KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Pekerja membersihkan ruang tunggu Bandar Udara Sentani, Jayapura, Papua, yang masih dalam perbaikan, Sabtu (14/12). Perbaikan itu untuk meningkatkan daya tamping penumpang di bandara yang semakin sibuk. Pengelolaan bandara termasuk yang ditawarkan kepada pihak asing.

Liputan Kompas Nasional

Penerbangan: Tiket Boleh di Tangan, tetapi…

·sekitar 5 menit baca

Siang itu sejumlah orang berkerumun di loket penjualan tiket pesawat terbang Trigana Air Service yang ada di Bandar Udara Sentani, Jayapura. Meski pelayanan sudah tak ada, orang-orang asli Papua tersebut terus berdiri di sekitar loket itu, bak menanti “keajaiban” yang tak kunjung tiba.

“Tiketnya habis. Katanya sampai tanggal 8 Agustus semua kursi yang tersedia sudah terjual. Pesawatnya dicarter karena tanggal 9 Agustus ada Festival Baliem di Wamena (salah satu kabupaten di pegunungan tengah Papua),” kata seorang yang menunggu di loket itu kepada tim Ekspedisi Tanah Papua Kompas 2007 tanggal 6 Agustus lalu.

Kompas pun terpaksa menghubungi Base Manager Trigana Bustomi Eka Prayitno, mengingat tim harus masuk ke Wamena, Papua, segera. “Oke… besok pagi, pukul 05.00 WIT, datang saja ke kantor kami,” kata Bustomi memenuhi permintaan Kompas, dengan catatan tidak keberatan berangkat dengan pesawat kargo.

Lain lagi kejadian di Timika, Papua. Gara-gara pesawat Trigana yang melayani rute Timika-Kaimana rusak, tiket yang sudah ada di tangan tiga hari sebelum jadwal pemberangkatan ke Kaimana, Papua Barat, pun terasa menjadi sia-sia. “Kemungkinan hari Sabtu atau hari Senin ada penerbangan ke sana,” demikian penjelasan petugas Trigana kepada Kompas di Bandara Moses Kilangin, Timika, Kamis (16/8) itu.

Setelah hari Senin tiba, ternyata pesawat belum juga muncul. “Ya… tunggu sampai hari Kamis (23/8) nanti saja karena penerbangan rutinnya seminggu sekali,” kata petugas Trigana lagi.

Begitulah kondisi penerbangan lokal di Papua sekarang ini. Sekalipun tiket pesawat sudah di tangan, jangan harap Anda bisa terbang sesuai dengan jadwal yang sudah tertera di tiket. Kondisi pesawat dan cuaca di daerah yang bersangkutan sangat menentukan jadi tidaknya perjalanan dilaksakanan.

Sebagaimana dijelaskan Bustomi, penerbangan seperti Timika-Kaimana tergolong penerbangan perintis. “Untuk rute itu ada subsidi dari pemerintah sehingga frekuensi penerbangan yang dilakukan Trigana, misalnya, hanya diperkenankan satu minggu sekali, meski peminatnya membeludak,” ujarnya.

Ratusan bandara

Minimnya pembangunan infrastruktur jalan di Papua, hingga saat ini, mengakibatkan sebagian besar daerah tidak bisa dijangkau dengan transportasi darat. Pilihannya hanya dua, menggunakan transportasi udara atau laut. Namun, bisa dikatakan, transportasi udara jauh lebih populer sehingga di sana selain dikenal penerbangan niaga berjadwal dan penerbangan niaga tidak berjadwal, ada juga penerbangan non-niaga (yang dilakukan sejumlah misionaris).

Tak perlu heran pula kalau di provinsi tertimur Indonesia itu saat ini masih ada ratusan landasan pesawat terbang. Jika di masa lalu ada 400-an landasan pesawat terbang, kini-setelah ada sejumlah pembangunan infrastruktur jalan-tinggal 297 lapangan udara yang beroperasi.

“Penambahan atau pengurangan jumlah landasan pesawat udara itu juga tergantung pada permintaan masyarakat di pedalaman,” ujar Sukro, Kepala Bidang Perhubungan Udara di Dinas Perhubungan Papua.

Ia menambahkan, sekarang ini ada 15 maskapai penerbangan “khusus” (misionaris) yang melayani penerbangan non-niaga ke pedalaman-pedalaman Papua. Yang memiliki wilayah pelayanan terbanyak adalah Mission Aviation Fellowship (MAF) dan Associated Mission Aviation (AMA).

Terbatas

Menurut Program Manajer MAF Papua Douglas Allrich, MAF yang sudah menjelajahi tanah Papua sejak tahun 1955 saat ini mengoperasikan 13 pesawat jenis Cessna 206 (bisa mengangkut lima penumpang) dan Cessna 208 (tujuh penumpang). “Kami baru mampu melayani sekitar 30 persen permintaan masyarakat, mulai dari bagian Kepala Burung dengan home base di Manokwari, Nabire, Sentani, Wamena, Timika, daerah Pegunungan Bintang, hingga Merauke,” ujarnya.

Sementara itu, AMA, menurut Manajer Operasional AMA Untung Djoni, memiliki delapan pesawat terbang (yang bisa mengangkut hingga sembilan orang sekali terbang). Merpati Nusantara-yang melayani penerbangan perintis di Timika, Jayapura, Wamena, Nabire, Manokwari, dan Sorong, sebagaimana disebutkan Cenderawasih Pos tanggal 16 Agustus 2007-dilengkapi tujuh pesawat twin otter. Adapun Trigana, sebagaimana disebutkan Bustomi, memiliki satu pesawat jenis ATR 72, tiga Fokker-27, satu Caribou, serta satu twin otter.

Sejak ada pemekaran wilayah, lanjut Bustomi, permintaan sebenarnya meningkat jauh, bahkan sampai 20 kali lipat dari masa lalu. “Karena itu, kami berencana menyewa pesawat Hercules dari luar negeri,” katanya.

Geliat Papua ternyata belum diikuti peningkatan fasilitas penunjang yang memadai…. (FAN/NIC/GSA)

Pesawat Kargo: Mulai dari Buah Merah sampai Binatang

Pesawat terbang yang melayani rute perjalanan ke sejumlah wilayah pedalaman Papua ternyata diisi dengan beragam barang. “Untuk penerbangan ke pedalaman, tak jarang kami mengangkut buah pinang berton-ton sampai truk,” kata Bustomi Eka Prayitno, Base Manager Trigana Air Service, kepada tim Ekspedisi Tanah Papua Kompas 2007.

“Kadang-kadang ada juga yang mencoba mengirimkan minuman ke pedalaman meski ada larangan. Namun, kami biasanya bisa mengendus niat tidak baik itu sehingga kami periksa dan bongkar, bahkan kami minta polisi memprosesnya,” kata Untung Djoni, Manajer Operasional Associated Mission Aviation (AMA) menjelaskan.

Untuk rute sebaliknya, dari pedalaman ke Jayapura, misalnya, tak jarang AMA dan pesawat pengangkut barang lainnya membawa hasil bumi seperti kacang, kopi, buah merah yang sudah diolah dan disimpan dalam jeriken, kulit kayu yang bisa digunakan untuk bahan baku kosmetik, hingga babi.

Ongkos angkutnya beragam. Dari Jayapura ke Wamena, Jayawijaya, Papua, misalnya, Trigana mengenakan tarif Rp 5.500 per kilogram (kg). “Tarif itu tergantung jarak tempuh. Untuk wilayah pedalaman yang lebih jauh, tarifnya bisa mencapai Rp 18.000 per kg,” kata Bustomi.

Oleh karena itu, tidak perlu heran kalau harga semen di wilayah pedalaman Papua bisa mencapai Rp 1,4 juta per zak.

Bahan bakar

Meski sekilas penerbangan ke pedalaman itu dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat di sana, ternyata tidak jarang penerbangan terkendala bahan bakar. Sebagaimana dikemukakan Douglas Allrich, Program Manajer Mission Aviation Fellowship (MAF) Papua, belakangan ini pihaknya sering kesulitan mendapatkan avgas yang memadai. “Sekarang bahan bakar itu tak tersedia di sini (Jayapura) sehingga kami harus memesannya ke Surabaya (Jawa Timur). Jadi kalau bahan bakar itu habis, mau tak mau penerbangan pun tak dilangsungkan,” ujar dia, seraya mengatakan, beberapa pesawat terbang MAF memakai bahan bakar jenis itu.

Saat ini MAF melakukan penerbangan paling banyak dua kali sehari ke wilayah pedalaman Papua, mulai Senin-Jumat.

Keluhan senada dilontarkan pihak AMA dan Trigana. Menurut Untung dan Bustomi, mereka juga kini harus memesan avgas yang dibutuhkan langsung ke Surabaya. Tak jarang pula permintaan hanya dipenuhi sebagian, bahkan tidak sampai setengah dari yang dibutuhkan.

Ragam permasalahan di Papua demikian warna-warni, bak bukit-bukit yang mengitari wilayah daratan di sana. (FAN/NIC/GSA)

Artikel Lainnya