KOMPAS/DANU KUSWORO

Celepuk rinjani (Otus jolandae), burung endemik Lombok.

Nusa Tenggara Barat

Celepuk Rinjani, Pembunuh Senyap Hama Petani

Oleh Aris Prasetyo
·sekitar 4 menit baca

Hujan deras pada Jumat (19/7/2019) malam tak menghalangi Supriyanto, petugas Pengendali Ekosistem Hutan pada Balai Taman Nasional Rinjani, Nusa Tenggara Barat, mencari sumber suara celepuk rinjani (Otus jolandae) di tepian hutan Desa Kembang Kuning, Kecamatan Sikur, Kabupaten Lombok Timur. Hanya berbekal senter, ia tak memedulikan tetesan air hujan membasahi hampir sekujur tubuhnya.

”Seharusnya tidak susah mendapati celepuk di sini,” ujar Supriyanto yang tampak dibayangi sedikit kecemasan tidak bisa mengantarkan tamunya, Tim Ekspedisi Wallacea Harian Kompas, memotret sosok sang celepuk. Hujan deras malam itu memang mengharuskan tim bersabar menunggu sang celepuk bertengger di dahan yang mudah diamati untuk dipotret. Sorotan lampu senter menyeruak di sela-sela rimbun pepohonan di hutan Kembang Kuning.

”Pwookk….” Suaranya datar saja, tak semerdu dan semeriah kicauan burung-burung peliharaan manusia. Seperti halnya satwa lain yang aktif pada malam hari, dua matanya bulat kekuningan menghadap ke depan dengan tatapan yang tajam. Hiasan sepasang bulu yang meruncing di atas kedua mata kian mengesankan kegagahan sang celepuk rinjani. Burung ini juga tak gentar saat disoroti lampu senter untuk memudahkan pemotretan.

KOMPAS/DANU KUSWORO

Persiapan mencari burung celepuk rinjani (Otus jolandae) di hutan Desa Kembang Kuning, Kecamatan Sikur, Kabupaten Lombok Timur, NTB, Jumat (19/7/2019). Hujan cukup deras mengharuskan Tim Ekspedisi Wallacea Harian Kompas harus bersabar menunggu kemunculan sang celepuk.

Pada malam berikutnya, celepuk rinjani justru lebih mudah didapat di hutan Joben yang ada di Desa Pesanggrahan, Kecamatan Montong Gading, Kabupaten Lombok Timur. Di suatu malam tanpa hujan, beberapa celepuk rinjani bertengger di cabang pohon jenis keruing ataupun sonokeling. Cukup mudah untuk ”mengundang” kedatangan burung yang masih satu famili dengan jenis pungguk ini.

”Kami biasa memutar rekaman suara celepuk dengan pelantang terpisah. Pelantang itu diletakkan di satu tempat tersembunyi dan diputar dengan volume kencang. Mereka (celepuk rinjani) akan berdatangan mencari sumber suara dari pelantang itu,” tutur Supriyanto.

Hampir terancam

Seperti halnya burung hantu (pungguk), celepuk rinjani memiliki sorot mata yang khas dan warna bulu burik. Dari postur tubuh, burung hantu memiliki ukuran yang lebih besar dari ukuran celepuk. Rata-rata panjang celepuk adalah 20 sentimeter sampai 23 sentimeter. Lantaran banyak sekali kemiripan secara fisik, untuk membedakan spesies celepuk, ilmuwan mengelompokkannya sampai ke tingkat perbedaan suara.

Kendati diidentifikasi sebagai jenis baru pada 2013, jenis celepuk ini pernah ditemukan oleh Alfred Everett, naturalis asal Inggris, pada 1896 di kawasan yang sekarang ditetapkan sebagai Taman Nasional (TN) Gunung Rinjani. Status burung ini, berdasar daftar merah badan konservasi dunia (IUCN), adalah hampir terancam (near threatened). Status tersebut diberikan kepada spesies yang mungkin dalam kondisi terancam punah.

KOMPAS/DANU KUSWORO

Sosok celepuk rinjani (Otus jolandae) saat bertengger di dahan pohon di hutan Joben, Desa Pesanggrahan, Kecamatan Montong Gading, Kabupaten Lombok Timur, NTB, Sabtu (20/7/2019). Celepuk rinjani adalah burung endemik Lombok dan masih satu famili dengan pungguk (burung hantu).

Sejauh ini, pengamatan populasi celepuk rinjani oleh Balai TN Gunung Rinjani hanya di dua lokasi, yaitu hutan Kembang Kuning dan hutan Senaru di Kecamatan Bayan, Lombok Utara. Temuan terbanyak ada di Kembang Kuning yang mencapai 242 ekor pada periode Januari sampai Juni 2019. Pada periode yang sama, hanya ditemukan 14 ekor di Senaru.

”Dari data kami, temuan tertinggi ada di tahun 2018 saat dijumpai 249 celepuk rinjani di kawasan Kembang Kuning dan 19 ekor di kawasan Senaru,” ucap Dian Sulastini, Pengendali Ekosistem Hutan pada Balai TN Rinjani.

Celepuk rinjani hanyalah satu dari 154 jenis burung yang teridentifikasi di kawasan TN Rinjani. Beberapa jenis burung penting lainnya di kawasan ini adalah elang flores (Spizaetus floris), isap madu topi sisik (Lichmera lombokia), dan kakatua jambul kuning (Cacatua shulphurea parvula). Adapun mamalia penting di TN Rinjani antara lain musang rinjani (Paradoxurus hemaprhoditus rinjanicus), trenggiling (Manis javanica), lutung (Trachypithecus auratus cristatus), dan landak (Hystrix javanica).

Dari sejumlah jenis burung penting di kawasan TN Gunung Rinjani, hanya jenis kakatua jambul kuning yang sukar sekali dijumpai. Dari beberapa penuturan masyarakat, terakhir kali diperkirakan terdapat kakatua langka tersebut pada 2011. Itu pun dikenali hanya lewat suaranya.

”Sejak kecil, saya belum pernah melihat langsung burung itu. Hanya saja, pernah mendengar dari suara saja saat masuk hutan beberapa tahun lalu,” ujar Nasrudin (45), warga yang tinggal di tepian hutan Desa Pesanggrahan.

Pemburu efektif

Seperti halnya burung lain, celepuk rinjani berperan penting dalam sebuah ekosistem. Jenis ini adalah pemakan serangga dan belalang. Bahkan, beberapa jenis dalam famili ini adalah pemburu tikus yang paling efektif. Tikus adalah binatang yang dianggap sebagai hama oleh petani.

Struktur sayap yang unik pada burung jenis ini menghasilkan kepakan yang senyap atau nyaris tak bersuara. Keunggulan tersebut kian mematikan bagi mangsanya dengan tambahan ketajaman pandangan mata di malam yang gelap gulita, plus cakar yang setajam mata pisau. Tak heran, nyaris tak ada mangsa yang berhasil lolos dari sergapan celepuk atau pungguk.

”Dengan memakan serangga dan belalang pemakan daun, tentu celepuk sangat membantu petani memberantas hama tanaman,” ucap Nasrudin.

Burung ini benar-benar mengandalkan kelestarian berbagai jenis pohon di hutan sebagai habitatnya. Di kawasan TN Gunung Rinjani, celepuk rinjani bisa ditemukan di wilayah dengan ketinggian 25 sampai 1.350 meter di atas permukaan laut. Berkurangnya luasan hutan akibat penebangan liar dan alih fungsi kawasan menjadi kebun atau permukiman mengancam kelestarian burung endemik ini.

Burung juga memberi inspirasi bagi ilmu pengetahuan, seperti yang dialami Alfred Russel Wallace, naturalis asal Inggris yang menjelajah Nusantara pada 1854-1862. Setelah menyeberang ke Lombok dari Bali pada 1856, ia berkirim surat kepada Samuel Stevens, rekannya di Inggris. Ia menulis bahwa meskipun tanah di Bali dan Lombok sama, ketinggian dan iklim serupa, jenis burungnya sangat berbeda. Keunikan itu menginspirasi Wallace tentang teori seleksi alam.

Artikel Lainnya