KOMPAS/AGUS SUSANTO

Warga menunggu beras bulog yang akan didistribusikan di Dermaga Nusantara Paumako, Kabupaten Mimika, Papua, Senin (14/5). Angkutan sungai menjadi andalan warga yang hidup dan tinggal di kampung-kampung yang tersebar di jalur sungai di pesisir barat Papua.

Provinsi Papua Barat

Ketahanan Pangan Papua: Beras Mengalir, Sagu dan Ubi Tersingkir

·sekitar 5 menit baca

Sagu dan ubi-ubian bukan lagi makanan utama masyarakat Papua. Beras kini populer, bahkan hingga wilayah pedalaman. Jika tidak diantisipasi, ketahanan pangan bakal terancam. Terbentang tantangan bagi para pemangku kepentingan untuk menguatkan potensi pangan lokal Papua.

Antonius Purwanto dan Budiawan Sidik

Masyarakat di Tanah Papua—mencakup Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat—sedang mengalami proses perubahan, termasuk dalam makanan pokoknya. Makanan pokok mereka berupa sagu dan umbi-umbian perlahan-lahan tergantikan ke beras yang notabene bukan makanan asli Papua.

Ironisnya, konsumsi beras yang terus meningkat ini belum bisa tercukupi dari produksi petani setempat. Akibatnya, ketergantungan suplai beras dari daerah lain semakin besar.

Konsumsi beras di Provinsi Papua Barat dan Papua rata-rata mencapai 132.000 ton per tahun. Dari besaran itu, sekitar 74 persen merupakan beras yang didatangkan dari luar daerah atau luar negeri. Kemampuan pasokan petani lokal masih sangat kecil, yakni hanya 26 persen per tahun. Itu pun umumnya dihasilkan oleh para petani pendatang. Mereka sebagian besar warga transmigran di Kabupaten Manokwari, Sorong, Sorong Selatan, Nabire, dan Merauke.

Ketergantungan terhadap beras lebih besar terutama terjadi di Provinsi Papua Barat. Bahkan, di wilayah ini beras sudah menjadi makanan pokok bukan hanya di perkotaan, melainkan kini sudah masuk ke penduduk pedalaman. Buktinya dapat dilihat pada hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS).

Data tahun 2010 menunjukkan, asupan kalori penduduk Papua Barat mayoritas (46 persen) berasal dari biji-bijian yang di dalamnya termasuk beras. Sebaliknya, makanan lokal yang berasal dari umbi-umbian ternyata asupan kalorinya hanya 9,65 persen. Sementara itu kondisi di Provinsi Papua konsumsi beras dan makanan lokal hampir berimbang. Asupan kalori biji-bijian dan umbi-umbian antara 28 persen dan 29 persen.

Semakin meningkatnya ketergantungan ini tidak lepas dari beberapa sebab. Salah satunya adalah meningkatnya pendatang yang mencari rezeki di tanah ini. Bahkan, di Papua Barat proporsi penduduk pendatang sudah mencapai 47 persen. Besarannya hampir berimbang dengan penduduk asli. Selain itu juga berubahnya pola makanan penduduk asli Papua. Beras sudah menjadi makanan pokok sehari-hari warga asli, terutama di perkotaan.

Meningkatnya konsumsi beras bagi kedua provinsi ini bukanlah sesuatu yang salah. Apalagi beras memiliki kandungan kalori jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sagu ataupun umbi-umbian. Namun, fenomena ini akan menjadi masalah tatkala tidak disertai dengan penguatan pangan lokal. Bila hal ini sampai terjadi, ketahanan pangan tanah Papua menjadi genting. Bahkan, lingkaran kemiskinan akan terus berputar.

Kecenderungan ini sudah mulai terasa di wilayah Pegunungan Papua. Angka ketergantungan kalori terhadap beras sangat tinggi, yakni sudah mencapai 80-90 persen. Artinya, ketahanan pangan di Papua sangat mengkhawatirkan di masa mendatang karena konsumsi beras di tingkat rumah tangga bertambah besar, sedangkan konsumsi pangan lokal cenderung menurun (Kiloner Wenda, 2012).

Kondisi pangan lokal dan kerawanan pangan sangat erat hubungannya. Hal ini karena daya dukung agraris yang ada di Papua sangat minim. Baik infrastruktur penunjang pertanian seperti irigasi dan transportasi, kelembagaan pertanian, serta keterampilan mengolah lahan pertanian relatif masih belum berkembang. Belum lagi akses petani terhadap pasar masih banyak menghadapi kendala.

Jadi, tidak cukup hanya mengejar angka kecukupan gizi (AKG) sebesar 2.000 kilo kalori per hari lalu harus dengan beras. Jika mayoritas masyarakat sangat tergantung terhadap beras, potensi kerawanan pangan menjadi lebih besar terutama di daerah pedalaman. Mudahnya mendapat beras karena penjatahan beras miskin di pedalaman lambat laun dapat mengurangi hasrat masyarakat untuk mengolah lahan pertanian atau mengonsumsi pangan lokal. Bila suatu saat stok pangan lokal berkurang dan suplai beras tersendat bukan tidak mungkin akan memicu kelaparan di daerah pelosok.

Kembali ke lokal

Agar terhindar dari bahaya kelaparan di masa mendatang, Papua harus kembali mengembangkan makanan lokal. Saat ini, diversifikasi pangan sudah mulai dilakukan sebagian masyarakat Papua. Salah satu indikasinya belum pernah terjadi gejolak harga beras karena kelangkaan pasokan barang.

”Selama saya bertugas di sini hampir tiga tahun, indeks kenaikan harga beras belum pernah mendominasi kontribusi inflasi bulanan. Hal ini dapat berarti suplai beras di masyarakat cukup atau masyarakat juga mengusahakan makanan pokok lain selain beras,” kata Tanda Sirait, Kepala BPS Provinsi Papua Barat.

Indikasi ini tentu menggembirakan bagi ketahanan pangan. Namun, hal itu masih sebatas dugaan yang dapat berarti sebaliknya. Bisa jadi, masyarakat sudah sangat nyaman dengan konsumsi dan suplai beras dari daerah lain. Kucuran beras untuk masyarakat miskin yang harganya sangat terjangkau meskipun jauh di daerah pedalaman, sangat membantu mereka. Akibatnya, harga tidak lagi menjadi persoalan selama suplainya lancar. Ini merupakan ujian besar bagi pengembangan pangan lokal.

Potensi untuk meningkatkan pangan lokal sebenarnya ada. Menurut Jurnal Litbang Pertanian (2003), luas hutan sagu di Papua mencapai 980.000 hektar, sedangkan kebun sagu yang sudah dikelola masyarakat mencapai 14.000 hektar. Bahkan, angkanya kemungkinan lebih besar seperti yang ditunjukkan oleh hasil penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Umbi dan Sagu Universitas Negeri Papua (Unipa), Manokwari.

”Survei di Kabupaten Sorong Selatan menunjukkan, dalam satu hektar hutan sagu rata-rata terdapat 40 pohon sagu yang produktif. Satu pohon sagu paling sedikit menghasilkan 100 kilogram. Jadi, kalikan saja potensi luasan lahan dengan hasil produksinya,” tutur Rochani, dosen Fakultas Ekonomi Unipa yang turut serta dalam penelitian sagu.

Apabila mengacu pada penelitian Unipa, setidaknya produksi sagu di Papua bisa mencapai lebih dari 3,9 juta ton dari total area hutan dan kebun sagu. Angka sebesar itu sangat berlimpah untuk penguatan pangan lokal, setidaknya untuk selang-seling dengan makanan pokok lain. Namun, kenyataannya produksi sagu kini tidak lebih dari 1 persen dari total potensinya.

Jalan menuju budidaya sagu sebenarnya juga sudah terintis oleh pihak swasta. Buktinya, ada investor dari luar daerah sedang membangun pabrik sagu skala besar satu-satunya di Papua. ”Nanti pada bulan Agustus 2012 akan beroperasi pabrik Sagu PT Austrindo Nusantara Jaya di Kabupaten Sorong Selatan. Luasan area usaha sagu sekitar 40.000 hektar,” terang Runaweri F Hendrik, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Papua Barat.

Sagu dapat dipanen setelah berumur 8-12 tahun. Tanaman ini hanya cukup ditanam sekali. Setelah 12 tahun pun dapat dipanen terus-menerus, tanpa perlu membuka lahan baru. Perawatannya pun sederhana, tanpa perlu pupuk dan pestisida lazimnya budidaya pertanian modern.

Lain sagu, lain ubi jalar. Meskipun tidak seterpuruk sagu, ubi jalar (Ipomoea batatas) yang merupakan makanan pokok asli Papua pun terancam menurun produksinya. Kondisinya menurun terutama di daerah yang jumlah warga pendatangnya lebih banyak. Di Provinsi Papua Barat yang persentase warga perantaunya hampir 50 persen, produksi ubi jalar rata-rata menurun 2.700 ton per tahun.

Berbeda dengan Provinsi Papua, produksi ubi manis di Papua Barat rata-rata masih naik sekitar 14.600 ton setahun. Meski demikian, naiknya produksi tersebut bukanlah prestasi karena di saat bersamaan kebutuhan konsumsi beras juga meningkat tajam yang mencapai 43 persen per tahun. Artinya, naiknya produksi ubi jalar tidak mereduksi laju konsumsi beras di masyarakat.

Inilah pekerjaan rumah pemerintah. Pemerintah perlu turun tangan membenahi pangan lokal ini. Jika tidak, sagu dan ubi akan ditinggalkan. Dan, makanan pokok penduduk Papua bukan lagi sagu, melainkan beras. (Litbang Kompas)

Survei di Kabupaten Sorong Selatan menunjukkan, dalam satu hektar hutan sagu rata-rata terdapat 40 pohon sagu yang produktif.

Artikel Lainnya