Belanda mendatangkan orang Tionghoa, India, lalu Jawa ke perkebunan teh yang mereka bangun di tanah Simalungun. Mereka kemudian berinteraksi sebagai sesama pendatang, juga dengan warga setempat dalam semangat kesetaraan dan kemanusiaan. Dari sinilah harmoni bersemi.
Jalan Raya Sidamanik penuh sesak oleh mobil-mobil yang parkir di kanan-kiri jalan sehingga hampir tak bisa dilewati mobil lain. Jalan semakin menyempit oleh deretan papan bunga yang memberi selamat atas pernikahan Ingka Pangaribuan dan Denny Sitorus.
Denny adalah anak dari Donaria Silalahi, yang siang itu, Sabtu (6/7/2019), halaman rumahnya penuh sesak oleh tamu di Desa Sarimatondang, Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Kedua mempelai, orangtua, dan para tamu menari tor-tor (manortor) bersama sebagai bagian dari pesta adat. Suasana semakin meriah ditambah lagi dengan kemunculan pedagang kaki lima yang mendirikan tenda di sekitar tenda undangan.
Selepas manortor, para tamu bersiap santap siang. Tuan rumah sudah menyediakan makanan khas Batak, yang tentu saja tidak semua undangan dapat menyantapnya karena mengandung babi. Bagi mereka yang tidak makan babi, sudah tersedia 400 nasi kotak berlauk rendang sapi di rumah Hotnida Tambunan (62) yang hanya berjarak sekitar 40 meter dari pelaminan.
Nasi kotak itu ditumpuk memenuhi ruang tamu rumah Hotnida. Dia sengaja mengeluarkan sofa dan kursi ke halaman rumah agar ruang tamu itu lega sekaligus memberi keleluasaan para tamu untuk dapat duduk di teras. Perempuan berjilbab ini dengan ramah menyambut setiap tamu yang datang seolah dia yang mempunyai hajat.
”Memang ini pesta kami bersama, kebetulan ibu diminta bantu-bantu mengatur makanan,” katanya sembari membagikan nasi kotak dibantu anaknya, Diah Pratiwi Nasution (32).
Para tamu lalu berbaur makan di teras rumah. Sebagian duduk di tanah lapang di samping rumah sambil menikmati semilir angin dari arah perkebunan teh. Jarak rumah mereka dari perkebunan tersebut hanya sekitar 300 meter.
Ilustrasi dalam peristiwa resepsi pernikahan Ingka dan Denny di atas merupakan salah satu gambaran tentang harmoni dan toleransi yang tumbuh di Simalungun dan Pematang Siantar. Warga di sana dapat hidup dalam jalinan persaudaraan meskipun berbeda agama, suku, ataupun bahasa. Mereka melebur.
Gambaran tersebut juga dapat dengan mudah ditemukan di Kota Pematang Siantar. Tengoklah kesibukan di sebuah warung kopi di Jalan Cipto, Kok Tong namanya. Saat itu, Minggu (7/7/2019), pengunjung berjubel sampai ke tepi gang karena tidak ada lagi kursi kosong di dalam warung. Mereka menikmati kopi susu, teh tarik, roti bakar, atau kopi pahit sembari mengobrol.
Di salah satu pojok, sebagian tamu berdialog dalam bahasa Hokian, sementara di bagian tengah warung, tamu lainnya berbincang dengan bahasa Melayu. Adapun beberapa tamu di tepi gang tadi terlibat obrolan seru tentang keindahan Danau Toba dalam bahasa Batak.
Kelompok-kelompok tadi jarang sekali yang berkumpul hanya terdiri dari satu etnis atau subetnis. Banyak juga yang beragam etnis. Di salah satu meja, misalnya, beberapa orang Batak Toba dan Simalungun duduk satu meja dengan orang Jawa Deli.
Pemilik warung, Lim Ming alias Djamin Halim (60), menceritakan, warungnya tidak pernah sepi, terutama di akhir pekan. Pelanggannya datang dari beragam etnis dan akur-akur saja. ”Ini yang membuat saya betah di Siantar. Bisa dibilang tidak pernah ada ribut-ribut seperti di kota lain,” kata generasi ketiga pengelola warung yang berdiri sejak 1925 ini.
Bertolak dari hasil penelitian Setara Institute yang dipublikasikan pada 2018, Pematang Siantar menjadi kota ketiga paling toleran setelah Singkawang di Kalimantan Barat dan Salatiga di Jawa Tengah. Indikatornya antara lain rendahnya tingkat pelanggaran kebebasan beragama serta tata kelola keberagaman identitas keagamaan yang bagus.
Peran perkebunan
Bangunan toleransi tersebut tidak bisa dilepaskan dari peran perkebunan, termasuk perkebunan teh di Sidamanik, Simalungun. Sebelum dimekarkan, Pematang Siantar berada dalam wilayah administratif Kabupaten Simalungun ini. Simalungun masuk kawasan Sumatera timur. Kemunculan perkebunan teh di daerah ini memungkinkan bertemunya beragam etnis dan suku bangsa, seperti Batak Toba, Batak Simalungun, India, China, dan Jawa. Tentu saja ada warga Eropa.
Cerita bermula ketika Belanda membangun perkebunan teh di Simalungun pada 1910 (ada yang menyebut 1911) di atas lahan konsesi dari Raja Simalungun. Belanda kesulitan pekerja karena orang Simalungun enggan bekerja pada Belanda. Mereka memiliki tanah luas yang harus digarap. Belanda lalu mendatangkan pekerja beretnis Tionghoa dan India dari semenanjung Malaka dengan sistem kontrak (contract coolie).
Kala itu, sebagaimana catatan Tehe Kian-wie dalam disertasinya (1977), teh menjadi komoditas paling penting setelah karet, tembakau, dan kelapa sawit. Setelah habis masa kontraknya, banyak pekerja Tionghoa dan India itu tidak memperpanjang kontraknya. Mereka meminta kepada Belanda untuk diizinkan menjadi pedagang bahan makanan atau pengelola tempat hiburan bagi kuli kebun.
Kala itu sudah banyak warga Toba yang masuk ke Simalungun berkat ajakan Andreas Simangunsong, seorang zending, pegawai Raja Purba, yang diangkat Belanda menjadi Hoofd der Tobanezen atau Raja Ihutan.
”Dia menjalankan Immigrate Bureau Tobaneezen (Biro urusan Migrasi Toba) untuk mengatur proses perpindahan orang-orang Batak Toba,” kata dosen Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Simalungun, Hisarma Saragih.
Dengan demikian, orang Batak Simalungun, Toba, Tionghoa, dan India telah tinggal di satu kawasan sehingga memungkinkan mereka untuk berinteraksi. Kemudian Belanda membawa orang Jawa ke Sumatera timur sebagai kuli kontrak. Orang Jawa datang secara bergelombang dalam jumlah yang masif.
Profesor Antropologi dan Studi Sejarah Ann Laura Stoler, dalam Capitalism and Confrontation in Sumatra’s Plantation Belt, 1870-1979, menyebutkan, pada 1880 populasi di Simalungun tidak lebih dari 100.000 jiwa. Namun, 50 tahun kemudian menjadi sekitar 1,5 juta jiwa dan jumlah orang Jawa mencapai 50 persen dari penduduk lokal. Dengan kata lain, penduduk Simalungun menjadi sangat beragam, tetapi tetap harmonis sampai sekarang.
Simpul kunci
Harmoni itu lahir dari tata nilai yang dipegang warga Simalungun sebagai penduduk asli. Mereka berpijak pada nilai sapangambei manoktok hitei, yang artinya kira-kira bekerja sama untuk mencapai tujuan hakiki. Semua manusia itu sama kedudukannya. ”Para raja di Simalungun waktu itu berpikir harus ada yang mengayomi. Harus ada kerja sama dengan pendatang,” kata Hisarma.
Orang Toba mengedepankan prinsip dalihan natolu yang di dalamnya mengandung semangat menghargai orang lain. Sementara itu, orang Jawa, Tionghoa, dan India cenderung bersikap sama. Sebagai pendatang, mereka mengagungkan nilai yang sudah mapan di tanah tuan rumah. Apalagi, kebetulan nilai tersebut mengakomodasi egaliterisme.
”Ajaran orangtua maupun kakek saya selalu sama. Berbaik-baik kepada siapa saja karena orang-orang di sini baik. Menerima siapa saja,” terang Lim Ming.
Bangunan nilai yang akomodatif tersebut memungkinkan terjadinya distribusi sosial secara leluasa. Pada era-era selanjutnya, terjadi kawin-mawin antaretnis di Simalungung. Warga Pematang Siantar, Fadilah R (26), misalnya. Ibunya berdarah Jawa, sedangkan ayahnya Simalungun.
Begitu juga Hisarma yang memiliki adik ipar menikah dengan orang Muslim Minang. Dua anak mereka, yang Muslim, tinggal bersama kakeknya di Kecamatan Raya, Simalungun, yang mayoritas Protestan. Kesimpulan Hisarma, agama turut membangun toleransi di tanah Simalungun.
Pada akhirnya, orang Simalungun dan Toba ikut masuk ke perkebunan teh. Sekarang ini beberapa orang Simalungun dan Toba menduduki posisi penting di perkebunan.
Perkebunan teh memungkinkan orang dari beragam bangsa dan etnis bertemu lalu membangun peradaban yang harmonis seperti di Simalungun dan Pematang Siantar. Dari perkebunan teh, harmoni bersemi.