KOMPAS/AHMAD ARIF

Frederick Sitaung (35) menjadi satu-satunya guru di SD Inpres Poepe, Desa Welputi, Kabupaten Merauke, Papua. Selama 15 tahun mengajar anak- anak suku Malind, Frederick pernah nyaris dipanah dan pernah hanya makan daun-daunan selama dua minggu karena kehabisan bahan makanan.

Liputan Kompas Nasional

Nasib Guru di Pedalaman: Dua Pekan Kami Makan Daun-daunan

·sekitar 4 menit baca

Saat itu musim hujan. Daratan di Kampung Poepe, Desa Welputi, Distrik Okaba, Merauke, telah meyempit karena sebagian besar berubah menjadi rawa-rawa. Di kampung tersebut, pada tahun 1993 itu, hanya ada dua guru pendatang asal Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Frederick Sitaung dan Papalangi, dengan 20-an murid.

“Di masa itu para orangtua, suku Malind-Anim, pergi berburu rusa dan saham (kanguru),” kenang Sitaung, membuka percakapan dengan tim Ekspedisi Tanah Papua Kompas 2007, Selasa (21/8).

“Sudah setengah bulan para orangtua pergi,” tambah Sitaung. Beras jatah untuk guru Sitaung dan Papalangi pun habis karena dibagi dengan para muridnya, sedangkan bantuan dari kota kecamatan tak bisa diharapkan. “Waktu itu untuk mencapai Poepe perlu waktu dua minggu, mendayung menyusuri Sungai Buraka dari Okaba,” kata Sitaung menjelaskan.

Alhasil, Sitaung dan Papalangi hanya memakan daun-daunan dan ikan yang berhasil ditangkap di rawa-rawa. “Untunglah seminggu kemudian, setelah kami hanya memakan daun-daunan dua minggu, para orangtua datang membawa hasil buruan dan sagu,” lanjut Sitaung, satu-satunya guru yang masih bertahan mengajar di Kampung Poepe saat ini.

Sitaung lahir di Rantepao Tana Toraja 35 tahun silam. Ia mengajar anak-anak suku Malind Anim sejak tahun 1992. Selama 15 tahun mengajar di Poepe, katanya, sudah tujuh guru lain datang dan pergi. “Guru lainnya rata-rata hanya bertahan satu hingga dua tahun,” katanya.

Bisa dikatakan, hanya Sitaung dan seorang seniornya, Papalangi (65), yang bertahan di Poepe. Berdua, mereka menjadi guru “tetap” di sana. Bulan Juli 2007, Papalangi pensiun setelah mengajar 24 tahun di Poepe. Dengan demikian, Sitaung kini satu-satunya guru, yang sekaligus merangkap sebagai kepala sekolah. Ia harus mengajar 51 murid kelas satu hingga enam.

“Maunya juga pindah ke tempat lain, yang lebih dekat dari kota. Tetapi, setiap saya mau mengajukan pindah, guru lain yang baru datang lebih dulu pindah. Siapa lagi mengajar di sini? Saya kasihan sama anak-anak kalau tak ada guru,” katanya.

Selain kerap terancam kelaparan, Sitaung kenyang dengan berbagai pengalaman, mulai dari belajar berburu buaya dan rusa untuk bertahan hidup, ditantang berkelahi oleh muridnya, hingga nyaris dipanah orangtua murid.

Suatu ketika, Sitaung menemukan sepasang muridnya berbuat tak asusila pada jam istirahat. Sitaung kemudian menghukum mereka dan minta orangtuanya datang ke sekolah.

Ketika datang, orangtua mereka justru marah. Mereka datang dengan panah siap dilepas. Menurut mereka, guru tak berhak menghukum anaknya. Beruntung, mereka akhirnya bisa diberi pengertian.

Pengabdian Sitaung sepertinya tak pernah membuahkan penghargaan yang layak. Untuk memperoleh sepeda motor dinas saja, dia harus mengajukan proposal hingga tujuh kali. Terakhir, Sitaung datang langsung ke kabupaten, bersitegang dengan ajudan pejabat, dan barulah dikabulkan. “Beras jatah dan gaji juga sering terlambat,” kata guru beranak dua dan bergaji Rp 1,4 juta per bulan itu.

Pengembangan pedalaman

Lain lagi kisah Marcus Limbong, pensiunan guru SD di Welbuti, Okaba. Lelaki yang juga berasal dari Tana Toraja itu termasuk rombongan 50 guru yang terpilih dalam Program Pengembangan Pedalaman pada tahun 1970 atau seangkatan dengan Papalangi. Saat pertama datang di Welbuti, semua anak yang ada di kampung itu masih telanjang.

Sempat ia takut mendengar bahwa masyarakat di sana masih ada yang makan orang, tetapi itu ternyata tak terbukti. “Waktu itu saya masih muda, 22 tahun. Saya hanya berbekal keberanian saja. Siap mati sajalah,” ujarnya sambil tertawa lebar.

Masyarakat di kampung itu ternyata menerima Limbong dengan baik. Komunikasi dengan mereka juga lancar karena mereka sudah menggunakan bahasa Indonesia-Melayu.

Sama seperti Sitaung, mengajar di pedalaman ternyata tidak mudah. Sembilan tahun mengabdi di Welbuti, Limbong harus mengajar sendiri untuk semua kelas di SD YPK (Yayasan Pendidikan Kristen).

“Ketika itu belum ada kurikulum dari pemerintah. Yang penting anak-anak bisa baca dan tulis,” katanya.

Yang membanggakan, dengan fasilitas sangat terbatas ternyata murid-muridnya bisa mengikuti pelajaran dengan baik. “Sekarang kenapa justru banyak anak SLTP di Papua belum bisa baca tulis?” gugat Limbong, yang pensiun bulan Juli 2007.

Ketika mengajar di Welbuti, menurut Limbong, semangat belajar anak-anak didiknya sangat tinggi. Sayang, mereka tidak mempunyai uang untuk membeli perlengkapan sekolah, seperti buku, alat tulis, dan baju. Gajinya yang saat itu Rp 300 Irian Barat (IBRP) sering dibelikan kebutuhan sekolah untuk muridnya. Untuk itu, ia bahkan harus berjalan kaki menerobos hutan selama 2-3 hari ke Okaba.

Makan gaji buta

Sosok guru seperti Sitaung, Papalangi, dan Marcus Limbong memang tak banyak lagi. Sebagian besar guru di pedalaman Papua belakangan ini lebih banyak tinggal di kota, tetapi tak malu mengambil gaji buta.

Zaman memang telah berubah. Kebutuhan dan tuntutan hidup semakin tinggi, tetapi masyarakat pedalaman tetap mendambakan kesetiaan dan pengabdian guru.

Artikel Lainnya