KOMPAS/PRIYOMBODO

Ibu rumah tangga yang tergabung dalam Kelompok Kembang Mekar di Desa Golo Damu, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Maggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, melakukan Pemantauan Layanan Alam dengan mengamati burung endemik di kawasan hutan Puar Lolo, Jumat (2/8/2019). Kelompok yang didampingi oleh Yayasan Burung Indonesia ini secara berkala memantau, mencatat, dan mendokumentasikan perubahan yang terjadi di sekitar kawasan hutan, sumber air, juga pertanian untuk mencegah kerusakan. Aktivitas ini menghasilkan manfaat bagi kelestarian habitat burung dan keanekaragaman hayati lainnya.

Flores

Kaum Mama Penjaga Mbeliling

·sekitar 5 menit baca

Bukan para lelaki, tetapi kaum mama yang menjaga hutan Puar Lolo di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Setiap mili perubahan alam dicatat agar tetap dalam pengawasan.

Setelah mencatat hitungan debit air, Skolastika M Ermina (57) membalik lembaran sebelumnya, catatan tahun 2018. Terekam, kala itu, wadah 1 liter air terisi penuh setelah 7 detik berlalu atau lebih lama 4 detik. Debit air yang semakin banyak ini menjadi kabar gembira bagi warga Desa Golo Damu, Kecamatan Mbeliling, sebuah desa yang terletak pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut.

Mereka tak bakal lagi kesulitan mendapat air bersih pada saat musim kemarau yang biasanya melanda daerah itu mulai Mei sampai Oktober. Hingga dua tahun sebelumnya, warga di desa berpenduduk 860 jiwa itu masih harus menuruni lembah untuk mencari air di desa terdekat. Mata air Wae Ndamer, salah satu sumber air bersih, mengering lantaran masifnya penebangan pohon dan perburuan di kawasan hutan Puar Lolo.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Ibu-ibu rumah tangga yang tergabung dalam Kelompok Kembang Mekar di Desa Golo Damu, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, NTT, bersiap untuk melakukan kegiatan Pemantauan Layanan Alam di kawasan hutan Puar Lolo, Jumat (2/8/2019). Kelompok yang didampingi oleh Yayasan Burung Indonesia ini secara berkala memantau, mencatat, dan mendokumentasikan perubahan yang terjadi di sekitar kawasan hutan, sumber air, juga pertanian untuk mencegah kerusakan.

Penebangan kayu untuk bahan baku perabot rumah tangga, pembukaan lahan pertanian, perburuan gaharu, dan pembabatan kayu manis menyebabkan mata air menyusut. Kondisi itu diperparah dengan maraknya perburuan burung. Padahal, alam telah memberi tugas pada burung untuk ”menanam” kembali pohon lewat biji yang terlepas dari paruh ataupun kotorannya. Ekosistem di kawasan itu tak lagi seimbang.

Warga, terutama para ibu, yang dalam urusan rumah tangga harus menyediakan air bersih untuk kebutuhan masak dan cuci merasakan beban yang jauh lebih berat.

”Mata air hanya menetes sedikit sedikit saja. Ini lama-lama akan mati. Kalau mati, nanti mau cari di mana lagi? Tidak ada kata terlambat untuk memulai. Ini demi anak cucu kami,” kata Skolastika, mengenang kondisi sebelumnya, kepada Tim Ekspedisi Wallacea Harian Kompas, Jumat (2/8/2019).

Secara periodik, sejak tahun 2009, para ibu rumah tangga yang terbentuk dalam Kelompok Kembang Mekar itu melakukan aktivitas yang diberi nama Pemantauan Layanan Alam. Mereka secara berkelompok masuk hutan untuk melihat kondisi mata air, menanam pohon, memeriksa kondisi pohon, dan memantau burung. Temuan bisa langsung ditindaklanjuti sendiri atau dilaporkan kepada pihak terkait jika terdapat kerusakan hutan.

”Tahun 2014 ada perusahaan yang tebang kayu dan buka lahan di atas mata air. Kami laporkan ke dinas kehutanan dan akhirnya mereka pergi. Juga pernah ada orang yang tangkap burung, kami minta mereka pergi. Ini hutan kami,” tutur Skolastika.

Lulusan sekolah dasar itu kini memimpin kelompok yang beranggotakan 38 orang tersebut. Mereka terdiri dari 28 perempuan dan 10 laki-laki.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Ibu-ibu rumah tangga yang tergabung dalam Kelompok Kembang Mekar di Desa Golo Damu, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, NTT, melakukan kegiatan Pemantauan Layanan Alam dengan memeriksa debit sumber air desa di kawasan hutan Puar Lolo, Jumat (2/8/2019).

Kelompok itu dibentuk pada tahun 2008 dengan anggota 24 orang, semuanya ibu rumah tangga. Tujuan awal untuk usaha simpan pinjam. Banyak anak di desa yang berjarak sekitar 35 kilometer timur Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur, itu harus mengubur dalam-dalam cita-cita mereka karena keterbatasan ekonomi orangtua. Jika terpaksa, harus utang kepada rentenir dengan bunga 5 persen hingga 10 persen.

Lewat usaha simpan dengan modal awal Rp 700.000, kini bertambah menjadi Rp 57 juta. Lebih dari itu, puluhan anak petani dari Golo Damu berhasil menembus sarjana dan sudah bekerja. Di dinding ruang tamu rumah terpampang foto anak mereka mengenakan toga. Banyak anak muda dari kampung itu kini menempuh pendidikan di Yogyakarta, Jakarta, Malang, Kupang, dan Makassar. Ada pula yang bekerja di luar Flores.

Daerah prioritas

Setahun setelah memulai usaha simpan pinjam, kelompok tersebut terhubung dengan jaringan Burung Indonesia, sebuah lembaga nonpemerintah yang fokus pada konservasi alam. Para ibu itu kemudian dilatih untuk melakukan kegiatan yang disebut Pemantauan Layanan Alam. Mereka diminta menjaga hutan dan menanam pohon serta dibekali alat untuk memantau burung dan mengukur debit air.

”Kelompok ibu rumah tangga paling rentan. Kalau air bersih habis, mereka harus cari dengan jalan kaki. Makanya, mereka yang harus pertama kali disentuh. Kelebihan perempuan itu solidaritasnya lebih tinggi dan lebih fokus dalam bekerja,” kata Tiburtius Hani, Program Manager Burung Indonesia di Flores. Burung Indonesia tak begitu kesulitan mengorganisasi perempuan itu karena mereka sudah lebih dahulu terbentuk.

Hutan Puar Lolo berada dalam bentang lama Mbeliling seluas 94.000 hektar. Dari luasan itu, sekitar 73 persen berupa hutan dan sisanya adalah area persawahan, permukiman, dan savana. Pada bentang alam Mbeliling terdapat 34.000 hektar hutan lindung.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Ibu-ibu rumah tangga yang tergabung dalam Kelompok Kembang Mekar di Desa Golo Damu, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, NTT, berdiskusi sebelum melakukan aktivitas Pemantauan Layanan Alam di kawasan hutan Puar Lolo, Jumat (2/8/2019).

Mbeliling mendapat perhatian khusus lantaran fungsinya yang amat vital bagi keseimbangan alam di Flores bagian barat. Wilayah itu adalah rumah bagi belasan spesies burung endemik yang sebagian statusnya terancam punah, seperti elang flores (Spizaetus floris) atau celepuk flores (Otus alfredi).

Selain itu, Mbeliling menjadi sumber penyedia air yang penting untuk kegiatan pertanian ataupun untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat, terutama di Labuan Bajo, sebuah kota wisata yang sedang berkembang pesat.

Gabriel Giling, tokoh masyarakat setempat, mengatakan, masyarakat sudah menikmati hasil kerja para ibu rumah tangga di desa itu. Selain air bersih, kicau burung-burung di desa itu semakin sering terdengar. Burung membantu penyerbukan tanaman komoditas seperti cengkeh.

Namun, ia malah khawatir, pembangunan di daerah yang dekat dengan destinasi wisata prioritas nasional itu akan kembali merusak keseimbangan ekologi. Jangan sampai mata air akan kembali kering dan berubah menjadi air mata. (FRN/APO/LUK)

Artikel Lainnya