Berdiri di atas perahu, Yance Henawi menunjuk ke arah laut seraya berteriak, “Itu dia, gurano bintang”. Dari dalam air biru gelap, tiga ekor ikan sebesar mobil muncul ke permukaan. Mulut mereka menganga lebar, mencari mangsa di bawah bagan nelayan.
“Dshh. Dshh,” bunyi percikan air yang dihasilkan gerakan manja dari kepala gurano. Dengan gigi ompongnya, mereka mengisap jaring-jaring yang berada di bawah bagan. Tutul putih di sepanjang tubuh sekitar 5-7 meter itu menambah keindahannya.
“Itu gurano sedang mencari makan ikan puri (teri). Setiap hari mereka selalu datang ke permukaan untuk cari makan. Di sini unik, mereka makan ikan puri, bukan plankton,” kata Yance, warga Kampung Kwatisore, di Teluk Cenderawasih, Nabire, Papua, April 2021 silam.
Gurano bintang, begitu warga sekitar memanggil Hiu Paus. Gurano berarti sesuatu yang berasal dari timur, sementara bintang menggambarkan identitas tutul-tutul di tubuhnya.
Kedatangan ikan bernama latin Rhincodon typus ini meramaikan suasana bagan sore itu. Dari arah langit, belasan burung camar terbang tak beraturan kemudian menukik dari ketinggian ke permukaan laut. Mereka berlomba dengan gurano memburu ikan kecil.
Baca juga : Daya Magis Danau Tertinggi
Yance mulai tak tenang. Dia terbangun dari duduknya, lalu mulai mengajak para wisatawan turun ke laut agar dapat bercengkerama dengan hiu paus.
Pria bertubuh gempal ini lalu menyeburkan diri ke laut dengan peralatan snorkeling. Dia mendekati tiga gurano yang sibuk mencari ikan puri. Mereka pun berenang beriringan.
Senyum lebar Yance terpancar. Tidak ada raut takut atau tegang dalam wajahnya. Padahal, menurut mitos warga Kwatisore, ikan ini pernah dijuluki sebagai setan laut. Gurano dianggap para sesepuh sebagai ikan sial, pembawa kutukan di laut Teluk Cenderawasih.
“Kalau ketemu gurano saat melaut, orang tua kami pasti pulang. Hal itu dipercaya firasat buruk, bisa terjadi apa-apa saat melaut,” ucap Yance.
Ekowisata
Tetapi, kisah menakutkan gurano sudah berakhir. Sejak ekowisata dikembangkan di Kampung Kwatisore dan sekitarnya, hiu paus menjadi kebanggaan warga Kwatisore yang berada di kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih. Ikan ini sekarang dicari-cari oleh pengunjung yang datang. Mereka ingin melihat langsung dan mengambil foto.
“Sekarang saya dan warga bersyukur karena ada gurano. Mereka memberi rezeki untuk kami,”
“Mereka jinak dengan manusia, tidak seperti namanya yang ada hiu. Sekarang saya dan warga bersyukur karena ada gurano. Mereka memberi rezeki untuk kami,” ucap Yance.
Taman Nasional Teluk Cenderawasih, yang terletak di Kabupaten Nabire, Papua dan Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, merupakan salah satu area konservasi hiu paus di dunia. Salah satu spesies ikan terbesar ini selalu hadir sepanjang tahun di perairan Teluk Cenderawasih.
Ikan yang tumbuh sampai 20 meter ini mampir ke bagan nelayan untuk mencari ikan puri. Biasanya, bisa tujuh ekor gurano yang datang ke salah satu bagan, di antara puluhan bagan di kawasan ini.
Tercatat ada 182 ekor gurano di perairan Teluk Cenderawasih. Jumlah itu berhasil diidentifikasi lewat pendataan di tubuh mereka.
Ketika Yance sibuk bermain dengan gurano, muncul pria gemuk bertelanjang dada dari atas bagan. Suherman, pria itu, memanggil salah satu anak buahnya, “Tambah lagi ikan purinya buat gurano. Biar naik (muncul) lagi.” kata Suherman.
Suherman dan pemilik bagan lain, merupakan sosok penting dalam menjaga keberadaan gurano. Seperti pagi itu, dia memberikan dua kotak atau 8 kilogram ikan puri kepada gurano yang datang ke bagan.
Nelayan asal Makassar, Sulawesi Selatan, ini mengakui, hal itu demi membalas kebaikan gurano. “Tahun-tahun kemarin dia kasih kita rezeki juga. Begitu turis datang bisa dapat kita Rp 15 juta dalam sebulan (sebelum pandemi). Jadi saat lagi pandemi kita tetap kasih makan walaupun sedikit turis,” tutur Suherman.
Ekowisata hiu paus mulai bergeliat pada 2008. Semua bermula dari sosok pria yang hobi menyelam, Abraham Maruanaya. Dia awalnya mengantarkan tamu mancanegara untuk melihat hiu paus di Teluk Cenderawasih.
Kemudian, para tamu itu menyarankan untuk membuat kegiatan ekowisata, agar warga sekitar bersinggungan dengan hiu paus. Warga lokal bisa mendapat manfaat dari hiu paus, lalu turut berkontribusi menjaga mereka.
Bram mendengarkan saran itu. Tak lama berselang, dia membangun pondok di salah satu pulau untuk tempat menginap para tamu.
Baca juga : Jalan Terjal Pangan Lokal
Saat ini, pondoknya sudah menjadi resor dengan lima kamar, bernama Kali Lemon. Resor ini memberdayakan warga Kampung Kwatisore. Yance merupakan salah satu pemandu wisata yang bekerja untuknya.
“Sejak itu saya mengajari mereka (warga) untuk terlibat dalam konservasi, agar mereka punya tambahan pendapatan dari kekayaan alam yang dimiliki,” ujar Bram.
Bram bercerita, tidak mudah mengajarkan warga sekitar tentang konservasi. Warga sering abai dengan kekayaan alam yang dimiliki. Mereka dulunya sering mengambil biota dilindungi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dia mengingat kejadian unik warga ketika awal kedatangannya. “Dulu ada warga memburu hiu paus. Dia sudah berhasil mendapatkannya. Tetapi, setelah itu dia kebingungan mau dijual kemana, mau diapakan hasilnya. Akhirnya tidak jadi apa-apa,” kata Bram.
Mendatangkan manfaat
Menurut Bram, para warga akhirnya menyadari menjaga hiu paus lebih banyak mendatangkan manfaat, sementara perburuan hanya demi untung sesaat. Mereka merasakan rezeki berlimpah selama satu dekade terakhir.
Dari Kali Lemon saja, sudah ada sembilan sarjana yang lulus berkat bantuan dana untuk studi akhir. Beberapa dari sarjana itu kemudian kembali ke kampung untuk mengajar anak-anak di sekolah.
Tak ayal, warga Kwatisore sekarang sangat bergantung dengan hiu paus. Selain beberapa warga bekerja di Resor Kali Lemon, turis juga kerap datang ke kampung untuk melihat lebih dekat aktivitas warga.
Salah satu kader konservasi dari Kwatisore, Soleman Hamberi, berkata, warga mulai sadar akan potensi ekowisata setelah kedatangan banyak turis. Mereka menyediakan berbagai kegiatan untuk tamu. Mulai dari melihat ukiran, tarian, dan aksi kesenian bambu. Ketika pulang, tamu juga bisa membeli cinderamata yang dibuat warga.
Oleh karena itu, sekarang mereka sangat menjaga hiu paus serta ekosistem Teluk Cenderawasih. “Kalau wisatawan banyak, (warga) dapat untungnya banyak,” kata Soleman.
Dengan keanekaragaman hayati yang melimpah, kreativitas adalah kunci untuk meraup rezeki. Hal itu dibuktikan Martinus Hamberi, perajin ukiran di Kwatisore. Dia bersama sang istri membuat berbagai macam cinderamata, mulai dari miniatur hiu paus sampai dayung dengan ukiran bercorak gurano. Cincderamata tersebut dijual dari Rp 20.000 sampai Rp 200.000 per buah.
“Dulu penghasilan dari nelayan tidak sampai Rp 500.000 dalam sebulan. Karena itu sangat bermanfaat (ekowisata). Kami sudah menganggap gurano sebagai teman hidup sekarang,”
Mantan nelayan ini bisa menghasilkan tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Sebulan dia bisa mendapatkan Rp 5 juta dari penjualan aksesoris tersebut.
“Dulu penghasilan dari nelayan tidak sampai Rp 500.000 dalam sebulan. Karena itu sangat bermanfaat (ekowisata). Kami sudah menganggap gurano sebagai teman hidup sekarang,” tutur Martinus.
Pesona hiu paus ini sangat menggoda bagi banyak wisatawan. Seperti Marlince Kayamae, turis lokal asal Jayapura, ibu kota Papua. Dia ingin sekali melihat gurano sejak lama. Namun, baru sempat kali ini.
“Saya baru pertama melihat hiu paus, rasanya senang sekali. Saya hanya lihat dari teman kasih naik di Instagram dan Facebook. Tempat ini sangat indah. Harapannya bisa terus dijaga,” ucap Marlince.
Teluk Cenderawasih bukan hanya gurano. Di dalamnya terdapat ekosistem yang berlimpah kekayaan hayati. Selain gurano, ada ikan duyung, berbagai jenis hiu, penyu, serta terumbu karang. Semua itu dijaga bersama-sama oleh warga.
Berkah gurano bintang di Teluk Cenderawasih hanya salah satu bukti konservasi bisa memberikan keuntungan yang berkesinambungan. Ada secercah harapan menjaga kekayaan alam berlimpah di Tanah Air. Kekayaan yang sekarang semakin tergerus oleh keserakahan manusia. (Kelvin Hianusa/Fabio Maria Lopes Costa)