Hutan desa di Kampung Manggroholo dan Sira, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat menjadi oase di tengah masifnya pembalakan hutan di Papua. Masyarakat melindungi hutan seluas 3.500 hektar itu dari rongrongan ekspansi perusahaan perkebunan yang kian bergairah mencaplok lahan adat. Bagi mereka, hutan ibarat harta karun turun-temurun yang menyimpan kekayaan untuk menghidupi lintas generasi.
Tim Ekspedisi Tanah Papua Kompas berkesempatan mengunjungi hutan tersebut, Selasa (8/6/2021). Perjalanan darat dari Kota Sorong, Papua Barat, memakan waktu sekitar tujuh jam dengan menggunakan mobil gardan ganda.
Hangat sinar matahari pagi mengiringi langkah kami menuju jalur masuk hutan. Tiga warga setempat memandu kami untuk menyusuri dan mengenal isi hutan tropis itu.
Sepertinya mama-mama malu karena ada kamera. Mereka juga tidak tahu kalau ada yang mau datang.
Tim menyisir jalan setapak di antara pohon-pohon menjulang. Udaranya segar. Bunyi daun yang bergesekan tertiup angin memecah keheningan. Suara burung pun bersahutan dari berbagai arah.
“Di hutan ini masih ada burung kakatua dan lau-lau (kanguru pohon). Tetapi, harus masuk (hutan) lebih jauh,” ujar Vinsen Sermere (24), salah satu pemandu.
Pagi itu kami kurang beruntung tidak bertemu kedua satwa khas hutan tersebut. Namun, beberapa burung nuri terbang dari satu dahan ke dahan lainnya sambil memamerkan kecantikan bulunya cukup menjadi pelipur lara.
Hutan Desa Manggroholo dan Sira ditumbuhi berbagai jenis pohon, seperti merbau, matoa, bintangur, dan damar. Selain itu terdapat pohon buah, di antaranya duku, durian, dan cempedak. Keanekaragaman flora itu menjadi rumah yang nyaman bagi satwa-satwa liar.
Di beberapa titik, tanaman nenas berjejer di kanan dan kiri jalan setapak. Warga sengaja menanamnya di dekat jalan untuk memudahkan menjangkaunya saat panen.
Hidung kami menangkap aroma khas saat semilir angin berembus. Wangi itu bersumber dari gumpalan getah damar yang melekat di kulit pohon.
Sebelum jaringan listrik masuk ke desa tersebut, warga memakai getah damar untuk menghasilkan penerangan melalui pelita. Saat ini, potensi itu belum banyak dimanfaatkan. Hanya beberapa orang yang memanfaatkannya sebagai pewangi ruangan.
Kontur tanah hutan tersebut sangat bervariasi. Kami menapaki tanjakan dan turunan berulang kali. Sesekali berjalan di atas batang pohon yang melintang untuk menyeberangi sungai.
Batang pohon itu bukan bekas perambahan, melainkan sisa dari penebangan pohon oleh warga setempat untuk membangun rumah. Penebangan dibatasi berdasarkan kesepakatan adat dan marga. Umumnya, warga masih diperbolehkan menebang untuk kebutuhan membangun rumah pribadi atau fasilitas umum.
Karena pemanfaatan kayu yang noneksploitatif ini, tak heran ketika kami semakin jauh melangkah, semakin banyak pula ditemukan pohon-pohon besar. Salah satunya pohon merbau atau masyarakat setempat menyebutnya dengan kayu besi, saking kerasnya. Dibutuhkan lebih dari lima orang untuk memeluk lingkar batangnya.
Sekitar 45 menit menjelajahi hutan tropis ini, keringat mulai bercucuran. Kami keluar hutan dan beristirahat di rumah warga. Namun, penjelajahan belum berakhir.
Dusun sagu
Setelah melepas lelah selama 15 menit, tim menuju sisi hutan lainnya. Di sana terpampang deretan tanaman sagu. Warga menyebut kawasan ini sebagai dusun sagu. Lokasinya berada di perbatasan Desa Manggroholo dan Sira.
Suasana hening menyambut kami di hutan sagu itu. Hanya terlihat seorang perempuan paruh baya sedang menokok sagu. Padahal, biasanya, lokasi itu selalu didatangi ibu-ibu untuk mengolah sagu setiap pagi.
Air yang masih mengalir di lokasi peramasan sagu mengundang kecurigaan. Apalagi, di bawah beberapa tenda tempat menokok, terdapat tumpukan serbuk sagu yang masih segar.
Vinsen datang menghampiri kami. Ia baru saja bertemu beberapa perempuan di rumah warga terdekat.
“Sepertinya mama-mama malu karena ada kamera. Mereka juga tidak tahu kalau ada yang mau datang,” ujarnya.
Kami pun tersenyum mendengar jawaban itu. Terpecahkan sudah “misteri” menghilangnya mama-mama dan hutan yang sepi. Namun, sekitar lima menit berselang, satu per satu mereka kembali ke lokasi peramasan untuk melanjutkan aktivitasnya.
Dari kejauhan, terlihat laki-laki tua duduk di atas batang sagu. Kedua tangannya memegang nani (alat penokok sagu) yang dipukulkan berulang kali ke batang sagu untuk diolah menjadi serbuk.
Kami mendekatinya. Laki-laki itu bernama Costa Kladit (59), warga Desa Manggroholo. Karung berisi 15 kilogram serbuk sagu ia pindahkan ke bagian belakangnya. Bapak enam anak itu melanjutkan menokok untuk mengisi satu karung lainnya.
Setelah serbuk sagu ini diremas, setiap karung menghasilkan sekitar 2 kilogram sagu dengan harga Rp 150.000–Rp 200.000 per kilogram. Mengolah sagu menjadi mata pencarian utama mayoritas warga.
Kami menawarkan diri untuk membantunya menokok. Tawaran itu diterimanya. Dengan senang hati ia mengajarkan cara menokok agar serbuk yang dihasilkan halus.
“Jangan buru-buru. Pelan-pelan saja, tokok sedikit-sedikit. Kalau (serbuk sagu) besar, nanti susah di-ramas (remas). Susah bisa diambil ampasnya,” kata dia, menjelaskan.
Sembari menokok, kami melemparkan sejumlah pertanyaan. Mulai dari manfaat sagu bagi warga setempat hingga alasan warga menolak menjual lahannya kepada perusahaan sawit.
Pendekatan lewat membantu menokok sagu berbuah manis. Obrolan berjalan lancar. Costa menjawab dengan gamblang.
“Kebutuhan hidup selama ini bisa terpenuhi dari sagu. Sehari-hari makan papeda. Kalau butuh uang, bisa jual sagu ke pasar,” ujarnya.
Dari hasil menjual sagu itu pula Costa menyekolahkan anak-anaknya. Hutan terbukti menghidupi leluhur mereka dan akan dipertahankan agar terus bermanfaat bagi keturunan mereka.
Status hutan desa yang ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2014 menjadi benteng formal untuk mempertahankannya. Apalagi, sejak empat tahun lalu, warga telah mendapatkan hak kelola hutan dari Pemerintah Papua Barat.
Hak kelola itu tak lantas membuat warga mengeksploitasi hutan membabi buta untuk mendulang cuan sebanyak-banyaknya. Mereka justru belajar cara mengendalikan pemanfaatan hutan. Salah satunya dengan membatasi penebangan pohon.
Tanpa pembatasan, hutan itu terancam rusak. Ribuan batang pohon merbau, matoa, bintangur, dan damar yang bernilai jual tinggi jelas menjadi incaran banyak pihak.
“Setiap desa hanya boleh menebang kayu 50 meter kubik per tahun. Jadi, dalam setahun cuma 100 meter kubik. Kalau ingin membangun rumah, warga bergantian mengambil kayu dari hutan,” ujar Koordinator Hutan Desa Manggroholo dan Sira Arkilaus Kladit.
Liputan di hutan desa itu memberikan kami perspektif baru tentang perjuangan orang Papua dalam melindungi hutannya. Bukan sekadar menjaga lahan adat, apalagi untuk sekadar mengejar status pengelolaan hutan. Namun, demi mempertahankan ruang hidup dari kerakusan korporasi yang kian mengancam.
Kami melangkah pulang saat matahari mulai meninggi. Lebih dari tiga jam penjelajahan di hutan desa pertama di Tanah Papua itu. Banyak potensi hutan yang belum dimanfaatkan. Namun, bukan berarti tidak berguna, melainkan menjadi “harta karun” untuk diwariskan kepada generasi berikutnya. (Fransiskus Pati Herin/Tatang Mulyana Sinaga)