KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK) 28-07-2019

Wisatawan menikmati teh hangat di Tea House, di area perkebunan teh Wonosari, Malang, Jawa Timur, Minggu (28/7/2019)

Jawa Timur

Mati di Tanah Perdikan

·sekitar 4 menit baca

TAPAK

Pada suatu masa, ada kisah jaya tentang hamparan kebun teh di lereng tenggara Gunung Wilis, Jawa Timur. Namun kemudian, musim berubah dan kematian datang kepadanya.

Lereng tenggara Gunung Wilis, akhir Juli tahun lalu. Berdiri di salah satu punggungannya; Candi Penampihan. Menempati areal sekitar dua kali lapangan voli, candi itu merupakan situs purbakala yang mengalami modifikasi fisik dan transformasi fungsi dari masa ke masa, mulai dari zaman megalitikum, Mataram Hindu, Khadiri, Singhasari, hingga Majapahit.

Prasasti Tinulad sebagai bagian dari situs Candi Penampihan menyebutkan bahwa Raja Mataram Kuno, Dyah Balitung, menetapkan lereng tenggara Gunung Wilis itu dengan status tanah perdikan alias daerah otonom pada 898. Daerahnya disebut Penampihan atau Penampean yang kini termasuk wilayah administrasi Desa Geger, Kecamatan Sendang, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.

Di lokasi yang sama, Prasasti Sarwadharma bertahun 1269 menegaskan kembali status tersebut. Raja Singhasari, Kertanegara, menetapkan kawasan itu sebagai swatantra alias juga daerah otonom.

Sejarawan Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, mengatakan, terdapat penggambaran manusia membajak lahan dengan tiga gajah di salah satu relief candi. Ditemukan juga dua kolam di belakang Prasasti Tinulad dan mata air Tirta Amerta, 25-30 meter dari situs.

Artinya, Dwi melanjutkan, Penampihan pada masa silam merupakan kawasan peradaban, tempat manusia membudidayakan tanaman dan ternak.

Sejak menyandang status tanah perdikan, Penampihan telah melintasi zaman sedemikian panjang hingga sampailah pada masa pendudukan kolonial Belanda di Nusantara.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK) 28-07-2019

Wisatawan menikmati teh hangat di Tea House, di area perkebunan teh Wonosari, Malang, Jawa Timur, Minggu (28/7/2019)

Perluasan

Sejalan dengan ambisi menguasai perdagangan teh dunia, Pemerintah Kerajaan Belanda melakukan ekstensifikasi perkebunan teh di Pulau Jawa. Penampihan menjadi salah satu lokasi ekstensifikasi itu. Total luas areal perkebunan diperkirakan 400 hektar (ha).

Keberadaan Kebun Penampihan tercatat dalam koran berbahasa Belanda, yakni Algemeen Handelsblad, terbitan 23 Mei 1897. Dalam salah satu kolom pengumuman terdapat tulisan Cultuur-Maatschappij ”Penampean”.

De Telegraaf terbitan 30 Juni 1903, dalam salah satu bagian juga menyinggung soal Penampihan. Sementara koran Bataviaasch Nieuwsblad edisi 16 Januari 1926 bahkan mencantumkan tiga produk Penampean dalam De Theemarkt te London atau Pasar Teh London. Ketiga produk itu meliputi broken tea; Pek. Fannings ; dan Pek. Fannings I. Dari tiga terbitan koran tersebut dapat disimpulkan bahwa Kebun Penampean sudah berdiri sebelum 1900.

Suryani (107), atau yang biasa dipanggil Mbah Sur, adalah mandor Kebun Teh Penampihan di era kolonial Belanda. Ditemui di rumahnya di Kecamatan Sendang akhir Juli 2019, Mbah Sur bercerita tentang semaraknya perkebunan pada waktu itu.

Perkebunan Penampihan, menurut Mbah Sur, jaya ketika dikelola perusahaan Belanda.

Saat pendudukan Jepang, sebagian tanaman teh diganti dengan jagung. Kebun teh tak terawat.

Pasca-nasionalisasi pada tahun 1950-an akhir, pemerintah menyerahkan pengelolaan Kebun Penampihan kepada Angkatan Darat melalui Puskopad/Primkopad/Inkopad pada Kodam V/Brawijaya. Selanjutnya, Puskopad Kodam V Brawijaya menggandeng perusahaan swasta domestik untuk mengelola perkebunan dan pabrik teh di Penampihan.

Setelah nasionalisasi, situasi perkebunan tak kunjung membaik. ”Lama-lama rusak,” kata Mbah Sur.

Menurut keterangan warga, perusahaan swasta yang mengelola Kebun Penampihan berganti-ganti, di antaranya PT Surya Sari Bumi dan PT Tirto Bumi Lestari (TBL).

Bambang Yuniarto (41), bekas Kepala Produksi PT TBL, mengatakan, PT TBL adalah perusahaan swasta domestik terakhir yang mengelola Kebun Penampihan. Produksi bulanan rata-rata adalah 35 ton pucuk basah atau 7 ton pucuk kering yang disetor antara lain ke Pabrik Teh 999 di Surakarta, Pabrik Teh Sirah Kencong di Blitar, dan Pabrik Teh Kertowono di Lumajang.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK) 27-07-2019

Pekerja mengangkut daun teh yang sudah dilayukan di Pabrik Teh Kertowono, Desa/Kecamatan Guci Alit, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Sabtu (27/7/2019).

Bisnis Kebun Teh Penampihan semakin sulit. PT TBL tutup operasi pada 2005. Hal ini bersamaan dengan unjuk rasa masyarakat setempat yang menuntut pembagian lahan perkebunan. Akhirnya Pemerintah Kabupaten Tulungagung membentuk Panitia Pelepasan Lahan di Desa Geger.

Pada saat yang sama, pabrik teh dibongkar. Kini jejaknya tinggal fondasi di tepi Lapangan Penampihan. Adapun areal kebun teh mengalami alih fungsi besar-besaran.

Warga lalu menanami lahan dengan sayuran, seperti wortel, sawi, cabai, dan kol. Juga rumput gajah untuk cadangan pakan sapi perah.

Karsi sendiri menjadi satu dari segelintir warga yang tetap mempertahankan tanaman teh di lahan garapnya, jenisnya Gambung dan TRI. Lokasinya persis di belakang Candi Penampihan.

Karsi dan almarhum suaminya dulu sama-sama bekerja di Kebun Teh Penampihan. Setelah kebun mati, suaminya berinovasi membuat instalasi pengolahan teh skala rumah tangga di belakang rumah mereka.

Mereka memproduksi teh hijau secara mandiri dan dipasarkan dalam kemasan di pasar lokal dan lewat kenalan-kenalan. Mereknya adalah Mbah Djiwo, berasal dari panggilan suami Karsi.

Teh Mbah Djiwo dikemas dalam bungkus bening yang ditempeli stiker bertuliskan ”Teh Argowilis Penampean”. Ada logo pegunungan dengan tulisan Gunung Wilis Est 1938 dan foto hitam putih suasana perkebunan teh dengan beberapa rumah beratap lancip. Dari penelusuran di internet, foto itu merupakan koleksi Tropenmuseum Belanda berketerangan Thee Onderneming Penampean Toeloengagoeng 1938.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Proses pelayuan daun teh di Perkebunan Kertowono, Desa Guci Alit, Kecamatan Guci Alit, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Sabtu (27/7/2019).

Karsi bertekad mempertahankan dan terus menjalankan kebun teh berikut instalasi pengolahan sederhana di belakang rumahnya. Selain warisan almarhum suami, harta itu terbukti mampu menopang hidupnya selama ini.

Warga lain yang mempertahankan tanaman teh di lahan garapnya adalah Winartin (50). Kebun secuil garapannya berlokasi persis di samping Candi Penampihan, tak jauh dari lokasi kebun teh garapan Karsi. Kebetulan Winartin adalah Pelaksana Juru Pelihara Candi Penampihan.

”Rasanya kok sayang kalau diganti. Biar tanamannya tetap teh saja. Indah kalau dilihat,” kata Winartin.

Sementara itu, tak terasa senja telah menjelang di lereng tenggara Gunung Wilis. Sunyi menjadi selubung yang setia menjaga Candi Penampihan, saksi matinya kebun teh di tanah perdikan.

(FX LAKSANA AS/AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO)

Artikel Lainnya