Saat kemarau, udara malam terasa lebih dingin di dataran tinggi. Di Gambung, kami menemukan kehangatan dari perapian dan keramahan para pemetik teh. Kami juga mendapati teh Gambung yang limbung.
Malam belum begitu larut. Azan Isya baru satu setengah jam lalu mengalun. Akan tetapi, tampaknya malam jatuh lebih cepat di kawanan Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) di Gambung, Pasirjambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Sepi. Hanya bunyi jangkrik di tengah dekapan udara dingin yang luar biasa.
Malam itu, Rabu (19/6/2019), kami berada di salah satu wisma milik PPTK, Gambung, yang berjarak sekitar 46 kilometer dari Kota Bandung. Ini salah satu kebun teh tertua di Jawa Barat yang dibangun Rudolph Eduard Kerkhoven pada akhir abad ke-19. Cerita soal perkebunan Gambung ini digambarkan lebih lengkap oleh Hella S Haasse dalam novel Sang Juragan Teh (2015).
Wisma kami berada di ketinggian sekitar 1.300 meter di atas permukaan laut, suhu malam itu mencapai 12 derajat celsius. Itu bukan hanya dingin, melainkan dingin banget bagi kami yang biasa hidup di pesisir seperti di Jakarta.
Kami bertujuh memilih menutup semua pintu berkumpul di ruang tamu. ”Ini ada teh putih dan air panas. Silakan diseduh biar enggak kedinginan,” kata penjaga wisma, Adang, yang tampaknya paham kami kedinginan meskipun sudah memakai jaket dan kaus kaki.
Sekitar 15 menit kemudian, Adang datang lagi dan menyalakan tumpukan kayu di perapian. Hawa di ruang tamu seketika hangat. Kami berkumpul untuk menyiapkan perlengkapan yang akan kami bawa besok ke kebun teh. Rencananya, sebelum matahari terbit, kami akan mengikuti para pemetik teh putih.
Diskusi kecil itu kami selingi dengan mengudap makanan ringan dan minum teh putih. Konon, selain bagus untuk badan dan otak, teh putih ini bagus juga untuk relaksasi. Entah karena sugesti atau memang berkhasiat, yang jelas malam itu pikiran terasa lebih tenang dan rasa capai berkurang setelah saya minum dua cangkir teh putih. Teman-teman pun mencobanya dan merasakan efek serupa.
Setelah diskusi kecil, ditambah obrolan ngalor-ngidul, beberapa teman pindah ke kamar, sementara beberapa lainnya bertahan di ruang tamu. Bahkan sampai pagi. Meskipun ada juga yang menjelang subuh pindah ke kamar karena rupanya hawa di ruang tamu mendingin setelah kayu di perapian habis.
Keceriaan kebun
Pagi yang cerah. Begitu membuka pintu wisma, terhampar perkebunan teh nan hijau dan menyegarkan mata. Kami bergegas menuruni jalanan mengikuti belasan pemetik teh yang sudah siap ke kebun dengan menumpang angkutan desa. Mereka mengikuti arahan mandor dan Manajer Kebun PPTK Adhi Irianto Mastur.
Setelah melintasi jalan setapak menanjak, kami tiba di hamparan teh yang tumbuh rapi di lereng lembah. ”Metik di sini dulu sebelum pindah ke sebelah,” kata Adhi memberi instruksi.
Para pemetik teh segera membentuk barisan rapi. Jemari mereka amat lincah memetik pucuk-pucuk daun yang masih menggulung lancip di bagian ujungnya. Warnanya hijau muda segar. Nanti setelah pelayuan dan mengering, warnanya berubah jadi keperakan. Inilah yang menginspirasi sebutan silver needle untuk teh putih.
Pagi itu kami menikmati kesegaran kebun teh. Namun, yang membuat lebih betah adalah kehangatan para pemetik teh dalam menerima kami. Mereka sangat terbuka, melibatkan kami dalam obrolan-obrolan receh khas kawan akrab. Misalnya, mereka biasa saling ejek atau melontarkan banyolan. ”Sebentar lagi kita terkenal, jadi artis. Ayo bergaya-bergaya,” kata Mimin (49), pemetik teh, dalam bahasa Sunda, ketika kami mengabadikan gambar untuk keperluan berita.
Setelah sekitar 4 jam memetik, mereka lantas duduk melingkar, membuka bekal masing-masing. Sekarang waktunya sarapan. Ada yang membawa nasi, jengkol, tempe goreng, dan sambal. Yang lain membawa ikan asin goreng dan sayuran segar. Ada juga yang berbekal sayur asam. Mereka lantas berbagi.
”Ayo kalau mau. Sini sarapan bareng,” kata seorang pemetik teh, Nai Wikanah (52), sambil menarik tangan salah satu dari kami. Beberapa dari kami pun makan bersama. Ini bentuk kehangatan yang lain.
Aroma
Selepas dari kebun, Adhi mengajak kami berkeliling pabrik PPTK Gambung untuk melihat proses pembuatan teh putih, mulai dari pelayuan sampai pengemasan. Prosesnya relatif singkat karena teh putih tidak perlu oksidasi atau sangrai, cukup dijemur di bawah sinar matahari. Berada di dalam ruang pengeringan teh putih ini bikin betah karena aromanya segar, perpaduan antara harum dan grassy, seperti aroma rumput yang baru dipotong. ”Kalau saya bilang, kaya aroma bayi. Membahagiakan,” kata seorang perempuan pekerja.
Lalu, kami masuk bangunan tua bercat kuning pucat. Di dalamnya, mesin-mesin ukuran raksasa meraung memproses daun-daun teh hijau. Teh hijau ini menjadi penyangga operasionalnya selain pembibitan.
Inilah pergulatan baru PPTK Gambung. Lembaga yang berdiri tahun 1973 ini sejak awal mengemban tugas penyelenggaraan penelitian tempat guna (applied research) di bawah naungan Kementerian Pertanian. Oleh karena itu, ia cost center. Menghabiskan biaya untuk keperluan penelitian.
Hasilnya memang mantap. Di dunia teh, setidaknya lembaga ini telah menghasilkan 11 klon teh varietas assamica dan lima klon teh varietas sinensis. Klon Gambung 07 varietas assamica paling banyak ditanam di Indonesia. Klon ini terkenal lebat dan tahan penyakit. Dengan kata lain, klon hasil kerja PPTK Gambung ini paling produktif.
Akan tetapi, sejak awal tahun lalu, pengolahan PPTK Gambung dialihkan ke badan usaha milik negara yang konsekuensinya antara lain lembaga ini harus mencari profit. Makanya, belakangan mereka menjual teh dan bibit yang dikelola di atas lahan sekitar 300 hektar. Namun, pemasukannya belum maksimal karena memang tidak terlatih mencari profit. ”Untuk operasional saja berat,” kata Direktur PPTK Dadan Rohdiana tentang dana yang mereka dapat dari menjual bibit ataupun teh.
Setiap bulan PPTK mengalami defisit. Untung masih ada piutang di beberapa mitra yang bisa ditagih untuk menutup kekurangan. Meski begitu, itu masih berdampak pada keuangan. Gaji yang semestinya dibayar tanggal 25 kerap terlambat.
Selain itu, kini, terdapat 16 calon klon baru untuk teh unggulan. Namun, belum bisa dirilis karena terkendala dana untuk uji multilokasi. Uji ini amat penting untuk mengetahui tingkat stabilitas calon klon di berbagai kondisi lingkungan.
Menyimak kenyataan itu, segala kesegaran kebun teh dan wanginya pucuk teh putih sepertinya tidak berarti lagi. Terbayang bagaimana lembaga yang keren ini, PPTK Gambung, perlahan-lahan limbung. Pemerintah perlu mengubah kebijakan agar PPTK dikembalikan sebagai pusat penelitian, bukan pencari uang semata.
Selepas dari pabrik, kami berziarah ke makam Rudolph Eduard (RE) Kerkhoven yang berada di salah satu pojok kebun teh. Udara sejuk menemani kami membayangkan perjuangan RE Kerkhoven membuka hutan membangun perkebunan teh yang kemudian pernah jaya pada awal kemerdekaan. Kini limbung lagi seperti nasib PPTK Gambung. (RTG)