Terlena dan terlupa, membuat kami harus mengalami peristiwa menegangkan.Ini gara-gara kami kurang memperhatikan pesan agar berhati-hati ketika hendak memotret warga setempat.
Pada 12 November 2021, tepatnya pukul 06.00, kami bertolak dari penginapan tempat kami menginap di dekat Bandara Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Kami akan menuju ke Taman Nasional Lorentz. Kami mau bermalam di Danau Habema, danau tertinggi di Indonesia dengan ketinggian 3.200 meter di atas permukaan laut.
Perjalanan kali ini merupakan bagian dari Ekspedisi Tanah Papua segmen Jayawijaya-Lorentz. Ekspedisi Tanah Papua 2021 adalah perjalanan untuk melihat lebih dekat relasi antara masyarakat asli Papua dan alamnya, baik hutan maupun lautan, yang telah menghidupi mereka turun temurun. Kami yang terlibat dalam liputan ini, yakni Harry Susilo, Ichwan Susanto, Saiful Rijal Yunus, Stefanus Ato, Rian Septiandi, dan Bahana Patria Gupta.
Satu hari sebelumnya, kami bertemu Kepala Balai Taman Nasional Lorentz Acha Anis Sokoy. Dalam pertemuan itu, dia menjelaskan cukup detail terkait kekayaan hayati di Taman Nasional Lorentz. Pada saat kunjungan ke Balai TN Lorentz ini juga kami sempat diwanti-wanti agar berhati-hati ketika hendak memotret warga setempat.
Perjalanan kami di pagi hari itu mengunakan mobil yang kami sewa dari salah satu warga setempat. Setelah hampir 20 menit berputar dan mencari bahan logistik yang masih kurang, kami akhirnya keluar dari Kota Wamena. Di awal perjalanan, kami lebih banyak menikmati suguhan pemandangan hutan yang membentang luas. Sesekali kami bertemu atau menyaksikan sekilas aktivitas masyarakat di pinggir jalan.
Jalan yang kami lalui menuju ke Taman Nasional Lorentz itu merupakan jalan segmen V Provinsi Papua yang dikerjakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Jalan yang memiliki total panjang kurang lebih 176 kilometer ini menghubungkan Wamena, Danau Habema (di Kawasan Taman Nasional Lorentz), dan Kenyam (Ibu Kota Kabupaten Nduga).
Perjalanan melintasi Jalan Trans Papua itu awalnya menyenangkan. Kami terkesima dengan hutan belantara hingga gugusan pegunungan yang masih tertutup kabut. Menakjubkan.
Lorentz terletak di jantung Tanah Papua dengan kekayaan hayati yang tak terukur nilainya. Memiliki luas 2,34 juta hektar atau 35 kali luas Jakarta, Lorentz merupakan kawasan konservasi terluas se-Indonesia dan memiliki ekosistem terlengkap di kawasan Asia Pasifik.
Kawasan ini terbentang mulai dari ekosistem perairan laut dan pesisir, hutan rawa air tawar, hutan dataran rendah, sub-Alpine, hingga ekosistem pegunungan bersalju dengan titik tertinggi puncak Carstenz Pyramid, yakni 4.884 meter di atas permukaan laut.
Salah satu daya tarik utama kawasan Lorentz adalah Danau Habema yang terletak di ketinggian 3.200 meter di atas permukaan laut. Danau yang terletak di zona Sub-Alpine ini memegang predikat danau tertinggi di Indonesia.
Kawasan ini terbentang mulai dari ekosistem perairan laut dan pesisir, hutan rawa air tawar, hutan dataran rendah, sub-Alpine, hingga ekosistem pegunungan bersalju dengan titik tertinggi puncak Carstenz Pyramid, yakni 4.884 meter di atas permukaan laut.
Gambaran keragaman hayati dan kekayaan alam Lorentz tentu kian membuat penasaran. Tak sabar untuk segera tiba di salah satu ikon Lorentz, yakni Danau Habema.
Perjalanan menuju Habema didominasi dengan jalanan mulus beraspal yang didominasi tanjakan curam dan berkelok. Sopir yang mengendarai kendaraan sering kali harus memperlambat kendaraan di tanjakan, perlahan mundur, dan kemudian menarik tuas gas agar mobil mampu menaklukan tanjakan curam tersebut.
Bertemu pembalak
Jalan yang berkelok dan didominasi tanjakan tajam secara perlahan mampu kami taklukan. Kami pun kemudian menghentikan kendaraan di tepi jalan saat sudah berada dalam kawasan Taman Nasional Lorentz, tepatnya di ketinggian 2.490 meter di atas permukaan laut. Saat itu, ada dua mobil berwarna hitam yang terparkir di pinggir jalan tersebut. Kendaraan itu merupakan kendaraan milik Polisi Hutan Balai Taman Nasional Lorentz.
Pimpinan Ekspedisi Harry Susilo atau yang akrab disapa Mas Ilo meminta kami untuk turun dari mobil. Dia meminta kami berhati-hati dan waspada.
Di situ kami menemukan jejak jalan setapak yang berulang kali dilintasi manusia dan kondisi hutan yang sudah gundul. Hutan yang ditebang itu cukup luas dan terdapat jejak kerusakan di mana.
Hutan yang rusak di taman nasional akibat penebangan liar tentu bakal menjadi tulisan yang menarik. Kami sibuk mengabadikan dan mencatat detail-detail kondisi yang memprihatinkan tersebut.
Tak berselang lama atau sekitar 30 menit kemudian, Ishak dan salah satu rekannya yang merupakan anggota polisi hutan (polhut) Balai Taman Nasional Lorentz menyelesaikan patroli dan kembali ke tempat kami. Ishak lbercerita kalau hutan yang sudah gundul itu jaraknya cukup jauh, sampai 10 kilometer.
“Ini ditebang oleh warga sekitar. Kami tidak bisa buat apa-apa. Ini hutan adat mereka,” katanya.
Pohon yang ditebang itu sebagian besar merupakan kayu sage atau Nothofagus sp. Kayu sage merupakan kayu purba yang tumbuh di ketinggian kisaran 2.000-3.500 meter di atas permukaan laut. Tanaman ini bersama dua jenis tanaman purba lain, yakni pakis purba atau Chyathea acrox dan phyllocladus atau disebut juga kayu china hanya ada di pegunungan tengah Papua, Papua Niugini, dan Australia. Jenis tanaman ini dikategorikan purba karena pernah ada di masa superbenua Gondwana yang terbentuk pada era Neoproterozoikum, sekitar 550 juta tahun lalu.
Cerita memprihatinkan Ishak tak berhenti di situ. Sepanjang perjalanan kami selepas titik pertama itu, kami menemukan setidaknya 11 lokasi tumpukan kayu balok dan papan yang tersusun di sepanjang jalan Trans Papua. Di beberapa titik bahkan tampak tenda terpal biru dan terlihat orang mondar-mandir memikul kayu.
Setelah sekitar lima kilometer melintasi jalan Trans Papua di ketinggian 2.000-3000 meter di atas permukaan laut, kami bertemu dengan sosok lelaki tua yang muncul di tepi jalan menenteng teko berisi air putih. Iringan mobil kami yang membuntuti mobil patroli polisi kehutanan itu menepi.
Beberapa petugas menghampiri lelaki tua itu dan mengobrol. Ini kesempatan langka untuk mendengar langsung cerita warga yang menebang pohon di kawasan koservasi itu. Kami bergegas turun dari mobil dan mendekat.
Saat itu, gergaji mesin dari jarak sekitar 500 meter dari tempat lelaki tua itu masih terus meraung. Dari obrolan yang kami simak, salah satu petugas kehutanan dengan santun mengajak lelaki bernama Yanus itu untuk terlebih dahulu mematikan chainsaw (gergaji mesin). Petugas berupaya bersikap komunikatif dan persuasif.
Petugas hanya meminta lelaki tua itu untuk bersama-sama menjaga hutan. “Ini bapak punya hutan. Kami hanya membantu bapak untuk sama-sama jaga bapak punya hutan. Kalau hutan di sini habis, nanti bapak punya anak dan cucu bagaimana,” kata salah satu polhut taman nasional.
Momen obrolan itu tak lupa kami dokumentasikan baik melalui rekaman video dan foto. Kami juga sesekali menyisipkan pertanyaan di sela interogasi petugas.
Tak lama kemudian, dari arah ketinggian sekitar lima meter di tepi jalan Trans Papua yang curam, kembali muncul sosok lelaki lain yang sedang bersusah payah mendorong kayu balok hasil penebangan itu ke tepi jalan. Suara gesekan antar kayu yang dibuatnya membuat kami mengalihkan perhatian ke arah lelaki yang muncul belakangan itu.
Rian Septiandi dan Bahana Patria Gupta yang saat itu memegang kamera dan bertugas mendokumentasikan liputan perjalanan kami secara spontan fokus mengarahkan kamera ke arah lelaki yang sedang bersusah payah mendorong potongan kayu ke tepi jalan. Mereka terus mengabadikan setiap gerakan dari lelaki itu.
“Woi, buat apa foto-foto,” kata lelaki yang jadi sasaran bidikan kamera itu sembari mengacungi parang. Kami terkejut. Masing-masing dari kami termasuk para polhut mempercepat langkah kaki kembali ke mobil.
Lelaki yang mengacungi sebilah parang itu terlihat sangat marah. Dia kian beringas dan sekuat tenaga mendorong kayu dari ketinggian lima meter itu sambil terus berteriak. Tidak begitu jelas apa yang dia ucapkan karena saat itu kami mulai panik.
Mobil kami kemudian bergerak meninggalkan lokasi itu menuju tujuan akhir dari perjalanan kami di Danau Habema. Kepala Balai Taman Nasional Lorentz Acha Anis Sokoy yang tiba sekitar satu jam kemudian di Danau Habema, kemudian mengatakan kejadian tadi tidak seberapa.
“Itu hanya peringatan kecil. Belum merasakan kalau dikejar dengan parang, kan,” kata Acha bercanda.
Kami memang sedikit terlena dan lupa. Satu hari sebelum berangkat, tim dari Balai Taman Nasional Lorentz sebenarnya sudah mengingatkan agar kami berhati-hari ketika akan memotret. Warga setempat disebut sensitif jika dipotret tanpa persetujuan.
Terlepas dari peristiwa yang menegangkan itu, kami kembali dari Taman Nasional Lorentz dengan harapan alam Papua tetap terjaga. Mendapat kesempatan untuk menjejakkan kaki kawasan yang terdapat danau tertinggi di Indonesia itu bisa jadi tidak akan terulang lagi. Keanekaragaman hayati di sana sudah sepatutnya dijaga demi keberlangsungan kehidupan anak dan cucu masyarakat Papua. (Stefanus Ato/Saiful Rijal Yunus)