GUNAWAN

Liputan Kompas Nasional

Pembangunan Papua yang “Setengah Hati”

·sekitar 7 menit baca

Tuntutan akan perbaikan nasib orang asli Papua sekarang ini terasa semakin kencang. Padahal, Undang-Undang Otonomi Khusus Papua yang diluncurkan enam tahun lalu dimaksudkan untuk meredam hal-hal semacam itu, termasuk soal keinginan sekelompok masyarakat untuk memisahkan pulau tertimur di Nusantara tersebut dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dewasa ini yang lebih banyak didengungkan adalah tidak adanya perubahan nasib bagi orang asli Papua meskipun dana otonomi khusus yang triliunan rupiah sudah disalurkan setiap tahun ke sana.

Mereka yang sebagian besar adalah peramu atau petani subsisten pada umumnya masih bersaing di selasaran pasar atau menjadi penonton keberhasilan pendatang. Pendidikan dan kesehatan masyarakat, terutama yang berada di pedalaman, masih terabaikan. Moda transportasi demikian terbatas. Di sisi lain, sebagian kaum lelaki muda cenderung bermabuk-mabukan dan kasus HIV/AIDS semakin marak.

Fakta-fakta itu semakin hari semakin dipersoalkan karena masyarakat juga melihat perekonomian sejumlah pejabat tumbuh pesat. Sebaliknya, upaya perbaikan nasib orang asli Papua serta pencegahan terhadap perilaku seks bebas dan mabuk-mabukan dinilai minim.

“Sepertinya pemerintah sengaja melakukan pembiaran. Ini kan sama dengan genosida,” demikian komentar beberapa dosen di Universitas Cenderawasih dan aktivis perempuan yang ditemui tim Ekspedisi Tanah Papua Kompas 2007 beberapa waktu lalu.

Gubernur Papua Barnabas Suebu, yang mengomandoi pelaksanaan otonomi khusus, memang sudah berupaya meredam kegelisahan masyarakat itu. Ia juga secara tidak langsung mengakui bahwa pelaksanaan otonomi khusus selama ini kurang tepat. Kini dia mencoba menerapkan kebijakan baru dalam pelaksanaan otonomi khusus, termasuk memberikan block grant Rp 100 juta kepada setiap kampung.

Harapannya, ada pembangunan yang signifikan dan muncul kesadaran masyarakat untuk membangun daerah itu secara bersama-sama. “Rasionya, 60 persen dari kabupaten/kota dan 40 persen dari provinsi,” kata Suebu menjelaskan tentang asal dana block grant itu kepada Kompas, di tengah-tengah kesibukannya melakukan program turun kampung di wilayah Pegunungan Tengah Papua beberapa waktu lalu.

Dengan adanya dana block grant itu, menurut Suebu, sektor-sektor yang selama ini dianggap penting dan mendesak untuk dikembangkan, seperti di bidang pemberdayaan ekonomi rakyat, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, mendapat perhatian khusus. Dana itu rencananya dikelola bersama oleh masyarakat adat, kalangan agama, dan pemerintah daerah setempat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan orang-orang asli Papua.

“Selama ini bisa dikatakan beragam masalah yang membelit penduduk terus dijadikan semacam ‘jualan’ untuk mengucurkan dana. Saya mencoba mengistilahkan fenomena ini sebagai ‘negara proposal’ atau ‘negara proyek’. Artinya, orang bekerja dengan dana dari negara berdasarkan proposal dan dikerjakan secara proyek. Sekarang, masyarakat tidak boleh lagi menjadi obyek. Saya minta agar masyarakat dijadikan subyek, pelaku pembangunan,” kata Suebu memberikan alasan.

John Ibo, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), menyambut baik kebijakan Suebu. “Ini bisa dikategorikan sebagai program terbaik selama pelaksanaan otonomi khusus di tanah Papua sebab baru kali ini aliran dana lebih banyak dicurahkan ke masyarakat,” katanya.

Meski demikian, patut dipertanyakan, mampukah gebrakan Suebu meredam kekecewaan masyarakat? Melihat kondisi di lapangan, tampaknya sulit mengatasi masalah sosial kemasyarakatan yang ada hanya dengan cara itu, apalagi tidak ada tim asistensi.

“Padahal kami, yang turut mengajukan kebijakan otonomi khusus-berdasarkan penelitian di lapangan-sejak awal sudah mengimbau agar pelaksanaan kebijakan tersebut dibarengi dengan asistensi. Namun, kenyataannya semua dibiarkan berjalan masing-masing sehingga jadinya begitu,” ujar Rektor Universitas Cenderawasih Baltazar Kambuaya.

Otonomi khusus dan pemekaran wilayah

Pelaksanaan otonomi khusus yang disusul dengan kebijakan pemekaran wilayah tampaknya menjadi biang keladi “kegagalan” pembangunan di Papua selama tahun 2000-an ini. Sebagaimana dikemukakan Suebu, pemekaran wilayah yang membutuhkan anggaran cukup besar telah mengakibatkan dana otonomi khusus selama ini sebagian besar habis untuk memenuhi kebutuhan birokrasi.

Menurut pengamatan Kompas, pemekaran wilayah pada umumnya belum mewujudkan pelayanan masyarakat yang positif. Di Keerom-kabupaten hasil pemekaran yang lokasinya tak jauh dari Kota dan Kabupaten Jayapura-misalnya, sekarang ini pemerintahannya masih sibuk menyiapkan berbagai kantor pemerintah daerah, mulai dari kantor bupati, kantor DPRD, serta kantor lembaga pemerintahan daerah lainnya, sampai perumahan untuk pejabat pemerintah daerah itu.

Hal serupa terlihat di Kabupaten Supiori. Di daerah yang merupakan hasil pemekaran dari Biak Numfor empat tahun lalu ini sampai sekarang juga belum ada aktivitas pemerintahan yang layak. Sebagian besar pejabat daerah itu masih berkantor di Biak karena kantor pemerintahan atau tempat pelayanan masyarakat yang dibutuhkan belum tersedia.

Di Boven Digoel memang telah dibangun sejumlah rumah untuk orang-orang asli Papua, tetapi tampaknya cara itu pun tidak mampu menghidupkan persaingan bisnis yang sehat antara orang asli Papua dan pendatang.

Bisa dibilang, pembangunan yang ada sekarang ini hanyalah pembangunan fisik seperti itu, bukan pembangunan di empat bidang sebagaimana yang dimaksudkan dalam otonomi khusus, yakni pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan perekonomian rakyat. Jadi, tak perlu heran kalau masyarakat merasa tidak mendapatkan apa-apa, bahkan merasa diabaikan.

Natalia, pelajar SMA, orang asli Papua, yang tinggal di wilayah Keerom, misalnya, mengatakan, sekarang ini dia dan adiknya masih membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk sekolah. “Saya perlu Rp 3.000 per hari untuk ongkos ke sekolah pergi pulang, sedangkan adik saya yang SMP Rp 10.000 karena dia harus naik ojek. Jalan ke sekolah adik saya sedang rusak dan tidak ada taksi (angkutan umum) ke sana,” katanya.

Ia juga bercerita tentang ibunya yang janda berpenghasilan minim. “Kalau ada buah pisang atau pinang yang tua atau masak, ibu akan membawanya ke pasar dan menjualnya. Itulah penghasilan ibu. Kami memang dibantu kakak yang sudah kerja, tetapi kalau tidak ada uang, ya kami terpaksa tidak berangkat ke sekolah,” ujar gadis itu polos.

Dengan kata lain, ia masa bodoh dengan otonomi khusus dan pemekaran wilayah.

Pesimistis

John RG Djopari MA (Ketua Tim Evaluasi Otonomi Khusus Departemen Dalam Negeri), Thaha Alhamid (Sekretaris Jenderal Presidium Dewan Papua), dan Hana Hikoyabi (Wakil Ketua II Majelis Rakyat Papua) bahkan menyatakan ragu akan keseriusan pemerintah, baik di pusat maupun di Papua sendiri, dalam membangun Papua. Mereka cenderung berpendapat, pemerintah setengah hati membangun daerah yang bergabung dengan RI pada tahun 1963 itu.

Menurut Djopari, meski kebijakan otonomi khusus cukup menjanjikan pengembangan manusia dan daerah Papua, cairnya anggaran otonomi khusus yang jumlahnya triliunan rupiah setiap tahun tidak pernah sesuai dengan jadwal yang sesungguhnya.

“Akibatnya, muncul istilah uang beli uang. Artinya pemerintah daerah datang ke Jakarta membawa uang untuk orang-orang tertentu di pusat dengan harapan pemerintah pusat segera mengeluarkan anggaran otonomi khusus yang telah ditetapkan kepada pemerintah daerah. Apa ini bukan pembangunan setengah hati?” ungkapnya.

Alhamid berkomentar lain lagi. Menurut dia, peraturan perundang-undangan yang ditetapkan pemerintah telah memberikan celah kepada pelaksana pembangunan di Papua untuk melakukan tindakan yang tidak sinkron.

“Tahun 2001 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 21 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Namun, tahun 2004 dikeluarkan pula Undang-Undang Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah yang juga berlaku untuk Papua. Untuk dua undang-undang itu saja sudah ada masalah, karena dengan adanya UU No 32/2004, para kepala daerah dibenarkan mengatur wilayahnya sebagaimana yang dikehendaki. Jadi, tidak mustahil akan terjadi ketidakharmonisan pembangunan daerah tingkat I dan daerah tingkat II,” papar Djopari pula.

“Mestinya, kalau Papua sudah diberi otonomi khusus, beri pimpinan wilayah ini ‘kekuatan’ untuk memimpin sehingga terjadi koordinasi yang baik antara level atas dan yang ada di bawahnya, bukan sebaliknya,” kata Alhamid menambahkan.

Tidak hanya itu, lanjut Alhamid, kini juga muncul Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan. “Padahal, kita tahu, sumber daya manusia di daerah ini belum siap menghadapi itu semua. Kalau berbagai kebijakan tersebut dijalankan, akhirnya yang mengenyam pembangunan di Papua hanya para pendatang atau pejabat-pejabat daerah tertentu. Rakyat tidak mendapat apa-apa. Saya tidak mengerti, pemerintah sebenarnya maunya apa?” kata Alhamid.

Hana juga mengutarakan keluhan serupa. Menurut dia, pemerintah tidak pernah menunjukkan keseriusan dalam membangun Papua yang luasnya sekitar tiga kali Pulau Jawa. “Majelis Rakyat Papua yang diharapkan berperan dalam memberdayakan orang asli Papua pun tidak diberi kewenangan yang berarti. Selain itu, sejumlah rancangan peraturan daerah khusus dan rancangan peraturan daerah provinsi yang dibutuhkan untuk pelaksanaan otonomi khusus pun hingga kini belum ada,” katanya.

Djopari, Alhamid, dan Hana juga mempertanyakan kebijakan pemerintah pusat menyetujui pemekaran wilayah secara besar-besaran. “Dalam perencanaan saya waktu menjadi wakil gubernur, pelaksanaan pengembangan dan pemekaran 16 kabupaten baru (saat itu) tidak perlu menggunakan dana otonomi khusus. Cukup dengan dana APBD Papua serta DAU yang jumlahnya sudah lebih dari Rp 1,5 triliun,” kata Djopari, yang juga mantan Duta Besar RI untuk Papua Niugini.

“Tetapi, apa yang kemudian terjadi? Mendadak pemerintah pusat menyetujui pemekaran wilayah hingga lahir 24 kabupaten baru. Itu pun dilakukan secara bersamaan. Akibatnya, sudah dapat dibayangkan, dana otonomi khusus yang seharusnya dipakai untuk program pembangunan sosial dan percepatan pembangunan infrastruktur di tanah Papua justru hanya terpakai untuk pembangunan serta pemenuhan berbagai fasilitas pemerintahan hasil pemekaran wilayah tadi,” tutur Djopari, seraya menambahkan, dampak dari semua itu adalah sumber daya manusia yang mengisi pemerintahan hasil pemekaran wilayah tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Tampaknya, pemerintah patut segera meninjau berbagai ketentuan undang-undang dan kebijakan yang ditetapkan dalam rangka membangun Papua, termasuk kebijakan soal Provinsi Papua Barat-yang hingga kini legalitasnya masih terus dipertanyakan.

Yang juga tak kalah penting, pertimbangkan masak-masak usul pemekaran wilayah yang terus diteriakkan sejumlah pihak, baik di Papua maupun di Papua Barat, serta pemanfaatan sumber daya alam. Kelalaian melihat berbagai persoalan ini bukan mustahil menjadi pemicu tumbuhnya “keliaran” masyarakat yang tidak puas. (FAN/NAR/NIC)

Artikel Lainnya