Rasa miris langsung menyergap ketika tim Ekspedisi Tanah Papua Kompas 2007 memasuki kompleks Rumah Sakit Umum Daerah Wamena. Tidak terbayangkan bahwa tempat ini adalah satu-satunya rumah sakit rujukan di wilayah Pegunungan Tengah Papua.
Sungguh, tempat pelayanan kesehatan yang diresmikan oleh pemerintahan sementara PBB di Papua pada tahun 1960-an itu tidak lebih baik dari barak pengungsian. Puluhan pasien anak-anak dan dewasa tampak telantar di sejumlah bangsal. Tidak sedikit di antaranya ditempatkan di tempat tidur pasien yang hanya beralaskan tikar lusuh. Tak ada selimut yang menutupi tubuh mereka, termasuk di bangsal anak tempat sejumlah pasien bayi dirawat. Botol-botol infus yang seharusnya terpasang di tempatnya hanya digantung di sembarang tempat.
Tatapan mata para pasien kepada setiap orang di sekitarnya terasa kosong, seperti tiada harapan. Ketika waktu makan siang tiba, juga tidak ada perubahan suasana. Menu nasi, sayur daun ketela pohon, sepotong tempe, serta pisang sebagai penyegar mereka santap tanpa ekspresi.
“Sudah enam bulan saya di sini. Rindu keluarga, teman, dan kampung,” kata Albert Walela, pasien yang berasal dari Yahukimo, menjawab Kompas.
Kaki kanan bocah berusia 11 tahun itu patah setelah jatuh dari pohon. Sejak dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wamena, belum pernah sekali pun keluarganya menengok. Butuh minimal Rp 500.000 sekali jalan untuk satu orang menuju Wamena dari Yahukimo menggunakan pesawat udara. Jumlah uang sebanyak itu sepertinya mustahil diperoleh keluarga Albert yang hanya petani subsisten. Menempuh perjalanan darat pun tidak memungkinkan karena jalan yang ada saat ini belum dapat dilalui kendaraan bermotor.
Hari-hari Albert habis di atas tempat tidurnya. Sesekali ia memang keluar ke pintu lorong bangsalnya menggunakan kursi roda. Namun, hal tersebut tidak dapat mengurangi kerinduannya kepada ayah, ibu, dan kedua adiknya di kampung.
Keinginannya yang kuat untuk sembuh pun selalu patah di tengah jalan ketika menghadapi kenyataan tidak memadainya pengobatan yang diperolehnya. Baru beberapa pekan sebelumnya kakinya yang patah digips. Ia harus tinggal di rumah sakit hingga sembuh, dengan pertimbangan supaya kondisinya dapat selalu dikontrol.
Dengan melihat minimnya fasilitas peralatan yang dimiliki RSUD Wamena serta perawatan dan pelayanan terhadap pasien seperti Albert, tak perlu heran kalau banyak kasus penyebaran penyakit dan wabah di Jayawijaya yang mengakibatkan penderitanya meninggal dunia.
Tahun 1996, misalnya, kasus yang berkaitan dengan wabah babi di kawasan pedalaman Papua itu telah merenggut ratusan nyawa warga setempat. Pada tahun 2002 pun ada kasus diare yang merenggut nyawa puluhan anak. Terakhir, Maret 2006, kasus muntaber mengakibatkan korban tewas lebih dari 100 warga di Jayawijaya.
Masyarakat sepertinya semakin tidak berdaya dan kehilangan akal untuk mengadu dan menggugat kondisi ini. Mereka mengaku sudah kerap menyampaikan keluhan tentang kondisi RSUD Wamena ataupun pelayanan kesehatan secara umum di daerah itu baik ke Pemerintah Kabupaten Jayawijaya maupun melalui sejumlah media massa lokal, tetapi belum ada perubahan yang signifikan.
Kondisi RSUD Wamena dapat dikatakan tetap stagnan dari waktu ke waktu, minim fasilitas, tenaga medis, sekaligus obat-obatan. Masyarakat pun tetap kesulitan memperoleh layanan kesehatan yang memadai sekalipun di tiap distrik telah terdapat puskesmas dan puskesmas pembantu. Akar persoalannya sama, tingkat kesadaran warga tentang kesehatan masih rendah. Selain itu, sebagaimana dikemukakan Direktur RSUD Wamena dr Deri M Sihombing, dana sangat terbatas dan tak ada dokter spesialis. “Kami hanya mempunyai lima dokter umum, termasuk saya. Akibatnya, para dokter itu harus berbagi peran, antara menangani pasien di bangsal dan poliklinik. Tidak adanya dokter spesialis memang sangat menyulitkan diagnosa, sekaligus menjadikan kegamangan untuk melengkapi RS ini dengan peralatan modern karena tidak terpakai dan mahal perawatannya,” ujar Deri, seraya menjelaskan, ada 106 tempat tidur rawat inap di RS itu dengan pasien rawat jalan 80-100 orang per hari.
Biaya rutin
Anggaran operasional RSUD Wamena tahun ini mencapai Rp 18 miliar. Namun, diakui Deri, sebagian besar anggaran itu digunakan untuk biaya rutin, terutama membayar gaji karyawan yang jumlahnya 150 orang. Sisanya, untuk mencicil utang obat-obatan pada tahun anggaran sebelumnya dan memenuhi kebutuhan makan pasien.
“Angkutan udara mengakibatkan biaya pemenuhan konsumsi pasien tambah mahal ketimbang daerah lain di Papua. Dibandingkan dengan Kota Jayapura, misalnya, biaya pemenuhan konsumsi di Wamena dua kali lebih lebih mahal,” kata Deri.
Berkaitan dengan itu, Wakil Ketua DPRD Jayawijaya Saul Elopere menyatakan, pendapatan daerah yang sangat minim, Rp 5 miliar, berbanding terbalik dengan banyaknya hal yang harus dibenahi. Karena itu, lanjutnya, Pemerintah Kabupaten Jayawijaya kesulitan mengalokasikan anggaran.
“Meski demikian, proses pembenahan terus akan dilakukan dengan memaksimalkan penggunaan sekaligus pemantauan dana otonomi khusus. Kabupaten Jayawijaya mendapat jatah dana hingga Rp 64 miliar,” ujarnya.
Untuk menanggulangi ketimpangan jumlah dokter dengan warga, terutama dalam hal pemenuhan dokter spesialis, menurut Elopere, Pemerintah Kabupaten Wamena kini menjalin kerja sama dengan Universitas Hasanuddin Makassar. Namun, menurut Deri, program itu belum berjalan optimal terutama dilihat dari segi kesinambungannya.
Daerah pedalaman itu tampaknya memang belum mampu menarik minat dokter.
Pelayanan Kesehatan: Mereka Memilih Melahirkan di dalam Hutan
Tak mudah membayangkan apa yang akan dilakukan Mama Iyai jika nanti ia melahirkan. Rumahnya ada di Kampung Woge di Desa Ugaikagopa, sekitar empat jam jalan kaki dari Bomomani, di Distrik Mapia, Kabupaten Nabire. Hanya ada jalan setapak yang menghubungkan Woge dengan Bomomani, naik-turun gunung masuk-keluar hutan. Mama Wake yang tinggal di Bomomani mengatakan, umumnya perempuan di pedalaman masuk ke hutan jika waktu melahirkan tiba. Dengan dibantu tua-tua perempuan, mereka melahirkan di dalam kegelapan hutan.
Cara melahirkan semacam ini memang berkaitan pula dengan keyakinan mereka soal dilarangnya laki-laki (khususnya suami) melihat darah istri yang mengalir dari tubuh ketika melahirkan. Namun, kini masyarakat pedalaman Papua umumnya sudah mengenal pelayanan kesehatan di puskesmas. Kalaupun pilihan melahirkan di dalam hutan itu diambil, tentu lebih didasarkan pertimbangan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Seperti diungkapkan Ny Agustina Manggori, warga Bomomani, dia selalu ketakutan kalau anak-anaknya sakit. “Bagaimana tidak, alat di puskesmas minim, begitu pula obat-obatan. Jika anak saya sakit, untuk pertolongan pertama memang saya ke puskesmas atau ke mantri kesehatan. Biasanya saya lihat perkembangan, kalau dalam dua hari ke depan tak ada tanda-tanda kesembuhan, saya langsung membawa ke kota. Namun, ke kota kan biaya transportasinya sangat besar,” katanya setengah mengeluh.
Selain itu, memaksakan diri pergi ke puskesmas di Bomomani belum tentu akan memperoleh perawatan yang lebih baik. Ruang inap yang digunakan khusus untuk ibu setelah melahirkan tidak dilengkapi kasur, yang ada hanya dipan kayu. Bahkan, alat bantu melahirkan, partus set, seperti gunting dan jarum jahit, tidak tersedia.
Padahal, puskesmas di Bomomani merupakan puskesmas induk yang membawahi dua puskesmas, yaitu di Timepa dan Modio. Jarak kedua tempat pelayanan kesehatan masyarakat itu sekitar tujuh hingga delapan jam jalan kaki dari Bomomani.
Selain itu, warga yang akan memeriksakan kesehatan di puskesmas tersebut juga harus tabah sebab fasilitas yang dimiliki masih memprihatinkan. Dari pedalaman mereka harus berangkat pagi-pagi sekali agar dapat tiba di puskesmas yang berada di ibu kota distrik tersebut pukul 08.00 atau 09.00 WIT.
Sudah seperti itu pun, tak jarang harapan mereka berujung kekecewaan. Setelah jauh-jauh datang untuk berobat, mereka mengaku sering mendapat diagnosis yang kurang akurat sebab hanya dilakukan secara visual.
Minim fasilitas
Di puskesmas yang berjarak sekitar 185 kilometer dari Nabire itu, stetoskop tidak ada. Puskesmas itu juga tidak memiliki laboratorium untuk memeriksa dahak ataupun hemoglobin. Alat pengukur tekanan darah yang ada sudah rusak, sedangkan termometer tidak ada sama sekali.
“Kami hanya memeriksa kondisi pasien secara visual, lalu kami memberikan obat sesuai dengan keluhan pasien,” ujar perawat Puskesmas Bomamani, Salmon Holombo.
Tidak mengherankan jika imunisasi di kawasan pedalaman, seperti Distrik Mapia dan Kamu di Kabupaten Nabire, Papua, sampai saat ini amat jarang dilakukan. Imunisasi tak bisa rutin digelar. Selain vaksin begitu lama dikirim dari ibu kota kabupaten, di puskesmas setempat listrik pun belum masuk.
“Obat dari kota dikirim biasanya dua atau tiga bulan sekali. Begitu juga dengan vaksin untuk imunisasi,” kata bidan Puskesmas Bomamani, Fransiska Deba. Praktis imunisasi dilakukan jika kiriman vaksin tiba. Sebenarnya, imunisasi itu bisa rutin dilakukan apabila puskesmas memiliki ruangan atau tempat penyimpanan khusus untuk vaksin sehingga dapat disiapkan stok. Namun, itu pun tentunya memerlukan listrik.
Masalah lain yang dihadapi masyarakat pedalaman Papua adalah terbatasnya obat-obatan yang tersedia. Di puskesmas, umumnya hanya tersedia obat untuk penyakit malaria, diare, gangguan pernapasan, penurun panas, antibiotik, dan vitamin.
Menurut Holombo, kasus penyakit yang banyak ditangani Puskesmas Bomomani selain malaria adalah infeksi saluran pernapasan akut dan diare. Yang memprihatinkan, persediaan obat untuk itu terbatas. Bahkan, alkohol kadar 70 persen sering dicuri anak-anak muda untuk mabuk-mabukan.
Problem lain, dokter belum ada. Di Puskesmas Bomomani, saat ini hanya ada enam perawat, satu bidan, dan kepala puskesmas. Kepala Puskesmas Bomomani Leo Tebai pun lebih banyak berada di Nabire. Saat tim Ekspedisi Tanah Papua Kompas 2007 bertandang ke puskesmas itu pertengahan Agustus lalu, Leo Tebai sedang di kota.
“Kepala puskesmas sudah mengusulkan dua kali ke dinas kesehatan untuk segera ditempatkan dokter. Namun, sampai sekarang belum ada realisasi,” ujar Holombo.
Belum memenuhi standar
Secara terpisah, dokter Puskesmas Moanemani, Distrik Kamu, Saiful Rohman, mengungkapkan, peralatan yang dimiliki puskesmas yang jaraknya sekitar 200 kilometer dari Nabire itu belum memenuhi standar sebagaimana puskesmas di Jawa. “Obat-obatan cukup lengkap. Namun, di sini belum mempunyai alat sterilisasi otoclaf. Untuk kelas puskesmas, paling tidak harus ada alat sterilisasi. Karena itu, untuk mensterilkan peralatan, kami menggunakan kompor atau alkohol. Alat- alat itu kami rebus mendidih atau dicuci terlebih dahulu lalu dibakar dengan alkohol,” kata Saiful, dokter pegawai tidak tetap.
Ia juga mengatakan, penyakit yang kerap dialami masyarakat Moanemani selain malaria dan diare adalah tuberkulosis (TBC). “Saya memperkirakan pasien di sini paling banyak penderita TBC. Sebab, faktor pemicunya cukup besar, antara lain kurang gizi dan umumnya di dalam rumah warga terdapat tungku api untuk menghangatkan badan, sementara ventilasi tidak ada,” katanya.