Air laut di Dermaga Teluk Youtefa, Kota Jayapura, Papua, siang tampak keruh kecoklatan. Sampah plastik seperti bekas kemasan air dan minuman keras memenuhi tepian dermaga. Bau comberan yang menguar melengkapi pemandangan miris pada siang hari di awal Desember 2021.
Di tepi dermaga, seorang siswa SMA sedang memutar sampannya. Dia ingin pulang ke rumahnya di Kampung Enggros, yang berada di tengah laut Teluk Youtefa.
Sebelum tahun 2000-an, nelayan Kampung Enggros Rudi Iwo (58) menyebut air laut di sekitar Teluk Youtefa, termasuk di dermaga, masih jernih. Dari atas sampan, Rudi masih bisa melihat ikan-ikan sebesar lengan orang dewasa.
Ketika itu, tangkapan ikan nelayan masih sangat banyak. Hanya dengan berkeliling di sekitar teluk, kata Rudi, jumlah tangkapan ikan bisa membuat sampannya tenggelam. “Itu kalau dapat ikan tenggiri sampai 100 ekor saja, sampan sudah mau turun (karam) itu,” kenangnya.
Potensi masyarakat pesisir terdampak tsunami lebih rawan karena hutan mangrove sebagai benteng perlindungan yang pertama telah hilang.
Belasan tahun berlalu, hasil tangkapan ikan para nelayan makin berkurang. Pembangunan jalan dan jembatan di sekitar kawasan membuat tutupan hutan mangrove berkurang. Jumlah ikan pun kian susut.
Di bagan milik Rudi, setelah semalaman menebar jaring terkadang hanya menghasilkan seember ikan puri atau teri. Dulu saat lingkungan di sekitar teluk masih terjaga, ayah tiga anak ini bisa mendapat hingga sepuluh ember ikan teri.
“Dulu, bahan (logistik untuk melaut seperti bensin) kurang tapi ikan banyak. Tetapi sekarang bahan banyak, ikan sedikit,” tuturnya.
Karena itulah, Rudi kini tidak lagi mengandalkan penghidupan dari profesi nelayan. Di akhir pekan, dia menjadi pengojek laut bagi wisatawan di Pantai C’berry, lokasi wisata di Teluk Youtefa. Bila beruntung, dia bisa mendapat dua atau tiga wisatawan. Adapun tarif berperahu keliling Kampung Enggros sekitar Rp 300.000 per rit.
Kondisi serupa dirasakan Yosias Hababuk, nelayan dari Kampung Enggros yang berada dalam kawasan Teluk Youtefa. Saat ditemui pada waktu yang bersamaan, pria berusia 43 tahun ini tampak memeriksa jaringnya pada pukul 13.20 WIT.
Di bawah terik matahari yang menyengat, Yosias hanya menemukan 30 ekor ikan di jaring setelah melaut selama dua jam di sekitar Perairan Teluk Youtefa. Sesekali ia menemukan sampah plastik yang tersangkut di jaringnya.
Biasanya Yosial menjual ikan hasil tangkapannya ke sejumlah pelanggan yang juga pemilik warung makan di daerah Distrik Jayapura Selatan dan Pasar Hamadi.
Sekarang lebih banyak menemukan sampah di Teluk Youtefa daripada ikan. Kondisi ini sangat berbeda ketika saya melaut di perairan ini 10 tahun yang lalu. Saya bisa mendapatkan ratusan ekor ikan setiap kali melaut,” ungkap ayah dua anak ini.
Berdasarkan data Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Jayapura, total sampah per hari di Kota Jayapura mencapai 253 ton. Namun, hanya 215 ton sampah yang tertangani.
”Sampah yang tidak tertangani berada di saluran drainase, sungai, hingga perairan (laut) Jayapura. Hal ini disebabkan masih minimnya kesadaran warga untuk membuang sampah pada tempatnya,” ungkap Kepala Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Jayapura Agustinus Ondi.
Berdampak besar
Saat ini perairan Teluk Youtefa berstatus taman wisata alam yang dikelola Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua, sedangkan mangrove di kawasan itu berstatus hutan lindung di bawah kewenangan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Papua. Terdapat tiga kampung adat di kawasan itu, yakni Tobati, Enggros, dan Nafri.
Menurut mantan Kepala Kampung Enggros Orgenes Merauje, dampak pembangunan infrastruktur di Teluk Youtefa bagaikan dua sisi mata uang. Pembangunan Jembatan Merah Youtefa dan Jalan Ring Road Jayapura memungkinkan warga Kampung Enggros turut bergerak di sektor wisata. Aktivitas ini sudah dimulai sejak 2015.
Pendapatan dari sektor wisata sangat menjanjikan. Pengelola tempat wisata Hecnuk Beach yang berada di dekat Jembatan Merah Teluk Youtefa ini mengaku bisa mendapat Rp 12 juta per hari saat wisatawan ramai.
Uang itu antara lain dihasilkan dari penyewaan pondok. Dia memiliki 14 pondok. Setiap pondok disewakan seharga Rp 300.000. Itu baru dari pendapatan sewa pondok, belum lagi hasil menjual makanan dan minuman serta tarif toilet yang mencapai Rp 10.000 per orang.
Di sisi lain, katanya, adanya Jembatan Merah turut memperlancar akses warga Kampung Enggros. Anak-anak yang ingin sekolah atau kuliah tidak harus indekos di dekat Kota Jayapura. Mereka bisa berangkat dari kampungnya.
Kendati demikian, ada harga yang harus dibayar demi kemajuan ini. Jalan Ringroad Jayapura yang berada di depan Hecnuk Beach, contohnya, dibangun dengan membabat hutan mangrove. Dengan panjang jalan 9.000 meter serta lebar 23 meter, ada sekitar 20 hektare mangrove di Kampung Enggros yang hilang. “Padahal, mangrove itu bagi kami seperti mal. Di sana ikan dan udang bertelur,” ujarnya.
Tidak hanya itu, hadirnya jalan turut mengganggu salah satu lokasi keramat di tempat itu, yakni hutan perempuan. Dulu, di hutan khusus perempuan ini para mama di Kampung Enggros dan Tobati mencari kerang tanpa menggunakan pakaian.
Kini, lalu-lalang kendaraan di jalan dekat hutan membuat para mama tak berani lagi mencari kerang tanpa sehelai benang. Khawatir ada yang mengintip. Mereka pun masuk air dengan pakaian lengkap. Di sisi lain, hutan perempuan pun mulai tercemar. Bukannya mendapat kerang, mereka malah sering menjumpai sampah plastik di hutan itu.
“Kini kami tidak sering memasuki hutan itu. Karena banyak sampah dan pecahan beling botol yang menumpuk di kawasan itu. Para mama di sini sudah pernah membersihkan hutan perempuan. Namun sampah kembali menumpuk di hutan keesokan harinya,” ungkap Persila Sanyi, tokoh perempuan di Enggros.
Ketua Pusat Studi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Universitas Cenderawasih Jayapura, Yunus P Paulangan mengungkapkan, terdapat tiga masalah lingkungan serius di kawasan Teluk Youtefa. Pertama, terjadinya pencemaran berupa limbah padat, cair, serta logam berat. Temuan berupa berupa sampah, limbah rumah tangga, limbah dari bengkel serta rumah sakit.
Temuan limbah ini masuk ke dalam tubuh ikan, kerang serta sejumlah biota laut jenis makrobentos seperti teripang dan kepiting. Padahal, biota laut ini menjadi incaran para nelayan setempat karena bernilai ekonomis.
“Dari hasil temuan rekan kami di Fakultas Kesehatan Masyarakat Uncen pada tahun 2017, ditemukan kandungan timbal dalam ikan dan kerang telah mencapai 0,08 miligram per liter. Hasil ini telah melebihi ambang batas 0,025 miligram per liter dan sangat membahayakan kesehatan manusia yang mengonsumsi biota laut yang terpapar timbal,” ungkap Yunus.
Masalah kedua terjadi sedimentasi akibat pembangunan lahan secara masif di kawasan hutan penyangga Cycloop. Saat terjadi hujan deras, sedimen memasuki daerah aliran sungai yang bermuara di Teluk Youtefa. Misalnya daerah aliran Sungai Anafre sepanjang 3,63 kilometer.
Masalah terakhir degradasi hutan mangrove secara masif di Teluk Youtefa. Terjadi pembukaan hutan mangrove 50 persen lebih dari total luasan 514,24 hektar. Hasil penelitian Baigo Hamuna, dosen Universitas Cenderawasih, menunjukkan luas hutan mangrove di Teluk Youtefa hingga tahun 2018 tersisa 233,12 hektar. Sementara dari hasil penelitian Yunus pada tahun 2007, ada perubahan kerapatan hutan mangrove dari rapat menjadi jarang.
Adapun pembukaan hutan mangrove di Teluk Youtefa untuk pembangunan infrastruktur jalan nasional rute Jayapura ke perbatasan Indonesia-PNG di Skouw, Distrik Muara Tami sepanjang 37 kilometer, pemukiman warga, tambang galian C dan yang paling dominan pondok wisata serta restoran di sepanjang jalan Holtekamp.
“Hilangnya hutan mangrove berdampak pada menurunnya kualitas perairan dan biota laut seperti kepiting. Potensi masyarakat pesisir terdampak tsunami lebih rawan karena hutan mangrove sebagai benteng perlindungan yang pertama telah hilang,” tutur Yunus.
Ia berharap adanya sejumlah solusi untuk menyelamatkan Teluk Youtefa dari dampak masalah lingkungan yang terjadi saat ini. “Kami merekomendasikan sejumlah solusi, antara lain adanya upaya untuk meminimalisir sedimen yang masuk ke perairan, mengurangi laju pencemaran, menjaga habitat ekosistem mangrove, padang lamun serta terumbu karang, sosialisasi secara rutin kepada masyarakat dan upaya penegakan hukum yang tegas,” kata Yunus.
Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua, Yan Yap Ormuseray ketika dikonfirmasi mengakui, terjadi pembukaan hutan mangrove secara masif di kawasan Teluk Youtefa beberapa tahun terakhir.
Ia pun menilai kondisi ini sangat berbahaya karena berpotensi terjadi abrasi yang berdampak pada pantai dan jalan umum. Padahal, Pemda setempat sudah berulang kali memberikan peringatan dan regulasi perda tapi tidak ditanggapi masyarakat selaku pemilik hak ulayat.
Peryataan Yan senada dengan hasil penelitian Baigo Hamuna, dosen Universitas Cenderawasih. Baigo menemukan terjadi fenomena abrasi di dua distrik yang masuk kawasan Teluk Youtefa, yakni Jayapura Selatan dan Abepura. Terjadi abrasi di Jayapura Selatan mencapai 1,24 meter per tahun, dan abrasi di Abepura 0,86 meter per tahun.
“Kami sangat menyayangkan pembukaan tempat wisata dengan menebang hutan mangrove. Kami berharap para pengembang tempat usaha juga aktif mencegah dampak dari masalah lingkungan di kawasan tersebut dengan penanaman kembali hutan mangrove secara masif.
Kepala Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Wilayah Papua Frits Ramandey mengatakan, pihaknya juga melaksanakan investigasi kawasan hutan mangrove dan sagu di Teluk Youtefa pada tanggal 8 dan 10 Februari 2021. Hasilnya, Komnas HAM menemukan 16 titik pembukaan lahan di hutan mangrove dan 12 titik pembukaan lahan di hutan sagu.
Ia menyatakan Komnas HAM Wilayah Papua melaksanakan pemantauan kondisi Teluk Youtefa sebagai pemenuhan hak asasi masyarakat untuk mendapatkan lingkungan yang bersih dan lestari.
”Kami menemukan 28 titik kerusakan ini di kawasan Teluk Youtefa dari daerah Hamadi hingga Holtekamp. Kemungkinan lokasi kerusakan yang belum ditemukan masih banyak karena kami belum menyusuri semua area Teluk Youtefa,” ujarnya.