Pagi masih teramat dingin di lereng Gunung Kerinci. Kabut seperti bergeming merangkul pucuk-pucuk daun teh saat para pemetik teh, Nurayati, Misriati, dan tiga rekannya, mulai mengais rezeki. Tangan mereka lincah, senyum merekah, lalu sesekali terdengar tawa canda di antara mereka.
Pagi yang cerah. Di belakang para pemetik ini, Gunung Kerinci membayang. Langit biru membentang cerah berhias sekian awan putih. Cerahnya cuaca dan kegembiraan para pemetik merupakan cermin wajah PT Mitra Kerinci, tempat mereka bekerja.
PT Mitra Kerinci merupakan perusahaan yang bernaung di bawah holding PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Bisnis pokok PT Mitra Kerinci adalah teh. Bertahun-tahun lamanya perusahaan ini merugi dan kini mulai merangkak membalik keadaan menjadi perusahaan yang meraup untung. ”Tapi, keuntungan kami belum bisa menutup kerugian yang menumpuk,” kata Chief Executive Officer PT Mitra Kerinci Ondi.
Penumpukan kerugian perusahaan yang berdiri tahun 1990 ini mencapai Rp 134 miliar. Ada beberapa faktor yang membuatnya merugi, antara lain jumlah karyawan yang terlalu banyak sehingga menyerap biaya produksi hingga 70 persen. Pada 2007-2008, sebanyak 1.200 karyawan dipangkas dan tersisa hanya 200 karyawan. Biaya produksi kini tinggal 40 persen.
Meskipun mampu menopang program efisiensi, pemangkasan karyawan bukan obat manjur untuk mengangkat performa perusahaan. Jalan lainnya adalah dengan meningkatkan produktivitas kebun. Selama ini, dari 1.075 hektar kebun, rata-rata hanya menghasilkan 1,5 ton daun teh kering per hektar per tahun.
Ondi lalu memperbaiki tanaman dengan meningkatkan pemupukan, kerapatan, dan pembasmian gulma. Langkah itu signifikan menaikkan produktivitas menjadi 3 ton per hektar per tahun.
Inovasi
Produktivitas yang meningkat jika tidak dibarengi dengan distribusi dan harga yang baik tentu limbung juga. Berpaku pada pola lama, yakni penjualan teh hitam saja secara curah, sama dengan bunuh diri pelan-pelan karena harganya yang tak pernah lebih dari Rp 25.000 per kilogram.
Ondi pun mencoba keluar dari kotak. Sembari menjalankan dua cara tadi, Ondi lalu melakukan survei untuk membaca kencenderungan pasar teh. Dari survei itu, dia bersama timnya menemukan fakta bahwa teh tidak bisa lagi disajikan apa adanya. Perlu inovasi dan kreasi baru.
Mitra Kerinci lalu melatih para peracik tehnya dengan menggunakan jasa profesional. Dari sana, mereka mengeluarkan teh campur (blending tea) premium, seperti teh dicampur pandan, melati, jeruk, apel, dan mangga, di bawah merek Liki Tea. Setidaknya sudah ada 17 varian teh premium yang kemudian disalurkan ke sejumlah hotel berbintang dengan harga sampai 30 kali lipat dibandingkan harga curah.
Teh premium tadi dikemas secara apik dan elegan. Hal ini bagian dari arah-jenama (branding) sehingga Liki Tea dikenal luas. Mereka juga mengajak merek Tan Baron sebagai mitra co-branding. Merek ini menyasar jaringan pasar kelas menengah ke bawah.
CEO Tan Baron, Rama Gusriyanto, melihat bahwa pesaing teh premium di Indonesia banyak dari luar. Melihat kualitas teh lokal seperti yang ada di kebun Mitra Kerinci, dia meyakini bisa bersaing dengan merek-merek dari luar negeri tersebut.
Kuncinya ada pada pemasaran, kemasan, serta celah pasar. Dia melihat pasar yang belum dimasuki merek luar, salah satunya pasar lokal di kota dan kabupaten. ”Saya mencari segmen yang tidak disentuh mereka (pemain besar dari luar negeri),” ujarnya.
Secara umum, Mitra Kerinci memproduksi teh hijau, teh merah sinensis, dan teh putih. Teh hijaunya sekitar 60 ton per hari, setara dengan 90 persen dari total produksi. Sisanya berupa teh merah dan teh putih.
Formula dari Mitra Kerinci ini bisa diterapkan oleh banyak perusahaan teh yang kini terus merugi. Kuncinya ada pada inovasi dan kemauan untuk keluar dari zona nyaman. Mitra Kerinci sendiri tengah menjadi mitra Kerja Sama Olah untuk lahan seluas 600 hektar di Purwakarta milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII.
Selain mendapat biaya manajemen sebesar 2 persen dari biaya penjualan, Mitra Kerinci membeli semua produk dari lahan KSO tersebut. Ini akan meningkatkan produktivitas teh hijau mereka.
Warisan
Jika Mitra Kerinci menggunakan pendekatan inovasi, PTPN IV memakai pendekatan warisan budaya atau heritage dalam mempertahankan kebun teh mereka. Kebun teh ini warisan Belanda yang dibangun tahun 1910, sumber lain mengatakan tahun 1911, di Simalungun, Sumatera Utara.
Luas kebun terus menyusut karena dikonversi ke kelapa sawit dan kini tinggal sekitar 6.373 hektar, tetapi hanya 4.000 hektar kebun yang menghasilkan. Itu setara dengan 4 persen dari total lahan kebun yang dimiliki PTPN IV yang mencapai 175.735 hektar. Konversi itu dilakukan karena teh terus merugi. Dalam 10 tahun, kerugian teh mencapai Rp 50 miliar. Tahun lalu merugi Rp 4,4 miliar, sementara pada tahun ini, hingga Maret, merugi Rp 4,2 miliar.
”Teh ini secara operasional untung, tetapi jadi rugi karena biaya administrasi, seperti bonus dan gaji karyawan,” Kata Dirut PTPN IV Siwi Peni.
Semua karyawan pengelola perkebunan berikut pabrik teh memiliki hak yang sama dengan karyawan pengelola kebun dan pabrik kepala sawit. Penuturan beberapa karyawan, untuk bonus tahunan karyawan, misalnya, bisa sampai empat kali gaji.
Ketika keuntungan menurun, paling tidak mereka menerima bonus 2,5 kali gaji. Inilah yang memberatkan industri teh PTPN IV karena harga jualnya masih mengikuti lelang curah sekitar 20.000 sampai 22.000 per kilogram.
Meskipun demikian, PTPN IV mencoba berinovasi untuk mengangkat teh Sidamanik ini. Mereka menyewa konsultan yang kemudian menemukan beberapa langkah penting, yakni peningkatan klorofil daun teh untuk mengerek mutunya. Lalu hegemonisasi bidang petik, yakni pemerataan bidang petik sehingga memudahkan pemetikan menggunakan mesin. Cara ini efisien karena bisa mengurangi jumlah pekerja hingga 60 persen. Mereka bisa dialihkan ke bidang lain.
Peni menyadari bahwa sistem jual curah sulit mengerek penghasilan. Mama Peni tengah mengurus izin merek untuk bisa menjual secara retail. Sudah ada tiga merek yang disiapkan, yakni Butong Tea, Sidamanik Tea, dan Tobasari Tea.
Peni juga berpikir untuk menjual warisan Belanda itu dalam bentuk paket wisata. Apalagi kebun tersebut hanya sekitar 35 kilometer dari Danau Toba dan sejalur.
Peni meyakini, pengelolaan kebun dan pabrik teh yang bagus tetap dapat menghasilkan untung. Selain cara-cara di atas, cara yang lebih efektif adalah melepaskannya dari BUMN, seperti PTPN, dan menyerahkannya kepada swasta. BUMN cukup sebagai off-taker. Dengan demikian, pengelolaan teh tidak terbebani biaya administratif.
Pandangan itu sebangun dengan pola pikir Dirut PTPN VIII Wahyu. Dia menilai, organisasi PTPN VIII terlalu gemuk sehingga biaya yang dikeluarkan terlalu besar dan akhirnya merugi.
Hal itu juga yang dialami kebun dan pabrik PTPN VI di Danau Kembar Kabupaten Solok. Biaya operasional per kilogram teh mencapai Rp 21.000, sementara harga jual teh hitam curah hanya Rp 19.500 per kilogram. Untuk efisiensi, terpaksa biaya perawatan pabrik dikurangi. Ketika ada suku cadang yang rusak dan harus beli, mereka mengakali dengan membuat sendiri yang sering tidak bertahan lama. ”Biaya operasional kami dibantu kelapa sawit,” kata Delvi, Masinis Kepala Pabrik Danau Kembar PTPN VI.
Melihat kondisi ini, barangkali PTPN-PTPN tersebut bisa belajar dari Mitra Kerinci yang berani keluar dari kebiasaan lama dan berinovasi. Hasilnya, semua bisa tersenyum, termasuk para pemetik teh tadi. Inilah pelajaran penting dari lereng Kerinci.