Kompas/Iwan Setiyawan

Sumatera Bagian Selatan

Oase Teh di Alam Rimba

·sekitar 5 menit baca

 

 

Lebatnya hutan membentang tak menyurutkan langkah perusahaan partikelir Belanda untuk membuka perkebunan di tengah Pulau Sumatera. Kini, hampir seabad berlalu, denyut perkebunan itu masih dapat dirasakan, bahkan tak terpisahkan dari urat nadi kehidupan di hutan lereng Gunung Kerinci.

Oleh: Dedy Afrianto

Berjarak 450 kilometer di sisi barat Kota Jambi, Perkebunan Teh Kayu Aro menyatu dengan sunyi senyap keelokan alam Gunung Kerinci. Lekuk perkebunan dalam bentang alam yang masih asri seakan menegaskan bahwa perkebunan ini tetap eksis meski telah berusia nyaris sepuluh dekade.

Ide pembukaan perkebunan ini dirintis oleh salah satu perusahaan swasta asal Belanda, Namlodse Venotchaaf Handle Veriniging Amsterdam (NV HVA). Sejak tahun 1925 hingga 1928, pembukaan perkebunan mulai dilakukan dengan mendatangkan tenaga kerja dari Pulau Jawa.

Kompas/Iwan Setiyawan

Pekerja mengumpulkan daun teh yang sudah dilayukan sebelum masuk proses produksi teh di Unit Usaha Kayu Aro PT Perkebunan Nusantara VI di Kabupaten Kerinci, Jambi, Jumat (26/1/2018. Pabrik yang sudah berdiri sejak tahun 1925 ini memproduksi teh yang sebagian besar untuk pasar ekspor.

Luas perkebunan yang dipersiapkan mencapai 10.000 hektar (ha). Dari luas itu, sekitar 3.000 ha ditanami dengan tanaman teh. Sementara area lainnya tetap difungsikan sebagai hutan guna memenuhi kebutuhan kayu bakar.

Tak lama setelah lahan selesai digarap dan ditanami oleh tanaman teh, pabrik pengolahan juga dibangun pada tahun 1932 dengan kapasitas terpasang hingga 100 ton per hari. Inilah awal derap kehidupan perkebunan di balik rimbunnya hutan di lereng Gunung Kerinci.

Hingga tahun 1940, Perkebunan Teh Kayu Aro terus berproduksi dengan luas 2.590 hektar. Area perkebunan ini jauh lebih luas dibandingkan perkebunan lainnya di bagian tengah Sumatera seperti Perkebunan Halaban (569 hektar) dan Perkebunan Teh Pecconina (500 hektar) di Sumatera Barat. (Setiawati dan Nasikun, 1991)

Bak oasis di padang tandus, meski berada jauh dari di tengah Pulau Sumatera, siapa sangka hasil perkebunan teh dari Kayu Aro ternyata laku di pasaran Eropa. Kualitas teh hitam ortodoks dengan aromanya yang khas bahkan juga disukai oleh Ratu Belanda pada masanya, Ratu Wilhelmina. Secara perlahan, hasil perkebunan ini mulai dikenal oleh dunia internasional.

 

Kendala akses

Memasuki era kemerdekaan, Perkebunan Teh Kayu Aro diambil alih oleh pemerintah Indonesia. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi, perkebunan di Indonesia, termasuk Kebun Teh Kayu Aro, tak lagi diusahakan oleh perusahaan Belanda.

Hingga 1974, Perkebunan Teh Kayu Aro turut menghidupi sekitar 4.000 karyawan beserta 11.000 anggota keluarga mereka. Ekspor ke Benua Eropa, Amerika, dan Australia juga masih dilakukan.

Namun, menurut catatan Harian Kompas, sepanjang masa pemerintahan orde baru terdapat beberapa batu sandungan dalam proses bisnis perkebunan. Hambatan ini tidak terlepas dari sulitnya akses yang menghubungkan antara area perkebunan teh dengan Kota Padang sebagai kota pelabuhan utama bagi Perkebunan Teh Kayu Aro.

Salah satu hambatan terkait akses pernah dialami oleh pengelola perkebunan pada akhir tahun 1976. Saat itu, distribusi penjualan terhambat sepanjang September hingga Desember akibat kerusakan jalan saat musim hujan. Akibatnya 6.000 peti atau 600 ton teh yang akan diekspor ke sejumlah negara tak dapat dikirim.

Kompas/Iwan Setiyawan

Pekerja memetik pucuk daun teh di kebun milik PT Perkebunan Nusantara VI Unit Usaha Kayu Aro di Kabupaten Kerinci, Jambi (26/1/2018). Dalam sehari pemetik ditarget memetik sekitar 35 kilogram daun teh yang akan dioleh di pabrik. Teh produksi Kayu Aro ini sekitar 70 persen dipasok untuk pasar ekspor.

Kondisi serupa juga kembali terjadi pada akhir tahun 1979. Pabrik teh sempat berhenti beroperasi selama satu minggu akibat kehabisan bahan bakar solar. Ini disebabkan terputusnya jalur menuju Kota Padang akibat longsor pada sejumlah titik. Akibatnya, proses pemetikan teh tidak dapat dilakukan.

Jelang akhir pemerintahan orde baru, perkebunan ini tetap menjadi salah satu andalan komoditas teh di Pulau Andalas. Pada tahun 1995, sebanyak 5.081 ton daun teh kering berhasil diproduksi, naik sebesar 11,2 persen dibandingkan produksi lima tahun sebelumnya. Ini menunjukkan aktivitas perkebunan yang kian menggeliat.

 

Bertahan

Di tengah masa krisis di pengujung periode orde baru, perkebunan ini berhasil bertahan. Bahkan, pada tahun-tahun awal reformasi, produksi teh yang dihasilkan menunjukkan peningkatan.

Pada tahun 2001, sebanyak 6.186 ton teh berhasil diproduksi dan meningkat 11,4 persen dibandingkan tahun dua tahun sebelumnya (5.480 ton). Saat itu, sebanyak 3.605 karyawan menopangkan hidup dari kegiatan perkebunan dari hulu hingga hilir. (Kompas, 3 Juli 2002).

Ekspor teh dari Perkebunan Kayu Aro perlahan juga kembali menggeliat. Pada tahun 2006, teh Kayu Aro bahkan berhasil menembus pasar Rusia. Sebelumnya, kerja sama ekspor sempat terputus jelang runtuhnya Uni Soviet pada awal dekade 1990-an.

Selain Rusia, sekitar 80 persen hasil produksi teh pada tahun 2006 juga diekspor ke Belanda, Inggris, dan Jerman. Kualitas dan produksi teh hitam yang mencapai 21 ton per hari menjadi kekuatan penjualan yang diandalkan oleh perkebunan ini.

Masih pada tahun yang sama, pengelola perkebunan juga melakukan upaya modernisasi perkebunan melalui mekanisasi pada tahap pemetikan teh. Kebijakan ini turut berdampak pada perampingan jumlah tenaga pemetik hingga 60 persen. Upaya pengurangan pemetik teh dilakukan dengan menunggu pemetik memasuki usia pensiun.

Namun, setelah melewati masa kejayaan, pada tahun 2016 Perkebunan Teh Kayu Aro mulai mengalami kendala dari sisi produksi. Jika pada awal tahun 2000 hasil produksi per bulan mencapai 500 ton, pada tahun 2016 hasilnya hanya mencapai 217 ton atau menyusut hingga 58 persen. Penyebabnya tak lain adalah usia tanaman yang telah lebih dari 90 tahun.

Kondisi ini berdampak pada beban biaya produksi yang semakin berat. Dari total pendapatan Rp 4 miliar per bulan, biaya untuk karyawan yang harus dikeluarkan mencapai Rp 2,5 miliar hingga Rp 3 miliar.

Sebagai siasat, dari total 2.626,48 hektar perkebunan teh, sekitar 1.000 hektar di antaranya direncanakan akan ditanami kopi. Ini dilakukan di tengah geliat industri kopi yang semakin meningkat. (Kompas, 30 Maret 2016).

Walakin, pada tahun 2018, realisasi penanaman kopi pada area perkebunan teh hanya mencapai 500 hektar. Rencana untuk menanam 1.000 hektar tanaman kopi batal dilaksanakan mengingat pentingnya warisan sejarah yang dimiliki oleh Perkebunan Teh Kayu Aro.

Sebagai perkebunan teh tertinggi kedua di dunia, kini perkebunan Kayu Aro mencoba bertahan dengan melakukan peremajaan tanaman. Semoga, eloknya alam lereng Gunung Kerinci yang berkelindan dengan warisan sejarah masa lampau masih tetap dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. (LITBANG KOMPAS)

 

Artikel Lainnya