Industri teh global diprediksi masih akan dikuasai oleh segelintir negara saja. Di tengah dominasi pemain besar tersebut, muncul negara-negara yang mampu merangsek pasar dan menjadi pemain baru yang diperhitungkan. Jika ingin merebut dominasi di kancah teh global, Indonesia harus peka membaca keinginan pasar dan berani berinovasi.
Secara umum, perkembangan industri teh dunia memiliki tren positif. Hal ini setidaknya jika dilihat dari tahun 2010 dan potensinya hingga tahun 2023. Pada 2010, total pendapatan di industri teh global berada di angka 58,20 miliar dollar Amerika Serikat. Angka ini meningkat hingga 2,5 kali lipat pada 2018 menjadi 132,83 miliar dollar AS. Diprediksi, nilai pendapatan dari industri teh dunia akan terus meningkat hingga 182,2 miliar dollar AS pada 2023.
Jika dilihat dari jenis konsumsinya, industri teh dunia masih didominasi oleh penjualan Out-of-Home dibandingkan dengan At-Home. Penjualan Out-of-Home ini meliputi produk olahan teh yang dinikmati di luar rumah seperti di kafe ataupun produk siap saji (Ready to Drink/RDT) di supermarket. Pada 2018, kategori ini berkontribusi sebesar 63,57 milliar dollar AS atau 52,1 persen dari total pendapatan industri teh global.
Namun, proporsi pendapatan dari penjualan produk teh At-Home di kemudian hari diprediksi akan sedikit meningkat, di mana pada 2023 penjualan produk yang termasuk kategori ini akan meningkat hingga di angka 49 persen atau sekitar 88,5 miliar dollar AS dari total 182,2 miliar dollar AS pendapatan industri teh global.
Tren serupa juga tampak dalam hal volume perdagangan. Volume perdagangan teh dunia yang berada di angka 2,71 juta ton pada 2010 mengalami peningkatan signifikan hingga menyentuh angka 4 juta ton di tahun 2018. Angka ini diprediksi akan terus tumbuh hingga mencapai 4,62 ton pada tahun 2023.
Tren positif juga tampak dari segi pertumbuhan pasar teh dunia. Menurut laporan dari Organisasi Pangan Dunia (FAO), pasar teh global tumbuh rata-rata 5 persen per tahun selama rentang 2007-2016. Negara-negara berkembang di Afrika, Amerika Latin, Karibia, serta Asia Timurlah yang mendorong tumbuhnya konsumsi teh dunia. Sedangkan, negara-negara maju, terutama di kawasan Eropa, justru merasakan turunnya permintaan produk teh.
Dominasi pemain besar
Semakin cerahnya industri teh dunia ternyata tidak semerta-merta membuat jalan Indonesia untuk menguasai pasar dunia menjadi mulus. Walau menjadi salah satu negara produsen teh, ternyata pasar teh dunia masih dikuasai oleh segelintir negara saja. Hal ini dapat terlihat dari sebaran pendapatan teh dunia berdasarkan negara.
Pada tahun 2019, China masih menjadi negara dengan pendapatan dari industri teh yang paling tinggi. Hingga akhir tahun, negara ini diprediksi mengantongi pendapatan sebesar 86,37 miliar dollar AS atau 60,72 persen dari total pendapatan teh dunia. Nilai tersebut jauh mengungguli Brasil, sebagai negara dengan pendapatan industri teh terbesar kedua di dunia. Brasil diprediksi akan meraup pendapatan dari industri teh sebesar 16,52 miliar dollar AS pada tahun 2019.
Bukan hanya dari segi pendapatan, dominasi juga nampak dalam hal konsumsi. Menurut laporan dari FAO pada 2016, konsumsi teh dunia masih didominasi oleh China dan India yang menyumbang masing-masing sebesar 38,6 persen dan 19,0 persen terhadap pasar teh dunia.
Dalam hal produksi, sejak 2010 China telah menjadi produsen teh terbesar di dunia. Menurut laporan dari FAO, total area yang ditanami teh di China meningkat dari 1,97 juta hektar pada 2010 bertambah menjadi 2,96 juta hektar pada 2016, dengan tingkat pertumbuhan dari tahun-ke-tahun sebesar 3,05 persen. Pertumbuhan areal pertanian ini pun sukses memompa total produksi teh di China pada 2016 mencapai 2,44 juta ton. Saat produksi meningkat, nilai pertanian teh Cina juga meningkat. Pada 2016, nilai pertanian teh China sebesar 170,2 miliar Yuan atau meningkat 12,04 persen dibandingkan tahun 2015.
Meski demikian, dalam rentang waktu 2007-2016, terdapat beberapa negara yang walau memiliki pasar yang tidak terlalu besar, tetapi memiliki pertumbuhan industri teh yang jauh melebihi negara-negara lainnya. Beberapa negara tersebut ialah Rwanda, Malawi, dan Uganda yang memiliki rerata pertumbuhan tahunan pasar teh nasional sebesar 26,8 persen, 19,8 persen, dan 16,5 persen.
Kepekaan Membaca Pasar
Untuk dapat bersaing dengan negara lain yang telah mendominasi industri teh global, Indonesia harus cermat dalam membaca perkembangan tren pasar teh dunia. Menurut tangkapan dari FAO, terdapat tren preferensi teh dari konvensional menjadi teh campuran (infuse) dan teh premium. Salah satu contohnya adalah peralihan dari mereka yang membeli teh tanpa kemasan menjadi teh kemasan dan bahkan dengan kantong khusus.
Tren ini berhasil ditangkap oleh para pelaku industri teh di India,terutama oleh para pemain baru yang berbentuk perusahaan rintisan (start-up). Selain bermain di ranah produk teh non-konvensional, seperti contohnya teh premium, perusahaan-perusahaan ini juga berhasil memanfaatkan perkembangan teknologi informasi. Dengan dukungan teknologi, perusahaan-perusahaan ini berhasil memasarkan produk mereka hingga ke berbagai pasar di dunia.
Salah satu contohnya ialah perusahaan Teabox dari India. Dalam kurun waktu sekitar 5 tahun saja, perusahaan rintisan ini berhasil mengumpulkan dana sebesar 15 juta dollar AS atau setara dengan Rp 210 miliar. Bahkan, perusahaan ini berhasil melebarkan sayap bisnisnya ke Asia Tenggara dengan membuka kantor di Singapura.
Ratan Tata, CEO dari Teabox, mengungkapkan bahwa pasar di luar India menjadi lumbung penghasilannya. Dari 100 negara asal pelanggan Teabox, Amerika Serikat merupakan sumber penghasilan utama bagi bisnis perusahaan ini. Dalam rentang waktu dua tahun sejak didirikan, Teabox telah berhasil meraup keuntungan sebesar 8 juta dollar AS dari penjualan teh di negeri “Paman Sam” ini.
Tidak hanya mengandalkan ekspor, perusahaan rintisan teh lain di India juga memanfaatkan potensi konsumsi teh sebagai gaya hidup. Salah satu contohnya ialah perusahaan rintisan bernama Chai Point. Perusahaan yang didirikan oleh Amuleek Bijral pada 2010 ini berhasil menjual hingga 3 juta cangkir teh di lebih dari 100 gerai tehnya di India. Kesuksesan usahanya pun mengundang berbagai investor untuk menanamkan modalnya. Hingga Januari 2019, Chai Point berhasil menarik investasi hingga lebih dari 37,5 juta dollar AS.
Kesuksesan dari Teabox, dan beberapa perusahaan rintisan teh asal India lainnya, ini tidak lepas dari kepekaan mereka dalam membaca tren ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang kuat di sejumlah negara berkembang, seperti China, India, dan Rusia, berujung pada meningkatnya jumlah kelas menengah yang juga berpotensi meningkatkan daya beli masyarakat, termasuk juga konsumsi teh.
(LITBANG KOMPAS/RANGGA EKA SAKTI)