Pulau Sulawesi adalah rumah terbesar bagi keanekaragaman hayati kawasan Wallacea. Pulau seluas 174.600 kilometer persegi ini adalah rumah bagi 172 spesies mamalia, 417 spesies burung, dan 6.796 spesies pohon. Namun, kawasan itu terus dirongrong oleh perambahan hutan dan perburuan ilegal satwa dilindungi.
Suatu sore pada 22 Juni lalu, gerimis menemani langkah Tim Ekspedisi Wallacea harian Kompas menyusuri hutan Nantu di Gorontalo. Ditemani dua petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Seksi II Gorontalo, Kadir Inji dan Rikardjo Usman, tim menuju mata air Adudu. Adudu menjadi tempat berkumpul semua satwa langka Nantu untuk sekadar minum. Selain babi rusa yang rutin mendatangi mata air Adudu, segala jenis burung, seperti rangkong atau merpati hutan, sering singgah.
Setelah perjalanan 20 menit yang basah melalui lumpur, onak duri, dan gigitan pacet, tim kian dekat dengan Adudu. Kadir yang memimpin di depan menoleh ke belakang. Gerakannya yang sejak awal cekatan menerobos hutan berubah pelan, berhati-hati. Tanpa bersuara, dia memberikan isyarat kepada rombongan dengan menempelkan telunjuk di bibir.
”Itu ada beberapa,” ujar Kadir berbisik saat kami menyusulnya. Telunjuknya mengarah ke kubangan lumpur di mana tampak sekitar 20 ekor babirusa (Babyrousa babyrussa) sedang minum-minum dan bermain-main. Di situlah Adudu tempat berkumpul satwa endemik Sulawesi.
Keunikan
Alfred Russel Wallace dalam The Malay Archipelago (1869) menulis bahwa babi hutan adalah spesies khas di Sulawesi. Namun, hewan yang jauh lebih menarik dari famili ini adalah babirusa. Orang Melayu menamakannya demikian karena bentuk kakinya yang ramping dan panjang, serta taringnya yang melengkung menyerupai tanduk. Taring pada rahang bawah sangat panjang dan tajam, tapi yang di bagian atas tidak tumbuh ke bawah sebagaimana mestinya, melainkan tumbuh ke atas sehingga menembus moncong atas dan melengkung ke belakang sampai dekat mata.
Lebih jauh, naturalis Inggris itu meyakini bahwa taring tersebut dulunya berguna, tapi kemudian tidak dipakai lagi ketika binatang itu beranjak besar sehingga tumbuh liar. Dia mengungkapkan kemiripannya dengan taring babi Afrika (warthog), yang juga tumbuh keluar dan bengkok sehingga membentuk transisi seperti pada babirusa.
Namun, dalam hal lain, Wallace menilai tidak ada kedekatan antara babirusa dengan hewan sejenisnya. ”… dan babirusa benar-benar terpisah, yakni tidak memiliki kemiripan dengan babi di bagian dunia yang lain,” tulisnya.
Babirusa merupakan satwa endemik Sulawesi yang masih bisa ditemukan di bagian utara pulau ini, khususnya di Nantu. Bahkan, jika beruntung, pengunjung juga bisa menyaksikan anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) di lokasi yang sama. Selain itu, berbagai jenis burung juga kerap hinggap di taman tersebut untuk sekadar mencari minum.
”Biasanya, anoa datang ke kubangan ini saat musim kemarau karena sumber air di dalam hutan kering. Kubangan ini tidak pernah kering,” ujar Kadir.
Masih relatif utuhnya ekosistem hutan primer di SM Nantu menopang kelestarian babirusa dan anoa. Pengelolaan kawasan seluas 51.600 hektar itu juga dibantu oleh Yayasan Adudu Nantu Internasional (YANI). Kerja sama dengan kepolisian pun dilakukan untuk menjaganya dari ancaman perusakan, seperti perambahan lahan, pertambangan ilegal, hingga perburuan liar.
Patroli
Anggota staf lapangan YANI, James Komolontang, mengatakan, petugas kehutanan bersama personel Brimob bersenjata lengkap rutin menggelar patroli ke sejumlah titik di Nantu. Apabila ditemukan aktivitas yang mencurigakan, seperti jerat binatang atau bekas tebangan pohon, pihaknya bersama aparat menggelar patroli gabungan.
Beberapa tahun lalu, contohnya, marak aktivitas pertambangan liar emas. Sungai jernih yang mengalir di pinggiran suaka margasatwa itu pun berubah coklat keruh. Setelah gencar dipatroli, penambangan berhenti. ”Tiga tahun terakhir sudah tidak ada lagi yang menambang,” ujar James.
Namun, ancaman lain terus mengintai, terutama perambahan dan perburuan. Khusus perburuan, James mengatakan, biasanya pelaku mengincar babi hutan untuk dijual ke Manado, Sulawesi Utara, saat permintaan melonjak menjelang akhir tahun. Akan tetapi, jerat yang mereka pasang tentu tak pilih-pilih jenis hewan.
Sementara itu, Kadir menyebutkan, perambahan biasanya dilakukan oleh warga untuk menambah luas kebun mereka yang bersinggungan dengan area suaka margasatwa. Diperkirakan sekitar 200 hektar lahan suaka margasatwa dirambah menjadi kebun. Tahun ini, sekitar 150 hektar lahan tersebut akan direboisasi.
Di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TN BNW) seluas 282.000 hektar, yang membentang dari Kabupaten Bolaang Mongondow di Sulut hingga Bone Bolango di Gorontalo, juga ditemukan berbagai jenis jerat hewan, yang terbanyak adalah jerat bambu. Menurut data Balai TNBNW, selama 2018, ditemukan 164 jerat bambu. Selama paruh pertama 2019, petugas membongkar 55 jerat bambu.
”Memang sudah berkurang jumlah jeratnya, tetapi ini masih jadi perhatian kami karena masih banyak masyarakat yang memanfaatkan satwa liar untuk konsumsi,” kata Kepala Balai TN BNW Supriyanto.
Satwa endemik di TN BNW juga terancam perambahan. Dari 282.000 hektar hutan lindung, ada 455,5 hektar yang dirambah oleh penambang liar emas. Untuk mengatasinya, Balai TN BNW dan Wildlife Conservation Society (WCS), organisasi nirlaba di bidang konservasi, berkolaborasi dalam berbagai bidang, seperti patroli bersama, pemasangan kamera jebakan, serta pembinaan masyarakat.
Perdagangan hewan
Koordinator Sulawesi Utara WCS Iwan Hunowu mengatakan, perburuan juga terjadi di luar kawasan konservasi. Hasil tangkapan lalu dijual di pasar-pasar tradisional.
”Kami tidak pernah bertemu pemburu saat patroli bersama polhut (polisi kehutanan). Tapi, kami bisa mengonfirmasi adanya daging satwa endemik dan telur maleo di pasar tradisional di Langowan, Minahasa, dan di Tomohon. Ada juga di pasar-pasar tradisional kecil sekitar wilayah TN BNW, misalnya di Dumoga dan di Bone Bolango,” kata Iwan.
Perdagangan satwa endemik dilindungi itu ditemui Kompas tahun lalu di sebuah pasar tradisional di Tomohon, Sulawesi Utara. Seorang lelaki menawarkan daging anoa seharga Rp 50.000 per kilogram yang dijanjikan tersedia dalam waktu satu pekan.
Pelestarian ekosistem di Sulawesi menjadi vital mengingat tingginya pertaruhan jika satwa-satwa yang tak ada duanya di dunia itu punah. Bisa jadi, ini merupakan pertaruhan terakhir untuk menjaga kelangsungan kawasan Wallacea, taman bagi satwa endemik Sulawesi. (OKA/ENG/APO)