KOMPAS/LASTI KURNIA

Jawa Barat 2

Secangkir Asa dari Sisa Kejayaan Teh

·sekitar 5 menit baca

 

Oleh: Dedy Afrianto

Teh asal Indonesia pernah mencatatkan kejayaan beberapa dekade silam. Namun, kejayaan tersebut kini perlahan pudar seiring semakin merosotnya produksi teh dalam negeri. Masih adakah asa bagi industri teh di tanah air untuk mengulangi jejak kejayaan?

Sebelum memasuki periode kemerdekaan, Indonesia merupakan negara pengekspor teh hitam utama di dunia bersama India dan Sri Lanka. Pada akhir dekade 1930-an, Indonesia mampu mengekspor teh lebih dari 70.000 ton per tahun ke sejumlah negara di benua Eropa hingga Amerika Serikat.

Kejayaan serupa kembali terulang pada awal pemerintahan orde baru hingga awal periode reformasi. Luas area dan produksi teh pada periode ini perlahan mengalami peningkatan setelah sempat dialihfungsikan pada era pemerintahan Jepang. Jika pada awal dekade 1970-an luas perkebunan teh mencapai sekitar 100.000 hektar, maka pada awal tahun 2000-an, luas area perkebunan teh di Indonesia bertambah 50 persen hingga mencapai sekitar 150.000 ribu hektar.

Penambahan luas area perkebunan teh ini juga berbanding lurus dengan peningkatan produktivitas teh yang dihasilkan. Pada awal tahun 2000-an, produksi teh di Indonesia per tahun mampu menyentuh angka 160.000 ton. Produksi ini meningkat pesat dibandingkan periode awal 1970-an saat produksi teh dalam negeri baru mencapai sekitar 60.000 ton.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Pekerja bersiap mensangrai daun teh di pabrik teh milik perorangan Pasir Canar, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Kamis (27/6/2019).

Puncak produktivitas dari perkebunan teh adalah pada tahun 2003, saat Indonesia mampu menghasilkan 169.825 ton teh dalam kurun waktu satu tahun. Namun, sejak saat itu hingga kini, produksi teh di Indonesia perlahan mengalami penurunan. Badan Pusat Statistik mencatat, pada tahun 2018, produksi teh di Indonesia hanya mencapai 139.285 ton. Artinya, dalam kurun waktu kurang dari dua dekade, produksi teh di Indonesia menurun hingga lebih dari 20.000 ton.

Penurunan produksi teh ini salah satunya disebabkan oleh alih fungsi tanaman perkebunan yang telah terjadi sejak awal periode reformasi. Pada tahun 2000 lalu, luas area perkebunan teh di Indonesia mencapai 153.675 hektar. Luas area perkebunan ini turun hingga mencapai 104.420 hektar pada tahun 2018. Dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun, luas area perkebunan teh menyusut hingga 32,1 persen.

Berkurangnya produksi dan luas area perkebunan teh juga berbanding lurus dengan kenaikan impor teh. Pada tahun 2000, Indonesia mengimpor sebanyak 2.632 ton teh. Namun, volume impor meningkat tajam pada tahun 2018 menjadi 14.922 ton. Pada kurun waktu yang sama, ekspor teh anjlok dari 105.582 ton pada tahun 2000 menjadi 49.038 ton pada tahun 2018.

 

Minuman lintas generasi

Kondisi ini tentu menjadi ironi bagi industri teh tanah air. Jika produktivitas teh terus menurun, bisa jadi suatu saat Indonesia akan tergantung sepenuhnya dengan impor teh. Padahal, teh adalah salah satu minuman favorit bagi masyarakat Indonesia.

Masih dipilihnya teh sebagai salah satu minuman favorit terekam dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada 13-14 Juli 2019 lalu. Dari 516 responden, sebanyak 84,1 persen di antaranya menyukai teh.

Teh disukai karena beragam alasan, salah satunya adalah karena telah diminum dan menjadi kebiasaan sejak lama. Tak hanya itu, teh juga disukai karena dianggap dapat menambah semangat untuk beraktivitas dan bermanfaat untuk kesehatan.

Menariknya, di tengah maraknya kedai kopi di tanah air, teh masih tetap digemari. Sekitar dua per tiga responden (65,7 persen) menyatakan akan memilih teh jika diberi pilihan untuk meminum teh atau kopi.

Pilihan ini diungkapkan oleh responden lintas generasi. Pada generasi milenial muda usia 17-30 tahun, misalnya, 7 dari 10 responden dari kategori ini lebih memilih teh sebagai minuman utama dibandingkan kopi.

Kondisi serupa juga diungkapkan oleh responden yang termasuk generasi milenial matang usia 31-40 tahun. Sebanyak 64,7 persen responden menyatakan, lebih memilih teh dibandingkan kopi jika ditawarkan dalam bentuk minuman.

Pada generasi yang lebih tua, teh juga masih menjadi primadona. Hal ini diungkapkan oleh responden dari generasi X dan baby boomers yang juga lebih memilih teh dibandingkan kopi. Kondisi ini tentu dapat menjadi peluang dan celah pasar bagi industri teh di tanah air.

Teh memang telah menjadi minuman yang melegenda di tengah-tengah masyarakat sejak lama. Minuman ini kerap disuguhkan oleh tuan rumah saat menjamu tamu. Tak hanya itu, teh juga kerap diberikan untuk memberikan rasa tenang bagi seseorang yang sedang menderita sakit.

Teh juga dinilai dapat memberikan banyak manfaat. Sebanyak satu dari tiga responden mengasosiasikan teh sebagai minuman yang memiliki fungsi khusus seperti untuk kesehatan, kesegaran, dan kehangatan tubuh.

Strategi

Tentu, kondisi ini menjadi modal sosial bagi masa depan industri teh tanah air. Di balik meredupnya produksi dari perkebunan teh, publik masih optimis teh tetap menjadi tuan di negeri sendiri. Bahkan, sebagian besar responden (64 persen) meyakini bahwa pamor teh akan meningkat menjadi gaya hidup layaknya kopi.

Namun, publik memberikan sejumlah syarat yang dapat menjadi strategi agar pamor teh dapat meningkat di tengah-tengah masyarakat. Salah satunya adalah dengan cara hilirisasi produk teh. Sebanyak 24,8 persen responden menilai, inovasi perlu dilakukan seperti pemanfaatan teh pada bidang kesehatan hingga kecantikan.

Selain minuman, teh memang dapat dimanfaatkan untuk kegunaan lainnya. Salah satunya adalah perawatan kulit. Ampas teh, misalnya, dapat digunakan untuk menghilangkan kantung mata. Teh juga dapat digunakan sebagai toner atau cairan yang dapat menghilangkan kotoran pada kulit.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Warga bercengkerama sembari menyruput teh di perkampungan Desa Pasir Canar, Jayagiri, Sukanagara, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Kamis (27/6/2019).

Selain itu, publik menilai dibutuhkan upaya lainnya untuk meningkatkan pamor teh, yakni dengan meningkatkan budaya minum teh di tengah-tengah masyarakat. Sebanyak 22,5 persen responden menilai, budaya minum teh dapat didorong dengan membuka kedai teh yang diiringi dengan gerakan kampanye untuk meminum teh.

Tak hanya dari sisi hilir, publik juga menyoroti upaya untuk menaikan pamor teh dari sektor hulu. Sebanyak 22,5 persen responden menilai, peningkatan kesejahteraan petani teh perlu dilakukan. Hal ini diperlukan untuk memberi stimulus bagi petani teh agar terus meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi teh setiap tahunnya.

Munculnya pandangan tentang kesejahteraan ini menunjukkan pentingnya peran dari petani teh untuk meningkatkan geliat industri teh di tanah air. Sebab, petani teh adalah ujung tombak dari produksi, khususnya pada perkebunan teh rakyat.

Pada tahun 2018 lalu, perkebunan teh rakyat merupakan area perkebunan teh terluas di Indonesia, yakni seluas 52.156 hektar. Area perkebunan teh milik rakyat lebih luas dibandingkan dengan kebun teh milik negara (26.788 hektar) dan milik swasta (25.476 hektar). Artinya, petani teh di perkebunan rakyat memiliki peranan kunci dalam produksi teh di dalam negeri.

Perbaikan kualitas juga dibutuhkan untuk meningkatkan nilai jual dari produk teh yang dihasilkan. Strategi ini telah digunakan oleh beberapa perkebunan, baik milik rakyat maupun milik negara.

Pada akhirnya, publik meyakini bahwa teh akan menjadi minuman khas dari Indonesia. Keyakinan ini diungkapkan oleh responden lintas generasi, baik generasi milenial maupun baby boomers. Tentu, keyakinan dan harapan ini dapat menjadi modal utama bagi industri teh tanah air untuk terus meningkatkan kualitas dan produksi seperti yang pernah dicapai oleh Indonesia beberapa dekade silam. (Litbang Kompas)

Artikel Lainnya