KOMPAS/ICHWAN SUSANTO

Meskipun Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, telah mengalami kemajuan dan pembangunan, masih banyak warga setempat yang tetap mempertahankan tradisi pakaian adat. Bahkan di pusat ibu kota Wamena, Senin (13/8), masih dijumpai pria berpakaian adat lengkap dengan koteka.

Liputan Kompas Nasional

Peradaban: Manusia Koteka Menanti Embun “Ipere”

·sekitar 3 menit baca

Ilok Elosa (57) tidak pernah merasa kesepian meski tak menikah dan tinggal di pegunungan di Desa Wosiala, Distrik Kurulu, 20 kilometer timur laut Wamena, Jayawijaya, Papua.

Lelaki suku Dani ini merasa dikelilingi banyak teman. “Embun dan ipere (ubi jalar) adalah kawan akrabku. Embun memberikan kesegaran, sedangkan ipere memberi tenaga,” katanya.

Sejak kecil hingga menjadi pemimpin kelompok klan Elosa, Ilok yang berkulit hitam dengan rambut keritingnya tetap mengenakan holim (koteka). Ia bertelanjang dada, tanpa alas kaki, dan kepalanya dihiasi aneka aksesori bulu-bulu burung. Sebagai kepala suku, holim yang dikenakan Ilok berukuran cukup besar dan panjang. Itu menandakan dirinya sebagai pria berwibawa dan terpandang di masyarakat. Ada sedikit ukiran di batang holim-nya. Tatapan mata Ilok pun tajam dan tegas.

Sehari-hari ia tinggal di honai, rumah bundar beratap ilalang, bersama puluhan warga sukunya dalam kompleks permukiman adatnya. Lelaki yang tidak tahu bahasa Indonesia itu belum pernah sekali pun menjejakkan kaki di kota Wamena, sekalipun dari Wamena-Kurulu telah tersedia angkutan umum dengan ongkos Rp 10.000 sekali jalan. Ia mengaku tidak mempunyai alasan apa pun untuk pergi ke kota. “Kami senang tinggal di sini, ini tempat tinggal kami,” katanya, melalui penerjemah.

Seperti kebanyakan masyarakat Pegunungan Tengah Papua, Ilok bersama warganya bertani secara tradisional. Mereka menanam ipere, tanaman utama, beserta aneka umbi-umbian lainnya. Sebagian warga menanam sayur-mayur dan buah, seperti sawi, kol, jeruk, dan buah merah. Sebagian warganya ada yang menjual hasil pertanian mereka ke kota pascapanen.

Cara dan pandangan hidup Ilok itu, menurut perkiraan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Jayawijaya, masih dilakukan 10.000-an anggota 322 suku lain di 39 distrik Jayawijaya. Mereka tinggal di kawasan pegunungan dan lembah-lembah kecil di Lembah Balim, sebutan kawasan pegunungan dan lembah di sekitar Wamena.

“Jumlahnya mungkin terus menurun karena sebagian sudah memilih untuk berpakaian seperti masyarakat Indonesia pada umumnya atau karena sudah meninggal. Namun, cara dan pandangan hidup mereka harus selalu dihargai. Mereka pelestari kebudayaan lokal Papua sepanjang zaman,” kata Kayo Huby, Ketua LMA Jayawijaya.

Kebijakan pemerintah

Tak dapat dimungkiri, jika dirunut jauh ke belakang, pengurangan jumlah pengguna holim itu terkait dengan kebijakan pemerintah di Papua, setidaknya hingga masa Orde Baru. Holim atau koteka dinilai sebagai salah satu bagian dari kemiskinan dan keterbelakangan. Koteka bukan pakaian. Pria yang mengenakan koteka dipandang sebagai pria telanjang, “tidak beradab”. Padahal, kata koteka berasal dari salah satu suku di Paniai, artinya pakaian.

Gubernur Frans Kaisiepo adalah gubernur yang paling awal menyosialisasikan apa yang disebutnya pakaian yang sehat, sopan, dan “bermartabat” di Papua. Setelah itu pada tahun 1964-1973 kampanye antikoteka digencarkan Gubernur Acub Zaenal, Soetran, Busiri Suryowinoto, dan Isaac Hindom. Berlanjut pada era Barnabas Suebu dan Yacob Pattipi (1993-1998), terutama di kawasan Pegunungan Tengah. Puluhan ton pakaian dijatuhkan di beberapa distrik dan kampung sebagai simbol “pembasmian” koteka.

Namun, seperti diceritakan Huby, hal itu tidak terlalu efektif karena seperti memaksa masyarakat untuk tercerabut dari akar budayanya begitu saja. Ketika itu, katanya, satu-dua potong pakaian yang dibagikan kepada masyarakat tidak bertahan lama. Pakaian tersebut dikenakan terus siang-malam dan tidak dicuci hingga koyak di badan. Belenggu kemiskinan serta ketiadaan infrastruktur jalan menuju ke pusat kota sebagai pusatnya sandang membuat akses warga memperoleh pakaian pengganti tidak mudah.

Saat ini sebagian besar penduduk pusat kota Wamena, misalnya, memang telah meninggalkan kulit labu sebagai “busana”. Meski demikian, masih ada saja manusia “berkoteka” di tengah kota Wamena.

Keunikan lain

Ada lagi keunikan lain di Wamena. Manakala terlihat lelaki ber-holim berjalan kaki dari kampung ke kota, yang bukan mustahil jarak perjalanannya puluhan kilometer, konon hal itu juga terkait kebijakan pemerintah masa lalu. Mereka yang berkoteka dilarang menggunakan angkutan umum.

Padahal, kata Huby, cara dan pandangan hidup masyarakat Papua di kawasan Pegunungan Tengah Papua yang tetap memegang teguh tradisi busana berkoteka atau holim sepatutnya tidak dipertentangkan.

Tidak keliru pandangan hidup Ilok Elosa bersama ribuan manusia koteka lain di pegunungan tengah Papua. Hal yang pahit dan ironis justru masalah lain. Ketika zaman terus berganti, mulai dari Orde Baru hingga era reformasi, otonomi daerah, dan otonomi khusus, nasib mereka tak berubah, tetap miskin dan terbelakang. Terasa makna ucapan Ilok Elosa dan manusia koteka lain atas kesegaran embun dan melimpahnya panenan ubi jalar itu.

Artikel Lainnya