Kompas/Rony Ariyanto Nugroho

Petugas Taman Hutan Raya Ir H Djuanda, Bandung, membersihkan lokasi lipatan lava yang dinamai Batu Selendang Dayang Sumbi, Selasa (5/4). Lipatan lava akibat letusan Gunung Tangkuban Parahu ini menjadi batuan lipatan lava pertama di Indonesia.

Sejarah

Pesona Nusantara: Menikmati Sibakan Selendang Dayang Sumbi

·sekitar 4 menit baca

Tidak heran apabila Sangkuriang begitu kecewa besar saat cintanya ditolak Dayang Sumbi, yang tidak lain adalah ibunya sendiri. Pembuatan perahu dalam waktu semalam, sebagai syarat dari Dayang Sumbi, sebenarnya sedikit lagi selesai.

Rasa kecewa itu semakin mendalam setelah mengetahui kalau Dayang Sumbi ikut campur menghadirkan matahari pagi. Perahu setengah jadi pun ditendang dan terbalik (tangkuban) yang jejaknya dipercaya sebagai proses Gunung Tangkuban Parahu.

Mengenai kecantikan Dayang Sumbi, Sangkuriang sepertinya tidak salah. Setidaknya, ada sisa kecantikan Dayang Sumbi yang terasa hingga saat ini. Bukan dalam bentuk wajah atau fisik lain, melainkan untaian selendang yang terpahat di atas batu basalt di Taman Hutan Raya (Tahura) Ir H Djuanda, Bandung.

“Bentuknya seperti selendang batik yang sangat indah. Karena itu, kami menamakannya sebagai situs Geologi Selendang Batik Dayang Sumbi,” kata Riben, petugas Tahura Djuanda.

Tahura Djuanda adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan satwa yang dimanfaatkan bagi kepentingan umum sebagai tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan wisata. Lahan yang dikelola Dinas Kehutanan Jawa Barat itu kini luasnya 590 hektar dengan koleksi 2.500 tumbuhan.

Tahura yang dibangun pada 1912 ini tercatat sebagai yang tertua yang pernah dibangun Belanda. Pusat taman yang sebelumnya dikenal dengan Taman Rakyat Pulosari atau disebut masyarakat sebagai Palasari terletak di Kampung Pakar, Desa Ciburial, Kecamatan Cimeyan, Kabupaten Bandung.

Akses menuju Tahura juga mudah dijangkau. Bagi pengguna kendaraan pribadi diuntungkan dengan papan penunjuk arah di sepanjang Jalan Bukit Dago. Pengunjung yang menggunakan angkutan umum dapat naik angkutan kota jurusan Bandung-Terminal Dago. Dari Terminal Dago, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki, atau naik ojek menuju lokasi.

Lukisan alam

Layaknya peristiwa terbentuknya Tangkuban Parahu yang bisa dijelaskan lewat proses ilmiah, terbentuknya Selendang Dayang Sumbi tidak kalah indah untuk diceritakan. Jika Tangkuban Parahu lahir akibat kuatnya letusan Gunung Sunda, Selendang Dayang Sumbi adalah lukisan alam dari aliran lava panas sisa letusan Tangkuban Parahu 48.000 tahun lalu.

Geograf dari Masyarakat Geografi Indonesia, T Bachtiar, mengatakan, jejak lava itu begitu eksotis karena membentuk pola lipatan berulang dengan ukuran dan jarak yang sama. Ada lipatan yang lancip dan gemuk yang tergambar secara vertikal. Jika dilihat dari atas, sepintas jejak itu mirip motif batik.

Sebagai temuan geologi yang relatif baru ditemukan, situs Selendang Dayang Sumbi belum banyak dikenal pengunjung Tahura. Situs itu ditemukan oleh pemancing tradisional, lokasinya terletak di dasar tebing sedalam 20 meter yang berada sekitar 4 kilometer dari kantor pengelolaan Tahura. Tepatnya di bantaran Sungai Cikapundung antara Air Terjun Lalai dan Cikidang.

Cukup sulit untuk menemukan lokasinya. Tim Ekspedisi Citarum harus ditemani petugas Tahura untuk menuruni tebing tanah curam sekitar 100 meter dengan kontur tanah licin. Petugas harus memasang alat bantu berupa tali kuat berdiameter 1 sentimeter sebagai pegangan.

Sampai di bawah, rasa penasaran itu tergantikan kekaguman. Jejak itu terekam dalam batuan datar seluas 5 meter x 2 meter. Ada sekitar 5 motif yang terbentuk dengan ukuran yang berbeda. Ada lipatan panjang dengan ujung lancip, tetapi ada juga yang pendek dengan lipatan yang lebih besar. Keindahannya dipadukan dengan blok formasi batuan sisa letusan gunung berapi lainnya yang tersebar di atas tebing, dan sepanjang Sungai Cikapundung. Ditemani suara keras air yang menghantam batu vulkanik di Sungai Cikapundung, kekaguman itu bertambah besar karena jika dilihat dari atas, jejak itu terlihat mengilap seperti kaca saat beradu dengan sinar matahari.

Temuan baru

Bachtiar yakin, di Indonesia fenomena ini baru ditemukan di Tahura Djuanda. Hal yang kurang lebih serupa banyak ditemukan di Hawaii, Islandia, dan Kolombia. Lava itu adalah tetesan dari lava yang berada di atasnya, lalu mengalir secara vertikal. Makin jauh kekentalannya meningkat dan bagian permukaannya membeku. Namun, karena bagian dalam masih encer dan panas, lava terus bergerak membentuk pola baru. Kejadian itu terjadi berulang-ulang hingga semua bagian lava membeku. Fenomena ini mirip dengan bukti geologi lava pahoehoe di Hawaii. Dalam bahasa Hawaii, Pahoehoe artinya tali.

Menurut Jasmiaty dari Humas Tahura Djuanda, Selendang Dayang Sumbi segera dikembangkan sebagai obyek wisata alam andalan. Rencananya, pertengahan 2011 bakal digarap lebih serius bersama beberapa wahana baru lainnya.

Setelah mayoritas pengunjung hanya mengenal curug (air terjun) Maribaya dan curug Omas, Tahura akan memperkenalkan tiga curug yang letaknya tak jauh dengan Selendang Dayang Sumbi. Tiga air terjun yang selama ini masih tersembunyi dibalik lebatnya hutan Tahura itu adalah Lalay, Kidang, dan Koleang. Ketinggiannya sekitar 15 meter sebelum airnya menyentuh bagian dasar.

Kelebihan Lalay adalah keberadaan gua tempat keluarnya air. Gua ini menjadi tempat berkembang biak kawanan kelelawar (dalam bahasa Sunda disebut lalay). Adapun Kidang dan Koleang juga tidak kalah indah karena menawarkan pemandangan turunnya air menerpa batuan di bawahnya.

Aktivitas lain adalah memperkenalkan pengunjung tentang keberadaan bendungan pembangkit listrik Pakar buatan Belanda yang dibangun pada 1900-an. Interpreter Tahura Ganjar menilai, bendungan ini jadi saksi sejarah pembangkit listrik buatan Belanda di sekitar Tahura, sebelum pembangkit listrik Pakar II yang dibuat tahun 1910, saluran air Gua Belanda tahun 1918, atau pembangunan pembangkit listrik tenaga air di Dago Bengkok pada 1922.

Wisata flora dan fauna juga akan mendapat tempat khusus. Setelah jadi rumah bagi beragam satwa, seperti kera ekor panjang (Macaca fascicularis), burung kacamata (Zoeterops palpebrosus), perenjak Jawa (Lonchura leucogastroides), burung cinenen pisang (Orthotomus sutorius), dan ayam hutan (Galus-galus banriva). Tahura akan membuat konservasi pembiakan rusa dari Istana Bogor. Lahannya telah disiapkan.

Kini, di Tahura disediakan fasilitas inap untuk 20 orang, sarana outbond, panggung terbuka, dan lapangan tenis. Tempat parkirnya pun mampu menampung puluhan mobil dan motor.

(CORNELIUS HELMY)

Artikel Lainnya