Di masa kecil, Ferdinandus Watu (33) pernah menerbangkan mimpi dari kampungnya yang berada di kaki Gunung Kelimutu, Flores, Nusa Tenggara Timur. Mimpi anak kampung itu tak lain adalah ingin memajukan tanah tumpah darahnya suatu hari kelak. Setelah menginjak dewasa, ia terbang mengejar mimpi itu, melintasi benua, lalu membawanya pulang menjadi kenyataan.
Empat tahun belakangan, semakin banyak wisatawan asing yang datang ke kampungnya Nando, sapaan akrab Ferdinandus, di Desa Detusoko, sekitar 30 kilometer sebelah timur Ende, ibu kota Kabupaten Ende. Mereka mengikuti paket wisata yang ditawarkan, yakni menyelami keseharian masyarakat suku Lio di kampung itu. Lio merupakan satu dari dua suku besar di Kabupaten Ende. Suku lainnya adalah suku Ende.
Keseharian masyarakat suku Lio tak beda jauh dengan suku lain di Flores. Di sana wisatawan diajak menanam padi, memberi makan ternak, memancing ikan di kolam, memetik hasil kebun, mengolah makanan di atas tungku api, dan mengikuti pertemuan adat kampung. Jika beruntung, wisatawan dapat mengikuti prosesi adat terbesar, yakni nggua uwi dan nggua uta. Dua acara tersebut sebagai penegasan identitas suku Lio sebagai masyarakat agraris.
Pengalaman atraksi sosial semacam itu merupakan barang langka di mata wisatawan yang tumbuh dalam kultur Eropa, Amerika, Australia, dan daratan Asia. Dengan begitu, mereka punya pengalaman baru, tak sekadar menikmati keindahan alam. ”Mengajak wisatawan masuk dalam keseharian masyarakat ini menjadi konsep wisata yang kami tawarkan. Ini membuat wisatawan semakin berkesan dengan Flores,” kata Nando.
Flores merupakan pulau dengan destinasi wisata paling lengkap di Indonesia. Ada Danau Kelimutu, reptil purba komodo, beragam rumah adat, aneka bahasa, tenun ikat, pesona pantai, keindahan gunung, dan wisata rohani. Destinasi itu membentang sepanjang 643 kilometer jalan Trans-Flores dari Labuan Bajo di Kabupaten Manggarai Barat sampai Larantuka di Kabupaten Flores Timur. Detusoko berada di pertengahan Flores.
Konsep wisata berbasis pengalaman itu tidak lahir begitu saja. Nando menemukannya di belahan bumi yang lain saat ia menimba ilmu kepariwisataan selama satu tahun (2014-2015) di Florida, Amerika Serikat. Ia membawa konsep itu dan menerapkannya di Detusoko, kemudian ditularkan ke desa-desa terdekat. Setidaknya 1.000 wisatawan asing telah menikmati konsep wisata berbasis keseharian itu dengan penerima manfaat lebih dari 4.000 orang warga setempat.
Peran Nando di kampung itu sebagai penggerak. Warga dilatih melayani tamu dan diberi kursus bahasa Inggris secara gratis. Setiap tamu yang datang akan ditempatkan di rumah penduduk dengan ongkos Rp 150.000 per hari. Sementara anak muda lulusan sekolah menengah atas dikirim ke Bali untuk magang di sejumlah lokasi wisata. Selama tiga tahun terakhir, 30 orang mengikuti magang di Bali.
Banyak anak lulusan sekolah menengah atas di daerah itu kebingungan menentukan masa depannya. Mereka tak punya informasi yang cukup untuk memilih program studi di perguruan tinggi. Sementara banyak lagi dari keluarga tidak mampu terpaksa menguburkan cita-cita mereka. Banyak di antara mereka yang merantau ke provinsi lain atau menjadi pekerja migran ilegal di Malaysia.
Pertanian
Nando menyadari, potensi pertanian menjadi kekuatan pariwisata berbasis keunggulan di masa mendatang. Sayangnya, potensi lokal itu banyak yang terkikis. Program berasnisasi sejak era Orde Baru telah menggusur banyak pangan lokal. Jenis kacang-kacangan atau padi tertentu sudah tak ditemukan lagi di lahan petani suku Lio.
Nando mengajak masyarakat untuk menghidupkan kembali tanaman sorgum dan padi lokal bangalaka. Saat ini, sekitar 50 rumah tangga petani mulai membudidayakan tanaman itu. Betapa pentingnya hasil pertanian dalam menjaga budaya suku Lio. ”Lebih dari 90 persen bahan yang dibutuhkan dalam cara adat suku Lio adalah hasil pertanian,” katanya.
Wilayah adat Lio yang berada di bawah Gunung Kelimutu itu sangat subur. Ibaratnya, biji, buah, atau batang ubi kayu yang dibuang akan tumbuh tanpa harus dirawat. Sayangnya, banyak hasil komoditas itu kurang memiliki nilai tambah. Nando memfasilitasi warga di sana untuk membuat selai kacang, tepung sorgum, dan kopi detusoko.
Kini, Detusoko menjadi pusat belajar banyak komunitas di NTT. Orang-orang datang melakukan studi banding di Detusoko. Pengajar dan narasumber adalah warga lokal yang sudah terlatih. ”Beberapa waktu lalu, ada komunitas dari Pulau Solor (Kabupaten Flores Timur) yang datang belajar sorgum di sini. Adakalanya, kami diundang memberi pelatihan di tempat mereka yang membutuhkan,” ujarnya.
Saat ditemui di Maumere, Kabupaten Sikka, pada Agustus 2019, Nando tengah memberikan pelatihan kepada wirausaha muda sedaratan Flores. Salah satu lembaga internasional meminta Nando memberikan pelatihan itu karena ia dianggap sosok inspirator penggerak desa di NTT. ”Dia membuka mata kami bahwa anak muda harus punya mimpi. Mimpi itu dimulai dari kampung,” kata Remigius Nong, peserta dari Maumere.
Nando membuktikan dirinya dapat membangun desa dengan kemampuan yang dimiliki. Ia membangun dengan mengoptimalkan sumber daya di desa. Semangat ini tak dipunyai banyak orang. Di era saat ini, kebanyakan anak kampung, yang bilamana mempunyai pendidikan tinggi, memilih meninggalkan kampung. Mereka mengejar karier di kota.
Nando memilih bergelut dengan masalah di kampung yang tidak mudah dituntaskan dalam waktu satu-dua hari. Cemooh dan fitnah pun jadi makanannya setiap hari. ”Jangan menjawab semua itu dengan kata, melainkan dengan aksi nyata. Waktu yang akan mengubah semua. Mereka yang dulu mencibir, sekarang berada di barisan paling depan mendukung kami,” ucap Nando.
Di usianya yang kini mencapai 33 tahun, Nando mengenang kembali mimpi yang pernah ia terbangkan saat kecil dulu. Mimpi yang membawanya terbang melintas benua, ke Amerika Serikat, India, Jepang, Filipina, dan Korea. Pemuda kampung itu berhasil menggerakkan orang-orang kampung untuk bertahan dan setia membangun kampung mereka. (FRANS PATI HERIN/ARIS PRASETYO)