah steril dari kehidupan. Pelaku wisata dan pemerintah semestinya bisa cerdas menangkap peluang yang belum banyak tergarap ini.

(INDIRA PERMANASARI/ AHMAD ARIF/ CYPRIANUS ANTO SAPTOWAHYONO)

Artikel Lainnya