Karakteristik iklim yang khas membuat lada (Piper nigrum) Bangka Belitung istimewa. Beken dengan merek dagang ”Muntok White Pepper” di pasar rempah dunia. Namun, perjalanan lada di Bangka Belitung terseok-seok, terimpit oleh kuasa timah dan sawit.
Matahari di Desa Kundi, Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung, Selasa (14/3) siang, menyengat kulit. Suhu pada tengah hari itu tercatat lebih dari 30 derajat celsius. Beberapa peserta rapat di Balai Desa Kundi kipas-kipas mengusir panas.
Hari itu warga berkumpul. Ada kepala dusun, tokoh dan wakil lembaga masyarakat, serta kepala desa. Mereka, antara lain, membahas rencana masuknya perkebunan sawit swasta pemegang izin pengelolaan hutan di kawasan Kundi. Petani khawatir lada dan karet mereka tergusur tanaman industri. Hilang sumber penghidupan mereka.
”Kami tak ingin jadi buruh di tanah sendiri. Kami ingin tetap bisa menanam dan mengelola lahan sendiri seperti kakek nenek kami yang turun-temurun menanam lada dan karet,” kata Jemaun (48), petani lada, Kepala Dusun IV, Desa Kundi.
Di gerbang Desa Kundi, warga memasang spanduk bernada protes, bunyinya ”Kami, masyarakat Desa Kundi, menolak segala kegiatan hutan tanaman industri”. Isi spanduk mewakili keresahan petani Kundi, desa di bagian barat Pulau Bangka, yang turun-temurun hidup dari kebun lada dan karet.
Kundi hanya beberapa kilometer jaraknya dari Muntok, pintu masuk lada di Pulau Bangka dan Belitung. Selain di ladang dan kebun pribadi, sebagian warga menanam lada di hutan produksi milik negara. Menurut Kepala Desa Kundi, Mus Mulyadi, mayoritas 729 keluarga di desanya menanam lada atau karet. Karet menjadi sumber pendapatan harian atau mingguan, sementara lada merupakan tabungan tahunan sesuai karakteristik panen yang musiman.
Luas kebun lada di Kundi mencapai 600 hektar, sementara sawit sekitar 15 hektar. Warga khawatir bakal kehilangan sumber penghasilan karena kebunnya tergusur oleh perusahaan pemegang izin hutan tanaman industri (HTI). Mereka ingin hutan produksi milik negara bisa tetap digarap oleh warga desa, bukan oleh perusahaan swasta atau bahkan swasta asing.
Protes terhadap masuknya sawit di Kundi berlangsung sejak beberapa tahun lalu. Warga bahkan telah menetapkan tanggal 15 Agustus sebagai hari perjuangan menentang sawit, sekaligus hari pelaksanaan pesta adat. Lewat peraturan desa, warga menjaga sekitar 4 hektar hutan adat dan memegang aturan terkait pemanfaatan hutan di sekitar desa.
Anjlok
Bagi pelaku usaha lada, sawit adalah ancaman baru terhadap lada Bangka Belitung setelah tambang. Zafrizal, Kepala Sekretariat Badan Pengelolaan Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) Bangka Belitung, menyebutkan, setelah perkebunan sawit masuk tahun 1997 dan berkembang luas pada tahun 2000-an, tren ekspor lada dari Bangka Belitung terus turun.
Catatan Asosiasi Eksportir Lada Indonesia (AELI), berdasarkan jumlah lada yang dikapalkan ke luar negeri sejak 1991, volume tertinggi ekspor lada putih dari Bangka Belitung terjadi tahun 2002 sebesar 42.190 ton. Setelah itu, jumlahnya terus turun, tak pernah lebih dari 10.000 ton sejak tahun 2006.
Empat tahun terakhir, ekspor lada asal Bangka Belitung pun terus turun, dari 8.785 ton tahun 2013 menjadi 8.051 ton tahun 2014, 7.039 ton tahun 2015, dan 6.519 ton tahun lalu. Ekspor antara lain ke Amerika Serikat, Belanda, Perancis, Jerman, Inggris, Italia, Singapura, dan Vietnam.
Jika data ekspor AELI menunjukkan tren penurunan, data produksi lada dari Dinas Pertanian Provinsi Bangka Belitung justru terus naik. Dinas Pertanian mencatat kenaikan produksi lada dari 33.596 ton tahun 2013, kemudian 33.828 ton tahun 2014, dan 36.211 ton tahun 2016. Menurut Zolaliena, Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian Bangka Belitung, peningkatan produksi terjadi sejalan dengan revitalisasi lada yang ditempuh pemerintah dan petani sejak tahun 2011.
Ketidaksinkronan data produksi lada mengundang tanya pembeli di luar negeri. Menurut Ketua BP3L Bangka Belitung Zainal Arifin, pembeli dari Eropa beberapa kali datang untuk mengecek panen di lapangan. ”Mereka (pembeli) tak percaya bahwa barangnya sedikit, seolah kami sengaja menyembunyikannya untuk mendongkrak harga jual, padahal memang tidak banyak,” kata Zainal yang juga Ketua AELI Bangka Belitung.
Penurunan produksi juga sejalan dengan berkurangnya jumlah eksportir di Bangka Belitung. Data AELI, pada tahun 1990-an tercatat ada 45 eksportir, sekarang tinggal 5 eksportir. Penurunan produksi lada sejalan dengan perluasan kebun sawit. Berdasarkan data Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Bangka Belitung, luas perkebunan sawit bertambah rata-rata 10 persen per tahun, sementara perkebunan lada hanya bertambah 4 persen per tahun.
Reformasi tahun 1998 melahirkan otonomi dan inisiatif pemerintah daerah. Salah satunya adalah menarik investasi besar-besaran di sektor perkebunan sawit yang dianggap lebih menguntungkan secara ekonomi.
Hari Lada
Tak sulit menemukan kebun sawit di Bangka Belitung. Di sepanjang perjalanan dari Kota Pangkal Pinang, ibu kota Provinsi Bangka Belitung, menuju Kabupaten Bangka Barat, perkebunan sawit menghampar, berselang-seling dengan karet, lada, dan permukiman warga, bahkan di Muntok, yang menjadi titik awal perjalanan sekaligus penanda kejayaan lada putih Pulau Bangka.
Keprihatinan itu melahirkan komitmen petani. Pada 26 Mei 2015, sebanyak 1.400 petani lada di Bangka Barat berkumpul untuk menyatakan komitmen mengembalikan kejayaan lada. Tanggal itu yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Lada di Bangka Belitung.
Sejak penandatanganan komitmen, pemerintah daerah membuat payung hukum untuk melindungi petani lada dari berbagai gangguan melalui Peraturan Bupati Bangka Barat Nomor 47 Tahun 2015 tentang Sistem Budidaya Tanaman Lada sesuai Good Agriculture Practice (GAP). Tujuannya, antara lain, memacu hasil guna memenuhi kebutuhan dalam negeri, memperluas kesempatan kerja, sekaligus memperbesar ekspor lada.
Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Bangka Barat Azmal AZ menyatakan, pemerintah daerah melakukan beberapa hal untuk meningkatkan produksi, antara lain memperluas areal tanam dengan memberikan bibit unggul, membantu pengendalian hama dan penyakit, serta memasukkan materi lada dalam pelajaran di sekolah untuk menumbuhkan kesadaran di kalangan generasi muda.
Upaya lain ditempuh BP3L, petani, dan Pemerintah Provinsi Bangka Belitung dengan mengusulkan penerbitan sertifikat indikasi geografis (SIG) untuk lada putih Bangka Belitung guna melindungi, mengembangkan, sekaligus mendongkrak daya saing di pasar global. Usulan disampaikan ke Kementerian Hukum dan HAM tahun 2009. Pada 2010, Bangka Belitung mengantongi SIG dengan nama Lada Putih Muntok atau Muntok White Pepper. (MUKHAMAD KURNIAWAN/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN/RHAMA PURNAJATI)