KOMPAS/ YUNIADHI AGUNG

Joki-joki cilik memacu kuda mereka saat berlomba di kejuaraan pacuan kuda di Lapangan Lepadi, Kabupaten Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Minggu (5/4/2015). Sejumlah acara kebudayaan dan pariwisata diselenggarakan di sejumlah kota di Provinsi NTB untuk menyambut peringatan 200 tahun letusan Gunung Tambora.

Tambora Mengguncang Dunia

Tahun Tanpa Musim Panas

·sekitar 4 menit baca

MARY GODWIN masih 18 tahun saat berlibur bersama pasangannya, Percy Bysshe Shelley, ke Lake Geneva, Swiss, pada musim panas 1816. Mereka tinggal di pondokan tepi danau milik sastrawan Lord Byron, dan mengangankan pemandangan musim panas yang menyenangkan. Namun, yang mereka temui ternyata suasana muram. Jangankan pemandangan musim panas yang cerah, Mary menemukan, ”Segalanya basah, musim panas tak bersahabat, dan hujan yang tak berhenti-henti membuat kami hanya meringkuk di dalam rumah.”

Tahun itu, tak ada musim panas di Swiss. Salju turun nyaris sepanjang tahun. Udara lebih dingin dari biasanya. Matahari hilang entah ke mana. Kelaparan merajalela, membunuh banyak warga. Di Kota Appenzeller, jumlah orang tewas pada 1816 mencapai 10.000 jiwa, atau dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Pemerintah Swiss pun mengumumkan situasi darurat nasional.

Di pinggir Danau Geneva, pada tahun suram itu, Mary mendapatkan inspirasi atas bukunya, Frankenstein, novel horor ilmiah tentang penciptaan manusia. Mary menyelesaikan tulisannya pada Mei 1817 dan terbit pertama kali pada 1 Januari 1818 dengan nama samaran Percy Shelley.

KOMPAS/ ANDREAS MARYOTO

Salah satu pantai Danau Geneva, Swiss, Juni 2011.

Sebagaimana Mary, sang tuan rumah, Lord Byron, juga tercekam dengan suasana suram musim panas tahun itu. Dia membuat puisi berjudul Darkness, yang berkisah tentang semesta yang gelap, matahari tak lagi bersinar, dan orang- orang mati karena kelaparan. Suasana, yang menurut dia, ”Menyerupai mimpi, tapi bukan mimpi.”

Tak hanya di Swiss, tahun tanpa musim panas itu juga melanda seluruh daratan Eropa. Gagal panen dan kelaparan merajalela. Di Irlandia, selama bulan Mei dan September 1816 terjadi hujan selama 142 dari 153 hari. Central England Temperature Series mencatat, suhu selama musim panas di Inggris pada tahun 1816 mencapai 13,37 derajat celsius, terdingin ketiga sejak dicatat pada 1659.

Pada tahun itu juga, epidemi tipus merajalela di Eropa tenggara dan Mediterania sehingga menewaskan sedikitnya 10.000 jiwa. Bahkan, sebagian menyebut angka ratusan ribu. Tak heran jika banyak sejarawan menulis, letusan Tambora telah menyebabkan ”krisis terakhir dan terbesar di dunia Barat”.

Letusan Tambora telah menyebabkan ”krisis terakhir dan terbesar” di dunia Barat.

Tahun tanpa musim panas juga melanda Amerika Utara. Selama Mei hingga September 1816, Kanada dibekap cuaca dingin. Langit suram tanpa sinar matahari yang menyebabkan gagal panen. Seperti di Eropa, gagal panen melanda, menyebabkan kelaparan. Di Quebec pada Juni di tahun yang sama, salju tebal menyelimuti kota.

Hal yang sama terjadi di New England, AS. Bahkan, salju masih turun hingga Juli. Pada 22 Agustus tahun 1816, suhu beku mencapai New England hingga Carolina Utara.

KOMPAS/ AHMAD ARIF

Rijon, warga Doro Peti, Kabupaten Dompu, NTB, berdiri di tepi Doro Api Toi, anak gunung yang tumbuh di dasar Kaldera Tambora. Perjalanan menuju dasar kaldera ini dilakukan pada penghujung Agustus 2014 bersama beberapa warga Doro Peti. Pada April 1815, Tambora meletus hebat hingga menciptakan tahun tanpa musim panas di Eropa.

Selama seratus tahun, bencana kelaparan pada tahun tanpa musim panas itu tetap menjadi misteri. Hingga, pada tahun 1920-an, WJ Humphreys, peneliti di kantor meteorologi AS, menemukan adanya hubungan antara cuaca buruk pada 1816 dan letusan gunung yang sangat jauh letaknya dari dunia Barat: Tambora di Indonesia!

Dia berteori, abu yang dilontarkan Tambora telah menghalangi sinar matahari ke bumi sehingga suhu bumi mendingin. Teori tersebut belakangan dibantah oleh sejumlah ahli lain yang menyatakan bahwa pendinginan bumi itu disebabkan oleh aerosol asam sulfat dari Tambora.

Setelah itu, pada 1960-an, ahli meteorologi Hubert Lamb membuat indeks yang bertujuan membandingkan jumlah partikel yang dikeluarkan gunung api saat meletus. Hal ini membuat dampak letusan terhadap iklim bisa diukur. Erupsi Krakatau pada 1883 berada di indeks 1.000, sedangkan letusan Tambora tercatat memiliki skor tertinggi, yaitu 4.200. Inilah letusan dengan dampak terbesar terhadap iklim yang pernah dicatat manusia.

Letusan Tambora tercatat memiliki skor tertinggi, yaitu 4.200.

Namun, tak hanya menghasilkan kesuraman dan bencana kelaparan, tahun tanpa musim panas itu juga melahirkan temuan genius: sepeda! Cuaca yang buruk membuat transportasi yang biasanya mengandalkan kuda menjadi tidak nyaman. Kuda-kuda banyak yang disembelih, bukan hanya karena manusia tak memiliki cadangan makanan, melainkan juga karena majikan kesulitan mencari pakan untuk ternak.

KOMPAS/ YUNIADHI AGUNG

Joki-joki cilik memacu kuda mereka saat berlomba di kejuaraan pacuan kuda di Lapangan Lepadi, Kabupaten Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Minggu (5/4/2015). Sejumlah acara kebudayaan dan pariwisata diselenggarakan di sejumlah kota di Provinsi NTB untuk menyambut peringatan 200 tahun letusan Gunung Tambora.

Pada tahun-tahun sulit itu, seorang Jerman berusia 34 tahun bernama Karl Drais membuat alat sederhana beroda dua dari bahan kayu yang kemudian diberi nama draisine. Satu-satunya cara untuk mengendarai sepeda ini adalah dengan menjejakkan kaki ke tanah agar draisine mau meluncur.

Karena itulah, alat ini juga disebut hobby horse, merujuk pada arti ”kuda-kudaan” karena tujuan alat ini adalah menggantikan kerja kuda. Penemuan ini merupakan titik awal prinsip keseimbangan sepeda modern. Draisine menjadi sepeda pertama yang didaftarkan hak patennya tahun 1818.

Tahun tanpa musim panas telah meninggalkan bekas sedemikian dalam bagi masyarakat Eropa, termasuk juga mendorong lompatan teknologi.

Ahmad Arif; Indira Permanasari; Amir Sodikin; Agus Susanto; Fikria Hidayat; Rustiono; Gunawan

Artikel Lainnya