Bumi, air, dan udara perkebunan teh itu seolah menyimpan daya sihir. Hijau pucuk-pucuk daunnya seperti tak lelah memanggil. Barang siapa yang pernah masuk ke jantungnya, mereka akan sulit berpaling. Mereka umumnya akan kembali.
Cakrawala di timur masih gelap. Baru sedikit rona jingga fajar tergurat. Sunyi meliputi perkebunan Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung, Desa Mekarsari, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, akhir Juni tahun lalu.
Dari lokasi permukiman, sebuah mobil omprengan meluncur pelan di atas jalan beton perkebunan yang berkelok menanjak. Di depannya melaju sepeda motor dengan asisten mandor kebun di atasnya.
Sekitar 5 kilometer dari permukiman, sepeda motor mandor dan mobil omprengan itu berhenti di antara hamparan teh di ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut (mdpl). Turun dari mobil sepuluh perempuan buruh petik teh.
Kepada mereka, Manajer Kebun PPTK Adhi Irianto Mastur segera menunjukkan lokasi petik untuk hari itu. Hamparannya berada di tanah dengan kemiringan 25-50 derajat.
Suhu udara dini hari itu tercatat 8 derajat celsius. Para perempuan pemetik teh sudah mengenakan pakaian hangat, kaus tangan, dan sepatu bot. Sebelum tenggelam di hamparan teh, mereka mengenakan plastik transparan untuk membungkus badan dan celemek agar embun di dedaunan teh tak sampai menembus ke baju.
Tatik (37), salah seorang buruh petik dalam kelompok tersebut. Pagi itu ia baru genap bekerja lima hari di kebun. Namun, kebun teh adalah rumah lama bagi ibu dua anak tersebut. Tatik pernah bekerja sebagai buruh petik teh di Desa Mekarsari. Ia bekerja hampir 10 tahun lamanya. Namun, pada satu titik, lima tahun lalu, ia memutuskan merantau ke Bandung.
Alasannya, upahnya sebagai buruh petik teh dan upah suami yang kerja serabutan semakin pas-pasan untuk membiayai kebutuhan hidup keluarga. Apalagi kedua anaknya sekolah. Jelas butuh biaya. Ia menitipkan dua anaknya kepada orangtuanya di desa. Di Bandung, ia bekerja sebagai buruh pabrik garmen selama lima tahun dengan gaji terakhir Rp 2,8 juta per bulan.
Ternyata upah yang lebih besar di kota itu tetap membuatnya tidak betah. Ia memutuskan untuk kembali ke desa, ke perkebunan teh. Ada ketenteraman yang tidak dia dapatkan di tempat lain. ”Saya ingin dekat dengan anak-anak dan ibu. Lebih tenteram,” kata Tatik yang kini harus menanggung beban biaya hidup anaknya setelah bercerai.
Upah Tatik sebagai buruh petik teh hitam dan teh hijau dulu rata-rata berkisar Rp 600.000 sampai Rp 800.000 per bulan. Kini, karena fisiknya tidak sekuat dulu, Tatik memilih kembali ke perkebunan sebagai buruh petik untuk teh putih karena kerjanya jauh lebih ringan. Upahnya hanya Rp 300.000 sampai Rp 400.000 per bulan.
Yang juga pernah merantau adalah Asep Cucu (25), salah seorang buruh petik teh di Perkebunan Malabar. Setelah lulus SMA tahun 2009, dia mencoba peruntungan ke Bandung menjadi pekerja pabrik selama dua tahun. Kini, selain menjadi buruh petik, dia juga ikut mengembangkan usaha sapi perah. Dari usahanya itu, dia bisa mendapat penghasilan Rp 4,5 juta per bulan.
Dari uang tersebut, ia menyisihkan Rp 1 juta per bulan untuk tabungan pendidikan anaknya. Dia ingin hidup di kebun teh, tetapi dengan masa depan yang lebih cerah, setidaknya masa depan anaknya. Dia tidak ingin larut dalam lingkaran kemiskinan dan ketidakberdayaan di tengah kenyamanan kebun teh.
Rayuan kebun teh
Di perkebunan teh, sebagian pernah mencoba keluar, tetapi akhirnya kembali. Namun, lebih banyak lagi mereka yang menghabiskan seluruh hidupnya di perkebunan, sejak mulai bekerja hingga pensiun. Bahkan, tak sedikit yang, sekalipun sudah pensiun, masih terus bekerja di perkebunan. Ini terjadi turun-temurun.
Ayik (56) masuk pertama kali di Perkebunan Malabar tahun 1981. Awalnya, ia bekerja sebagai buruh lepas di bagian pemeliharaan tanaman. Lalu, ia pindah dari satu bagian ke bagian lain sampai diangkat sebagai pegawai tetap di bagian kendaraan hingga pensiun tahun 2012.
Istri Ayik juga bekerja di perkebunan teh. Mereka generasi kedua di perkebunan teh. Kini, tongkat estafet generasi perkebunan teh itu sedang diteruskan anak-anak mereka. Dari tujuh anak Ayik, lima orang bekerja di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII.
Tak ada kontrak kerja sampai mati di perkebunan teh. Tak ada pula doktrin kesetiaan di perkebunan teh. Yang ada adalah dunia kecil yang tua, sunyi, jauh dari kota, dan minim secara ekonomi. Bahkan, sekali lagi, situasinya justru makin susah dalam satu dekade terakhir. Ini semua disadari dan dialami oleh Tatik, Asep, Ayik, dan semua buruh perkebunan teh.
Toh, perkebunan teh tetaplah suaka bagi mereka dan siapa saja yang tak memiliki cukup keterampilan untuk mengadu nasib di kota atau berkompetisi dalam deras gelombang perubahan zaman. Perkebunan teh adalah industri padat karya yang tak terlalu ketat mensyaratkan keterampilan teknis untuk level pekerjaan bawah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah angkatan kerja di Indonesia per Februari 2019 mencapai 136,18 juta jiwa. Sebanyak 129,36 juta jiwa bekerja dan 6,82 juta jiwa menganggur. Sebesar 87 persen pekerja berpendidikan SMA dan SMK ke bawah.
Terbanyak adalah tenaga kerja berpendidikan sekolah dasar, yakni 52,40 juta jiwa atau 40,51 persen. Berikutnya, 17,86 persen berpendidikan SMA. Pekerja yang berpendidikan SMP dan SMK masing-masing 17,75 persen dan 11,31 persen.
Para bijak mengungkapkan, janganlah hidup untuk bekerja, tetapi bekerjalah untuk hidup. Dengan segala persoalan mutakhir yang kian berat, perkebunan teh setidaknya masih berikhtiar memberikan jalan keseimbangan tersebut bagi para pencari kerja, bagi para pencari hidup.
Hal ini karena perkebunan teh bukan sekadar soal pekerjaan dan upah saja. Perkebunan teh adalah juga ruang hidup dan ruang bermasyarakat di areal yang sehat dan tenang. Perkebunan teh adalah peradaban mini dengan biaya hidup relatif lebih murah.
Perkebunan teh besar biasanya menjadi semacam kota kecamatan yang mandiri pada level paling minimal. Dari aspek areal saja, satu perkebunan besar bisa memiliki kompleks di atas 1.000 hektar, mencakup perkebunan teh, pabrik pengolahan, infrastruktur kebun, dan infrastruktur sosial.
Infrastruktur sosial yang dimaksud, antara lain, kawasan permukiman sederhana dan gratis bagi para buruh dan pegawai. Perkebunan teh biasanya juga mengalokasikan sejumlah areal kosong bagi pegawai tetap ataupun buruh borongannya untuk ditanami tanaman semusim guna memenuhi kebutuhan pangan domestik atau untuk tambahan penghasilan keluarga.
Kebutuhan energi, seperti listrik, terjamin. Jika tidak dipasok dari jaringan PLN, biasanya dipenuhi dari pembangkit listrik tenaga air skala mikro milik perkebunan yang gratis. Pasokan air bersih juga terjamin dan gratis.
Fasilitas umum, seperti sekolah, klinik, dan lapangan, juga ada. Sekolah yang tersedia umumnya mulai dari taman bermain, taman kanak-kanak, sekolah dasar, sampai sekolah menengah pertama.
Untuk kebutuhan bahan makanan, pakaian, dan barang-barang kebutuhan hidup lainnya, perkebunan biasanya memiliki pasar pada hari tertentu. Para pedagang dari bawah biasanya naik ke lokasi perkebunan untuk menggelar lapak pada hari-hari pembayaran upah pegawai tetap dan buruh borongan.
Yang utama, perkebunan menyediakan udara sehat dan sejuk serta alam yang tenang dan hijau bagi setiap penghuninya. Sepanjang hari, sepanjang tahun!
Namun, perkebunan teh kini sudah semakin tua dan dililit banyak masalah. Entah sampai berapa tahun lagi suaka itu akan bertahan. Tanpa strategi nasional yang solid melibatkan pemerintah dan semua pemangku kepentingan di industri teh nasional, suaka itu menghadapi masa suram.
Sementara itu, cakrawala di barat kian gelap. Rona jingga senja mulai menghilang. Sunyi meliputi perkebunan Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung, Desa Mekarsari, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung. (RTG)