Ketertarikan Alfred Russel Wallace pada sagu bermula saat ia harus terdampar di sisi timur Pulau Seram, Maluku, pada Juni 1860. Kisahnya berawal saat ia selesai berbelanja berbagai kebutuhan di sebuah wilayah yang ia sebut sebagai Kilwaru. Daerah ini ada di sisi timur Pulau Seram.
Persis tengah hari pada 1 Juni 1860, kapal yang membawa Wallace beserta pembantu dan barang-barang hasil belanjaan siap meninggalkan Kilwaru. Disebabkan cuaca buruk, kapal terpaksa masuk ke dalam gugusan karang dan membuang sauh di sana, persis di seberang Kampung Warus-warus, masih di Seram Bagian Timur.
Saat malam hari, badai datang mengguncang. Hujan deras dan kapal terguncang diempas gelombang. Malangnya, keesokan paginya, semua awak perahu yang semula siap membantu Wallace melarikan diri membawa barang-barang hasil belanja. Beruntung, Wallace berhasil diselamatkan kepala kampung dari daratan seberang.
Setiba di daratan dan sembari menunggu kapal siap diberangkatkan ulang, Wallace berkesempatan berjalan-jalan di sekitar kampung. Di tempat itu, ia menyaksikan orang-orang lokal membuat roti sagu dan mengumpulkan data menarik.
Dalam buku The Malay Archipelago, Wallace menceritakan dengan detail proses pembuatan sagu. Tak hanya itu, ia juga mendeskripsikan dengan tajam jenis pohon sagu mulai dari batang sampai daun, termasuk cara pengolahan sagu. Bahkan, ia membuat ilustrasi alat pemukul sagu, cetakan pemanggang sagu, dan gambar orang sedang mengolah sagu.
Wallace menulis, ”Sungguh suatu pengalaman luar biasa menyaksikan sebatang pohon sagu sepanjang 20 kaki dan ukuran kelilingnya mencapai 4 atau 5 kaki, diubah menjadi makanan dengan persiapan dan tenaga yang sedikit. Pohon yang berukuran sedang menghasilkan 30 berkas dengan berat masing-masing 30 pon.”
Wallace melanjutkan, ”Setiap berkas dapat diolah menjadi 60 keping kue. Dua potong kue adalah jumlah terbanyak yang bisa dimakan seseorang dalam sekali makan dan lima keping kue dianggap sebagai jatah makan dalam sehari. Jadi, katakanlah sebatang pohon sagu dapat menghasilkan 1.800 kue atau bisa menjadi sumber makanan satu orang dalam setahun.”
Bagi Wallace, sagu adalah makanan pengganti roti. Kue sagu yang dididihkan akan menjadi puding atau sup yang bisa menggantikan beras yang kadang harus diperoleh jauh dari timur. ”Saya menikmatinya (roti sagu) bersama secangkir kopi,” kenang Wallace dalam bukunya.
Koleksi keping roti sagu yang dibawa Wallace dari Pulau Seram masih tersimpan rapi di ruang penyimpanan Kew Royal Botanic Gardens di London, Inggris. Selain sagu, koleksi lain yang disimpan di tempat tersebut adalah baju yang terbuat dari kulit pohon murbei yang diperolehnya dari Pulau Bacan, Maluku Utara. Kompas berkesempatan melihat koleksi-koleksi tersebut pada Maret 2018.
Tersingkir
Akan tetapi, sagu kini bukanlah makanan utama orang-orang di Maluku. Sagu sudah tersingkir oleh beras. Stigma sagu adalah makanan orang miskin turut memengaruhi orang-orang sehingga mereka lebih memilih beras sebagai makanan utama.
Data Kantor Ketahanan Pangan Provinsi Maluku mengungkapkan, tingkat konsumsi sagu sebagai pangan lokal semakin berkurang dari waktu ke waktu. Tahun 2018, satu orang masyarakat perdesaan mengonsumsi 13 kilogram sagu dalam satu minggu. Sementara satu warga perkotaan mengonsumsi hanya 0,4 kilogram sagu dalam satu minggu.
”Ini menunjukkan ada penurunan konsumsi sagu di perkotaan. Orang kota lebih memilih beras ketimbang sagu. Ada perubahan perilaku dalam memilih makanan. Kebanyakan orang perkotaan menganggap sagu sebagai makanan kelas dua,” kata Lisa Tan, anggota staf pada bidang konsumsi Kantor Ketahanan Pangan Provinsi Maluku.
Sekadar membandingkan tingkat konsumsi beras, satu orang di perkotaan mengonsumsi 1,43 kilogram beras per minggu, sedangkan masyarakat desa mengonsumsi 1,48 kilogram beras per minggu. Diperkirakan tingkat konsumsi beras akan terus meningkat di masa mendatang.
Menciptakan kerentanan
Nusantara, berdasarkan sejarahnya, mengenal beragam jenis pilihan sumber pangan dan tidak hanya bergantung pada beras semata. Sorgum, sagu, ubi jalar, jagung, talas, singkong, atau jewawut adalah contoh sumber karbohidrat selain beras. Ketergantungan pada satu jenis komoditas pangan justru menciptakan kerentanan terhadap ketahanan pangan.
”Pada 1954, konsumsi beras nasional mencapai 53,5 persen dari beragam sumber karbohidrat dan sisanya adalah pangan lokal. Pada 1981, angkanya naik menjadi 81,1 persen dan turun menjadi 75 persen pada 2017. Artinya, beras masih menjadi pilihan pertama orang Indonesia sebagai sumber makanan pokok,” kata Direktur Program pada Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) Rony Megawanto, Kamis (12/9/2019), di Jakarta.
Sementara itu, Manajer Ekosistem Pertanian Kehati Puji S Hanggarawati menambahkan, ragam genetika berpotensi hilang jika padi menjadi pilihan utama sebagai sumber pangan. Masyarakat bisa lupa terhadap ragam pangan yang lain lantaran tidak dibudidayakan. Ia menyebutnya sebagai potensi erosi genetik.
”Padahal, sumber pangan lainnya seperti sorgum pembudidayaannya tidak serumit padi. Sorgum bisa tumbuh di daerah kering dan tak memerlukan perawatan seperti pemberian pestisida dan sebagainya. Pemerintah perlu menggalakkan keragaman sumber pangan di masyarakat Indonesia, tak hanya beras,” ucap Puji.
Dalam Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi 2015-2019, produksi padi ditargetkan sebanyak 82 juta ton, jagung 24,1 juta ton, dan kedelai 2,6 juta ton. Tampak jelas bahwa hanya tiga jenis sumber pangan yang menjadi sasaran pembangunan pangan di Indonesia, yaitu padi, jagung, dan kedelai. Padi juga masih menjadi prioritas utama.
Dalam buku Sagu: Mutiara Hijau Khatulistiwa yang Dilupakan (2013), jika lahan sagu di Indonesia seluas 1,25 juta hektar dan setiap hektar menghasilkan 37,5 juta ton pati kering, itu dapat memberi makan 200 juta orang setiap tahun. Pati sagu, selain untuk bahan makanan pokok, juga dapat diolah menjadi kerupuk, biskuit, dan makanan kecil lainnya. (FRN/LUK)